Oleh: Rai
Yuk
Maafkan
aku Dewi, aku melakukan ini dengan terpaksa. Bahkan aku juga tak tahu apakah
yang aku lakukan ini benar ataukah salah sama sekali. Atau ada benarnya dan
ada salahnya. Semua didasarkan pada emosi sesaat. Beranjak dari kekesalan yang
memuncak dan pengendalian emosi yang tak stabil. Semua didasarkan pada
kecemburuanku yang menggebu-gebu seperti deru debu yang disapu para serdadu.
Aku cemburu Dewi, aku cemburu padamu. Memang
benar kita tidak mempunyai ikatan apapun walau hanya sebatas ucapan. Ya, karena
kau bilang kita harus menjaga hijab. Walaupun kita sama-sama tahu apa yang kita
rasakan dalam hati kita masing-masing. Tapi kita tetap menjaga perasaan ini
terpendam jauh di dalam hati. Ya, kau benar, manusia tidak boleh terlalu mudah
mengatakan “aku mencintaimu”. Mencintai itu sangatlah berat. Cinta yang hakiki
itu hanyalah untuk Allah. Dan cinta antara dua insan berlawanan jenis adalah
nyata ketika sudah diikatkan oleh ikatan yang sah menurut agama yaitu
pernikahan. Itu yang selalu kau katakan bukan?
Kau memang benar Dewi. Kau juga cerdas. Dan
kecerdasanmu membuatku mundur selangkah demi selangkah, mulai surut langkahku
untuk mendekatimu. Kau cerdas memberi alasan, hingga aku merasa tidak pantas
mengatakan cinta itu bahkan untuk sekedar dalam bentuk perhatian. Kau membuatku
menyadari bahwa aku masihlah seorang mahasiswa yang akan bingung pergi kemana
sehabis wisuda. Tak ada jaminan sedikit pun aku akan bisa bekerja dan menafkahi
keluarga sehabis lulus kuliah. Sedangkan engkau menantangku untuk langsung
menikahimu jika memang aku mencintaimu. Kau gila! Tapi tidak, kau tidak gila. Kau
adalah orang yang aku cintai karena keshalehahanmu karena kau kuharapkan
menjadi sandaranku di saat sedih dan saat aku gundah. Kau yang kuharapkan
memberi sekaligus membesarkan anak-anakku kelak. Tapi aku tak sanggup jika
harus cepat-cepat melepas masa lajang. Bukan karena aku tak cocok atau karena
aku ragu denganmu tapi karena aku berfikir rasional. Mau dibawa kemanakah kau
olehku, mau aku kasih makan apa kau dan anak-anak kita kelak. Tapi kau
menjawabnya singkat, “laa tahzan….jangan takut”.Dan kau juga tak mau mengalah
untuk memberiku harapan. Kau kata harapan itu akan membawa petaka. Kau
berhasil. Aku menjauhimu dan aku rasa kau tak peduli itu.
***
Sejak aku tak
lagi mendekatimu, aku pun terlarut dalam buku-buku. Apapun jenisnya buku
itu, aku lahap semuanya. Aku bersyukur Tuhan telah memberiku hati yang cukup
bijak. Kekesalan dengan lakumu yang meremehkan cintaku aku tumpahkan dalam
tulisan dan pemikiran-pemikiran. Tak dapat aku bayangkan jika aku seperti anak
muda yang lain, yang sukanya main dan mabuk-mabukan. Mungkin sekarang aku telah
ada di bawah nisan yang bertuliskan namaku dan ayahku. Syukur aku pernah
bertemu denganmu yang banyak mengantarkan bingkisan-bingkisan Illahi walau
sekedar lewat pesan singkat di telepon genggam.
Sejak kau jauh denganku, telingaku tak pernah
berhenti mendengar tentang kamu. Dewi, aktivis perempuan yang paling sering
mengatakan “perjuangan, Allahu akbar….!!!”. Dan kau lebih senang mengatakannya
jihad bukan? Di satu sisi aku bangga sama kamu, Wi. Di sisi lain aku menjadi
tidak mengerti dengan jalan hidupmu. Aku memang tidak harus mengerti jalan
hidupmu karena jalan hidupku pun belum kumengerti seluruhnya. Aku hanya masih
menyimpan harapan barangkali masih ada setitik rasa di hatimu. Untukku
tentunya.
Telingaku tak pernah terlepas dari berita dan
suara kamu yang terus berdengung. Berbagai aktivitasmu terutama yang terekam
oleh media tak aku lepas walau sekejap. Kau, walaupun telah membuat aku dan
hatiku sakit, tetap kukagumi dengan sepenuh hati. Harapan bahwa kita bisa
bersama masih melekat erat di dada ini. Aku yakin, kau dan aku pasti menemukan
jalan untuk bersatu. Suatu hari, ya kelak dan aku tak tahu masa itu.
Telingaku, dia sakit untuk kedua kali. Hatiku,
dia hancur setelah belum berhasil menata pusing-puingnya yang hancur beberapa
waktu yang lalu. Mataku dibuat buta tanpa pengaruh cahaya dan warna. Kau, Dewi
Mekar Harumia, tertulis jelas namamu di surat undangan yang sampai di tanganku
kala itu saat aku beranjak shalat magrib. Seorang anak mengantarkannya ke kosan
ku. Kau, namamu tertulis mesra berdampingan dengan nama seorang laki-laki,
Irwan Muhammad.
***
“Kami memang tidak memaksamu untuk segera menikahinya,
Nak. Ayah juga tahu bahwa kau ingin lulus kuliah terlebih dahulu. Tetapi
pikirkanlah keinginan orang tua Azizah untuk segera memegang ucapan seorang
pria yang akan mempersunting anaknya. Dan mereka pikir kaulah orang yang tepat,
Nak. Kurang apa Azizah itu, dia cantik, baik, dan keturunan orang baik-baik.
Ayahnya adalah teman baik ayah, seorang pengusaha kaya raya. Masa kau akan
menolaknya mentah-mentah, belum lagi mau ditaruh di mana muka ayah jika kau
sampai tega menolak kehendak Wan Soleh, Nak”, bujuk ayah panjang lebar lewat
speaker telepon genggam.
“Tapi ayah…..”, aku tak dapat melanjutkan
kata-kata bernada penolakan itu. Mulutku seakan kaku terkunci. Tak ada daya
sedikitpun pada tubuh ini untuk membantah ucapan ayah. Itu semua karena aku tak
diajarkan untuk membantah ucapan mereka, Ya ucapan ayah dan ibu.
“Sudahlah, Nak. Ayah tahu kau dan Azizah sudah
dekat sejak lama, bahkan sejak kalian masih kecil. Kalian lahir di tahun yang
sama, hanya berbeda beberapa hari. Ibumu dan ibunya mengandung kalian bersama-sama
waktunya dan aku dengan Wan Soleh telah bersepakat untuk berbesan sejak kalian
bayi. Nak, jika saat ini kau belum bisa melakukannya karena cinta, kau boleh
melakukannya atas dasar pengabdian pada orang tuamu….pikirkanlah, Nak.
Assalamu’alaikum....tuuuuttt..tuuttt…”, ayah berlalu, tinggal aku seorang diri.
Gejolak dalam dada ini semakin bergolak. Gemuruh
dalam kalbu semakin memburu. Nafas semakin meronta. Percampuran kekesalan
melihat namamu bersanding dengan nama laki-laki itu di surat undangan dengan
permintaan ayah yang sebenarnya tak dapat aku penuhi.
Azizah, si gadis lugu, dia memang temanku. Kami
berjanji untuk bersahabat selamanya. Tapi itu dulu, ketika kami SD, kami
berjanji demikian. Tak kusangka dia akan berkhianat dengan perjanjian ketika
kami masih ingusan itu. Dia melanggar sumpah sahabat. Dia mengatakan pada ummi dan abinya bahwa dia
mencintaiku dan bahkan pada ayahku. Mana mungkin, sahabat yang bahkan sudah
kuanggap adikku sendiri akan aku peristri. Mana mungkin….
Tapi semua menjadi mungkin ketika aku
memikirkanmu, Dewi. Kau, sudah tak ada harapan bagiku untuk bersamamu,
mendayung bahtera hidup kelak. Aku yang masih berharap dengan terpaksa harus
menghapus harapan itu. Karena kau, besok, undangan yang telah kuterima akan
memulai hidupmu dengan pria pilihanmu itu. Dan yang timbul hanyalah kebencian
kepadamu. Aku mulai membiasakan diri untuk membencimu kala itu. Walau tak bisa,
aku mulai membuka hati ini untuk Azizah, sahabatku, yang katanya akan harus
menjadi isteriku.
***
Aku kembali ke kota ini. Acara pertunanganku
dengan puteri pemilik beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit itu telah
usai kemarin malam. Di pundakku telah tertindih sebuah beban tanggung jawab dan
kesetiaan. Di jariku telah terlingkar cincin bertuliskan RA, yang artinya Rendi
– Azizah. Begitu pula di jari manis Azizah.
Dia melambaikan tangan dan cincin dan tersenyum manis walau pucatnya
tetap tak bisa disembunyikan ketika melepas kepergianku lagi tadi pagi. Aku
harap dia bahagia di sisa umurnya. Dia terkena penyakit kanker, begitu menurut
keterangan orang tuanya. Sayangnya, dia hanya tahu kalau dia hanya kurang
darah.
Padahal aku berharap tulisan yang ada di cincin
itu adalah RD, Rendi-Dewi. Namun, kau mungkin telah dimana kini, Wi. Mungkin
kau telah membangun rumah tangga sebagaimana yang kau ingin, tentunya bersama
Irwan, tepatnya Insinyur Irwan.
***
Malam-malam ini sepi. Sepi karena pikiranku
sunyi, kosong, melayang terbawa angan kemanapun ia mau. Malam-malam yang penuh
dengan kegelapan pekat yang enggan dihiasi bintang-bintang. Iya, karena kau,
Dewi, bintangku yang telah dimiliki orang lain. Sementara aku belum dapat
menikmati sinar bintang baruku, Azizah, karena hatiku belum ikhlas menerima
sinarnya.
Telepon genggamku berdering. Pesannya berkata,
“A, kenapa tidak hadir di pesta pernikahan Dewi temanku yang kuliah di jurusan
Psikologi? Ia menikah dengan Ir Irwan Muhammad, senior di Lembaga Dakwah Kampus
kita. Bukannya aa juga dapat undangan? Jangan berfikir bahwa Wi yang nikah ya.
Bukannya Wi sudah pernah bilang, bahwa Wi juga akan siap menerima aa kalau kita
langsung menikah. Kita sabar saja hingga aa siap dan waktu itu tiba ya!”
Aku tersentak. Bingung. Kaget. Aku telah jahat
padamu Dewi.
“Rabb, jikalau cintaku padanya adalah haq maka
persatukanlah kami, jika itu semua hanya bayang-bayang, maka jauhkanlah ia
dariku…..”
Sukabumi, 12 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar