Rabu, 13 Februari 2013

Surat Undangan Dewi



Oleh: Rai Yuk

Maafkan aku Dewi, aku melakukan ini dengan terpaksa. Bahkan aku juga tak tahu apakah yang aku lakukan ini benar ataukah salah sama sekali. Atau ada benarnya dan ada salahnya. Semua didasarkan pada emosi sesaat. Beranjak dari kekesalan yang memuncak dan pengendalian emosi yang tak stabil. Semua didasarkan pada kecemburuanku yang menggebu-gebu seperti deru debu yang disapu para serdadu.
Aku cemburu Dewi, aku cemburu padamu. Memang benar kita tidak mempunyai ikatan apapun walau hanya sebatas ucapan. Ya, karena kau bilang kita harus menjaga hijab. Walaupun kita sama-sama tahu apa yang kita rasakan dalam hati kita masing-masing. Tapi kita tetap menjaga perasaan ini terpendam jauh di dalam hati. Ya, kau benar, manusia tidak boleh terlalu mudah mengatakan “aku mencintaimu”. Mencintai itu sangatlah berat. Cinta yang hakiki itu hanyalah untuk Allah. Dan cinta antara dua insan berlawanan jenis adalah nyata ketika sudah diikatkan oleh ikatan yang sah menurut agama yaitu pernikahan. Itu yang selalu kau katakan bukan?
Kau memang benar Dewi. Kau juga cerdas. Dan kecerdasanmu membuatku mundur selangkah demi selangkah, mulai surut langkahku untuk mendekatimu. Kau cerdas memberi alasan, hingga aku merasa tidak pantas mengatakan cinta itu bahkan untuk sekedar dalam bentuk perhatian. Kau membuatku menyadari bahwa aku masihlah seorang mahasiswa yang akan bingung pergi kemana sehabis wisuda. Tak ada jaminan sedikit pun aku akan bisa bekerja dan menafkahi keluarga sehabis lulus kuliah. Sedangkan engkau menantangku untuk langsung menikahimu jika memang aku mencintaimu. Kau gila! Tapi tidak, kau tidak gila. Kau adalah orang yang aku cintai karena keshalehahanmu karena kau kuharapkan menjadi sandaranku di saat sedih dan saat aku gundah. Kau yang kuharapkan memberi sekaligus membesarkan anak-anakku kelak. Tapi aku tak sanggup jika harus cepat-cepat melepas masa lajang. Bukan karena aku tak cocok atau karena aku ragu denganmu tapi karena aku berfikir rasional. Mau dibawa kemanakah kau olehku, mau aku kasih makan apa kau dan anak-anak kita kelak. Tapi kau menjawabnya singkat, “laa tahzan….jangan takut”.Dan kau juga tak mau mengalah untuk memberiku harapan. Kau kata harapan itu akan membawa petaka. Kau berhasil. Aku menjauhimu dan aku rasa kau tak peduli itu.
***
Sejak aku tak  lagi mendekatimu, aku pun terlarut dalam buku-buku. Apapun jenisnya buku itu, aku lahap semuanya. Aku bersyukur Tuhan telah memberiku hati yang cukup bijak. Kekesalan dengan lakumu yang meremehkan cintaku aku tumpahkan dalam tulisan dan pemikiran-pemikiran. Tak dapat aku bayangkan jika aku seperti anak muda yang lain, yang sukanya main dan mabuk-mabukan. Mungkin sekarang aku telah ada di bawah nisan yang bertuliskan namaku dan ayahku. Syukur aku pernah bertemu denganmu yang banyak mengantarkan bingkisan-bingkisan Illahi walau sekedar lewat pesan singkat di telepon genggam.
Sejak kau jauh denganku, telingaku tak pernah berhenti mendengar tentang kamu. Dewi, aktivis perempuan yang paling sering mengatakan “perjuangan, Allahu akbar….!!!”. Dan kau lebih senang mengatakannya jihad bukan? Di satu sisi aku bangga sama kamu, Wi. Di sisi lain aku menjadi tidak mengerti dengan jalan hidupmu. Aku memang tidak harus mengerti jalan hidupmu karena jalan hidupku pun belum kumengerti seluruhnya. Aku hanya masih menyimpan harapan barangkali masih ada setitik rasa di hatimu. Untukku tentunya.
Telingaku tak pernah terlepas dari berita dan suara kamu yang terus berdengung. Berbagai aktivitasmu terutama yang terekam oleh media tak aku lepas walau sekejap. Kau, walaupun telah membuat aku dan hatiku sakit, tetap kukagumi dengan sepenuh hati. Harapan bahwa kita bisa bersama masih melekat erat di dada ini. Aku yakin, kau dan aku pasti menemukan jalan untuk bersatu. Suatu hari, ya kelak dan aku tak tahu masa itu.
Telingaku, dia sakit untuk kedua kali. Hatiku, dia hancur setelah belum berhasil menata pusing-puingnya yang hancur beberapa waktu yang lalu. Mataku dibuat buta tanpa pengaruh cahaya dan warna. Kau, Dewi Mekar Harumia, tertulis jelas namamu di surat undangan yang sampai di tanganku kala itu saat aku beranjak shalat magrib. Seorang anak mengantarkannya ke kosan ku. Kau, namamu tertulis mesra berdampingan dengan nama seorang laki-laki, Irwan Muhammad.
***
“Kami memang tidak memaksamu untuk segera menikahinya, Nak. Ayah juga tahu bahwa kau ingin lulus kuliah terlebih dahulu. Tetapi pikirkanlah keinginan orang tua Azizah untuk segera memegang ucapan seorang pria yang akan mempersunting anaknya. Dan mereka pikir kaulah orang yang tepat, Nak. Kurang apa Azizah itu, dia cantik, baik, dan keturunan orang baik-baik. Ayahnya adalah teman baik ayah, seorang pengusaha kaya raya. Masa kau akan menolaknya mentah-mentah, belum lagi mau ditaruh di mana muka ayah jika kau sampai tega menolak kehendak Wan Soleh, Nak”, bujuk ayah panjang lebar lewat speaker telepon genggam.
“Tapi ayah…..”, aku tak dapat melanjutkan kata-kata bernada penolakan itu. Mulutku seakan kaku terkunci. Tak ada daya sedikitpun pada tubuh ini untuk membantah ucapan ayah. Itu semua karena aku tak diajarkan untuk membantah ucapan mereka, Ya ucapan ayah dan ibu.
“Sudahlah, Nak. Ayah tahu kau dan Azizah sudah dekat sejak lama, bahkan sejak kalian masih kecil. Kalian lahir di tahun yang sama, hanya berbeda beberapa hari. Ibumu dan ibunya mengandung kalian bersama-sama waktunya dan aku dengan Wan Soleh telah bersepakat untuk berbesan sejak kalian bayi. Nak, jika saat ini kau belum bisa melakukannya karena cinta, kau boleh melakukannya atas dasar pengabdian pada orang tuamu….pikirkanlah, Nak. Assalamu’alaikum....tuuuuttt..tuuttt…”, ayah berlalu, tinggal aku seorang diri.
Gejolak dalam dada ini semakin bergolak. Gemuruh dalam kalbu semakin memburu. Nafas semakin meronta. Percampuran kekesalan melihat namamu bersanding dengan nama laki-laki itu di surat undangan dengan permintaan ayah yang sebenarnya tak dapat aku penuhi.
Azizah, si gadis lugu, dia memang temanku. Kami berjanji untuk bersahabat selamanya. Tapi itu dulu, ketika kami SD, kami berjanji demikian. Tak kusangka dia akan berkhianat dengan perjanjian ketika kami masih ingusan itu. Dia melanggar sumpah sahabat.  Dia mengatakan pada ummi dan abinya bahwa dia mencintaiku dan bahkan pada ayahku. Mana mungkin, sahabat yang bahkan sudah kuanggap adikku sendiri akan aku peristri. Mana mungkin….
Tapi semua menjadi mungkin ketika aku memikirkanmu, Dewi. Kau, sudah tak ada harapan bagiku untuk bersamamu, mendayung bahtera hidup kelak. Aku yang masih berharap dengan terpaksa harus menghapus harapan itu. Karena kau, besok, undangan yang telah kuterima akan memulai hidupmu dengan pria pilihanmu itu. Dan yang timbul hanyalah kebencian kepadamu. Aku mulai membiasakan diri untuk membencimu kala itu. Walau tak bisa, aku mulai membuka hati ini untuk Azizah, sahabatku, yang katanya akan harus menjadi isteriku.
***
Aku kembali ke kota ini. Acara pertunanganku dengan puteri pemilik beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit itu telah usai kemarin malam. Di pundakku telah tertindih sebuah beban tanggung jawab dan kesetiaan. Di jariku telah terlingkar cincin bertuliskan RA, yang artinya Rendi – Azizah. Begitu pula di jari manis Azizah.  Dia melambaikan tangan dan cincin dan tersenyum manis walau pucatnya tetap tak bisa disembunyikan ketika melepas kepergianku lagi tadi pagi. Aku harap dia bahagia di sisa umurnya. Dia terkena penyakit kanker, begitu menurut keterangan orang tuanya. Sayangnya, dia hanya tahu kalau dia hanya kurang darah.
Padahal aku berharap tulisan yang ada di cincin itu adalah RD, Rendi-Dewi. Namun, kau mungkin telah dimana kini, Wi. Mungkin kau telah membangun rumah tangga sebagaimana yang kau ingin, tentunya bersama Irwan, tepatnya Insinyur Irwan.
***
Malam-malam ini sepi. Sepi karena pikiranku sunyi, kosong, melayang terbawa angan kemanapun ia mau. Malam-malam yang penuh dengan kegelapan pekat yang enggan dihiasi bintang-bintang. Iya, karena kau, Dewi, bintangku yang telah dimiliki orang lain. Sementara aku belum dapat menikmati sinar bintang baruku, Azizah, karena hatiku belum ikhlas menerima sinarnya.
Telepon genggamku berdering. Pesannya berkata, “A, kenapa tidak hadir di pesta pernikahan Dewi temanku yang kuliah di jurusan Psikologi? Ia menikah dengan Ir Irwan Muhammad, senior di Lembaga Dakwah Kampus kita. Bukannya aa juga dapat undangan? Jangan berfikir bahwa Wi yang nikah ya. Bukannya Wi sudah pernah bilang, bahwa Wi juga akan siap menerima aa kalau kita langsung menikah. Kita sabar saja hingga aa siap dan waktu itu tiba ya!”
Aku tersentak. Bingung. Kaget. Aku telah jahat padamu Dewi.
“Rabb, jikalau cintaku padanya adalah haq maka persatukanlah kami, jika itu semua hanya bayang-bayang, maka jauhkanlah ia dariku…..”

Sukabumi, 12 Juni 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar