Oleh: Rai Yuk
Orang-orang baru saja pergi meninggalkan rumah
kami. Pengajian memang sudah selesai sekitar setengah jam sebelumnya. Setelah
selesai jamuan makan, semua orang yang terbiasa mengikuti pengajian rutin
setiapa malam minggu di rumah kami itu pulang ke rumah masing-masing.
Setiap
malam minggu memang selalu diadakan pengajian di rumah orang tuaku. Ayah, yang
seorang pegawai Dinas Pendidikan mempunyai sebuah grup pengajian shalawat.
Rumah kami ditunjuk sebagai tempat dilaksanakan pengajian mingguan itu
mengingat tempatnya yang strategis untuk bisa dijangkau oleh semua anggota
pengajian.
Setiap
malam minggu pengajian digelar. Kami bersyukur dengan hal itu. walaupun
terkadang sedikit repot, kami berharap ridho Allah akan selalu memenuhi semua
ruang rumah kami beserta para penghuninya karena hal itu. lebih jauhnya,
pengajian di malam minggu itu terbukti efektif mencegah anak-anak ayah pacaran.
Kakakku, Afifah, tidak pernah sekalipun ada yang berani ngapelin karena setiap
malam minggu, rumah selalu ramai dengan orang yang mengikuti pengajian.
Lagipula, memang kakakku tak pernah berniat pacaran, ia amat memegang ajaran
Islam. Segala hal menganai pacaran ia tolak dan kritik habis-habisan bahkan
secara tegas mengatakan bahwa pacaran itu HARAM. Pacaran, No Way!
Aku
baru saja menutup pintu depan setelah orang terakhir yang mengikuti pengajian
malam itu pulang. Dalam hati aku cukup senang karena sudah bisa menonton TV di
ruang keluarga yang sebelumnya dipakai tempat pengajian. Walaupun begitu, aku
tak begitu memperlihatkan ekspresi kegembiraanku itu di depan ayah. Ayah bisa
menuduh yang macam-macam kalau aku sampai berani berani berteriak “YES!!!”
setelah mereka pulang.
Namun
baru saja aku duduk di kursi ruang keluarga dan memijit tombol POWER di remote
kontrol TV, bel pintu depan berbunyi. Aku diam, pura-pura tak mendengar bel itu
berdering. Aku harap ibu tak menyuruh aku untuk membukakannya. Kakak perempuanku
yang sedang duduk membaca di kursi di pojok ruangan juga masih terdiam tak
bergerak. Tapi naasnya, ibu menangkap gelagatku yang pura-pura tak tahu itu. Ia
mulai memberi isyarat agar aku membukakan pintu depan, melihat siapa tamu yang
datang malam itu.
“Ah,
ibu, tanggung nih, baru saja aku bisa nonton TV. Lagi pula, ini film sedang
rame-ramenya, Bu!”, tolakku sambil menunjukkan kemalasan yang luar biasa.
“Jangan membantah
sama orang tua!!!”, bantah ibu dengan tegasnya.
“Ibu suruh dong Kak
Afifah, perasaan aku terus yang disuruh….”, gerutuku kesal.
“Kamu kan lihat sendiri
dia lagi belajar. Senin besok dia ada ujian. Kamu coba toleransi dong!”, bantah
ibu lagi.
“Uuh….dasar Kak
Afifah, cari perhatian tuh!”, gerutuku dalam hati sambil melangkah menuju ruang
tamu. Dia memang sangat disayang sama ayah dan ibu. Aku mengerti alasannya
yaitu karena dia menurut apa kata mereka, mau kuliah di keguruan. Karena ayah
adalah pegawai Dinas Pendidikan, beliau ingin sekali anak-anaknya menjadi guru.
Sedangkan aku sendiri malah mengambil jurusan seni rupa, sebuah jurusan yang
amat dibenci oleh ayah dan ibu. Katanya seniman itu jorok lah, bohemian lah,
serabutan, jarang mandi, gondrong, dan tuduhan-tuduhan lain yang seringkali aku
bantah. Padahal aku sudah menjelaskan bahwa tidak semua seniman seperti itu.
Aku sendiri tidak suka memelihara rambut hingga gondrong nggak karuan, aku
membiasakan diri untuk hidup bersih, dan selalu taat beribadah. Tapi tetap saja
mereka belum mengerti dengan apa yang aku jelaskan. Hasilnya tetap saja, mereka
jauh lebih mengistimewakan dan membanggakan Kak Afifah daripada aku. Bahkan
mungkin mereka tak pernah membanggakan aku. Apalagi, Kak Afifah adalah seorang
aktivis organisasi Islam. Ayah sangat bangga akan hal itu. Sedangkan aku cuek
saja terhadap organisasi remaja Islam. Aku lebih senang pergi ke pameran seni
rupa daripada ke bazaar buku-buku Islam atau mengikuti pengajian-pengajian
mahasiswa di kampusku.
Aku melangkah malas
menuju ruang tamu. Bel berbunyi sekali lagi. Duh….ini orang kok nggak sabaran
banget sih. Lagipula salahnya sendiri, bertamu kok malam-malam begini. Orang mah
lagi mau tidur, malah bertamu. Ini kan sudah hampir jam sepuluh malam.
Kuputar anak kunci
dengan malas. Lalu kuputar pula gagang kunci itu. Wajahku kupasang semasam
mungkin menandakan keksalan luar biasa. Gara-gara orang yang bertamu ini, film
Arnold Swartzeneger yang telah kutunggu munculnya di layar televisi selama
berminggu-minggu ini, harus kutinggalkan untuk beberapa saat. Kini pintu sudah
terbuka dan nampak seorang laki-laki setengah baya di depanku.
“Assalamu'alaikum,
Andi. Kamu sudah besar sekarang, sudah menjadi pemuda yang gagah seperti yang
paman harapkan dulu. Apa kabarmu, Nak?”
“Paman? Aku kira
siapa. Aku Baik-baik saja, Paman. Bagaimana sebaliknya, apakah paman baik-baik
saja?”, jawabku sambil meraih tangannya dan mencium tangan kekar, kasar, dan
legam itu. Aku tak peduli dengan tangan yang kasar itu karena yang kutahu
hatinya lembut selebut kapas, dan bening sebening embun.
Aku sangat sayang
pada padanya. Dulu, ketika aku masih kecil dan tinggal di Sumedang, aku selalu
diajaknya ke sawah, bermain bersama anaknya, Teh Tarmi. Beliau seringkali mengajariku
bagaimana memancing ikan, menangkap belut, membuat layangan, membuat ukiran
kayu, membuat patung dari tanah liat, menembang Sunda. Semua itu adalah
pelajaran hidup yang tidak bisa diberikan ayah karena hari-harinya hanya
disibukkan oleh kertas.
Semua hal yang paman
ajarkan padaku itu tetap membekas di ingatanku sampai aku menginjak usia
delapan belas ini. Ah…paman Warta, engkaulah paman terbaik sepanjang masa.
Engkaulah yang membuka cakrawala pikiranku sehingga aku mempunyai banyak ide,
melebihi orang lain. Sering pula ide itu menjadi kebanggan dosen-dosenku di
kampus walaupun tak pernah sekalipun menjadikan suatu kebanggaan buat ayah dan
ibu. Ah, mereka tidak mengerti.
Aku juga menjadi
seseorang yang mandiri dan mempunyai cita-cita yang khas karenanya, berbeda
dengan kebanyakan orang.. Walaupun beliau juga ikut bertanggung jawab dalam
renggangnya hubunganku dengan kedua orang tuaku karena aku tidak mengikuti
keinginan mereka untuk menjadi guru. Ayah memang tak suka aku menjadi penyair,
penembang, pelukis, pematung dan hal berbau seni lainnya. Satu-satunya seni
yang disukai ayah dariku adalah seni membaca Al-Quran. Memang, aku juga
menyukainya. Tapi aku tak mau hanya memporsi waktuku untuk satu keterampilan
saja. Aku ingin mempunyai keterampilan seni yang lainnya. Oleh karena itu,
kuputuskan untuk berhenti kursus membaca Al-Quran, padahal aku adalah salah
satu murid kesayangan Ustadz Ahmad, guru ngaji kami.
Segeralah
kupersilakan pamanku itu masuk. Segera kupangggil ayah dan ibu.
“Ayah, ibu….lihat
siapa yang datang?!”, teriakku masih kegirangan dengan kedatangan paman. Kubawa
tas ransel yang ia bawa itu dan kugandeng tangannya menuju kursi tamu.
“Siapa sih, Andi?
Tidak usah berteriak begitu, malu sama tetangga. Ini kan sudah malam!”, jawab
ibu dari dalam.
“Makanya ibu dan ayah
ke sini!”
Tak lama kemudian Ibu
sudah muncul di pintu.
“Eh, Kang Warta. Aduh lawas ti lawas Akang. Kumaha damang? Sudah
lama tidak bertemu, mani pangling…..”
, tegur ibu sambil memberikan tangannya untuk bersalaman dengan paman. Ibu
tepatnya adalah kakak ipar kepada Paman Warta karena Paman Warta adalah kakak
dari ayahku.
“Alhadulillah
Fatimah, akang baik-baik saja. Keluarga di kampung juga sehat semua, kecuali,
eeee….. Oh Iya, memang benar sudah lama
kita tidak bertemu. Sejak kalian pindah ke Surabaya ini, kalian tak pernah
pulang ke Sumedang walaupun hanya untuk berlebaran bersama di sana”.
“Iya, Kang, kami
sebenarnya mau. Tapi Akang kan tahu sendiri bagaimana sibuknya Ayah si Andi.
Selalu saja banyak urusan kantor dan urusan dakwah Islamiyah di sini. Lagi pula
perlu biaya yang tak sedikit untuk bisa pulang ke kampung. Akang juga tentu
tahu bagaimana gaji pegawai negeri, hanya untuk buat makan sehari-hari saja
Kang!”, sangkal ibu seolah memberi alasan
“Tapi setidaknya
nasib kalian lebih baik daripada buruh tani sepertiku bukan?”.
Ibu tersipu.
“Sebentar ya, Kang.
Saya panggil dulu ayahnya si Andi sambil mengambil air minum”.
“Tidak usah
repot-repot, Fatimah!”
“Tidak repot kok,
Kang. Hanya air putih saja. Masa akang sudah datang jauh-jauh, tidak dijamu
walaupun hanya dengan segelas air putih”.
Baru saja ibu hendak
pergi.
“Eeee….Fatimah, ini
ada sedikit oleh-oleh dari Sumedang”, kata paman sambil menyodorkan sebuah
kardus. Entah apa yang ia bawa itu, yang pasti itu adalah bukti perhatian
terhadap saudara dan tatakrama orang Sunda untuk bertamu walaupun ke rumah
saudaranya.
“Aduh, mengapa
repot-repot bawa oleh-oleh segala atuh Kang. Terima kasih banyak atuh ya,
Kang”. Paman mengangguk. Ibu segera masuk ke dalam.
Sepeninggal ibu.
“Kamu sudah kelas
berapa sekarang ini, Di?”, tanya paman memulai pembicaraan sambil masih
menunjukkan senyum bangga kepadaku. Mungkin dia mengagumi postur tubuhku yang
tinggi, putih, dan katanya mirip ayah di waktu mudanya.
“Aku sudah kuliah,
Paman. Sekarang semester dua, baru mau ke semester tiga.”, jawabku sambil
membalas senyumannya.
“Oh ya?! Betapa kita
sudah lama tidak bertemu ya, Nak. Oh iya, kau mengambil jurusan apa, Di?”’
tanyanya lagi.
“Saya mengambil
jurusan seni rupa, Paman”, jawabku lugas.
“Lho, kenapa?”
“Kenapa bagaimana,
Paman?”, tanyaku bingung.
“Maksudku, apakah
ayahmu ssetuju?”, selidiknya.
“Sejak dahulu ayah
memang tidak pernah setuju aku mempelajari seni, apalagi sampai berniat
mendedikasikan masa depanku sebagai seorang seniman sebagaimana yang aku
lakukan saat ini, Paman”, jelasku.
“Lalu?!”
“Sekarang beliau
sudah sedikit mengerti”, jawabku lagi. Aku merasa semakin terdesak. Aku
terpaksa berbohong. Sebenarnya, sampai saat itu ayah tak pernah setuju kalau
aku mengambil jurusan itu.
“Sedikit?! Baiklah,
tak menjadi apa. Mungkin lama kelaman dia akan mengerti. Tapi, mengapa akau
suka seni, Nak?”, tanyanya lagi.
“Aku mengyukainya
karena seni itu indah, Paman!”, jawabku seolah mengatakannya seperti seorang
yang sedang mendeklamasikan puisi.
“Dari siapa kau tahu
itu? Sejak kapan kau mulai bersyair seperti itu, Nak?”
“Apa Paman sudah lupa
ketika dulu Paman sendiri yang mengajarkan kata-kata itu padaku?”, jawabku
membela diri.
Ia termenung setelah
mendengar jawabanku itu. Mungkin pikirannya sedang menerawang dan mengingat
–ingat mengenai apa yang aku katakan tadi, yang betul-betul kuperoleh darinya
waktu kami bersama di kampung dahulu.
Belum juga ia
menyelesaikan lamunannya, ayah datang.
“Kang Warta?!”,
sapanya dengan sopan dan memperlihatkan kegembiraan luar biasa atas kedatangan
paman.
“Parman?!”, jawab
paman setengah tersentak dari lamunannya.
Mereka berangkulan.
Dua laki-laki kakak beradik yang sudah sama-sama beruban dan tidak lagi muda itu
saling melepas rindu seperti ketika mereka muda dulu, mungkin. Mereka melepas
kerinduan jiwa mereka setelah terpisah jarak dan tidak bertemu tak kurang dari
tujuh tahun lamanya.
“Mengapa tak memberi
kabar dulu kalau kau mau ke sini, Kang?”
“Supaya kedatanganku
menjadi kejutan”, jawabnya sambil tersenyum.
“Ah, kau memang tak
pernah berubah, Kang, selalu saja bisa bercanda. Bagaimana kabarmu juga
keluarga di kampung?”, puji ayah.
“Kabarku baik, semua
keluarga juga baik, ee….”
“Bagaimana?”, tanya
ayah.
“I..iya, mereka semua
baik”, jawabnya agak gelagapan.
“Syukurlah kalau
begitu, aku cukup senang. Aku belum bisa pulang menengok kalian di kampung”.
“Aku mengerti dengan
semua kesibukanmu, Man. Kamu tentu sangat repot apabila harus meningalkan
pekerjaanmu, bukan?”, tanyanya. Mungkin itu sebuah pertanyaan yang runcing buat
ayah, bijak namun juga pedas.
Selanjutnya
obrolan panjang terjadi antara ayah dan
paman. Kedua adik kakak yang sudah sama-sama berumur itu berbicara mengenai hal
yang tak begitu aku mengerti. Obrolan orang tua, oh bukan, mungkin lebih tepat
dibilang obrolan kakek-kakek. Mungkin juga mereka sedang bernostalgia akan
pengalaman kebersamaan mereka dahulu. Ah, kalau kedua kakek ini sudah berbicara
ngalor ngidul, maka anak muda sepertiku yang harus mengalah. Daripada menjadi
kambing conge karena tak bisa ambil bagian dalam pembicaraan, aku lebih suka
meminta izin untuk beristirahat duluan. Aku melangkah ke kamar. Mareka pun tak
peduli.
Aku telah memutuskan
untuk memberikan waktu paman malam ini buat ayah saja. Tapi dasar ayah, bukannya
paman disuruh istirahat setelah perjalanan jauh malah diajak ngobrol sampai
larut malam. Aku mengerti, mungkin mereka rindu. Tapi jangan harap besok waktu
paman ayah yang miliki lagi. Besok adalah bagianku mengajak paman mengobrol
sepuasnya. Aku sudah membuat rencana untuk mengajaknya berjalan-jalan ke pantai
esok hari. Aku merindukan berdebat dengannya mengenai segala hal di alam
terbuka seperti pantai. Aku merindukan sebuah perdebatan yang fair, yang tidak
harus yang tua sebagai pemenangnya. Tidak seperti perdebatanku dengan ayah yang
harus selalu dimenangkan ayah, baik soal agama, politik, bahkan kegemaranku,
seni.
Mentari pagi sudah
menyapa dan kami sudah berada di pinggiran pantai. Selepas shalat subuh tadi,
kami langsung berangkat ke pantai atas paksaanku pada paman. Seharusnya aku tak
begitu. Seharusnya aku mengerti bahwa
paman sangat lelah setelah perjalanan jauh kemarin dan dilanjutkan dengan
begadang bersama ayah yang entah sampai jam berapa. Tapi, ia tak menunjukkan
sedikitpun kelelahan di raut wajahnya yang legam terbakar matahari setiap hari
itu.
Pantai ini masih
sepi. Oh bukan, tapi selalu sepi setiap waktu. Pantai ini memang tak terlalu
dikenal di Surabaya ini padahal keindahannya tak kalah dengan pantai-pantai
lain di sini. Hal ini yang mendasariku untuk mengajak paman kesini supaya aku
bisa menimba petuah darinya tanpa banyak gangguan lalu lalang orang.
“Andi, apakah kau
masih ingat dengan amanat yang paman berikan?”, tanyanya memulai pembicaraan.
“Tentu, Paman”,
jawabku. Aku mulai senang karena paman sudah memulai pembicaraan. Ini akan
sangat mengasyikkan, pikirku.
“Jika memang masih
ingat, dapatkah kau mengatakannya?”, ujinya.
“Jagalah keluargamu dari kemunkaran dan
kemusrikkan dengan melakukan apa yang dikatakan agamamu, jagalah bangsamu dari
jahatnya budaya asing dengan mempelajari adat dan budayamu sendiri!”, jawabku
tegas.
“Kau masih begitu
ingat rupanya, tapi ada yang lupa paman katakan sebagai sambungan nasihat
tadi”.
“Apa itu paman?”,
tanyaku penasaran.
“Turuti perkataan
orang tuamu, junjung tinggi nasihatnya seperti kau menjungjung tinggi
agamamu!”, tambahnya.
“Maksud paman, Paman
tak menyuruh aku mengikuti keinginan ayah untuk masuk ke keguruan, bukan?”
“Aku dengar dari
ayahmu bahwa kau berhenti mempelajari Al-Quran ya?”, selidiknya.
Aku termenung. Ayah
pasti mengadu yang macam-macam tentang aku pada paman semalam.
“Aku tak berhenti
mempelajari Al-Quran, Paman. Aku hanya berhenti mempelajari seni membaca Al-Quran,
sedangkan aku sendiri masih suka membacanya di rumah!”, jawabku aku agak gugup.
“Satu hal yang harus
kau ingat selalu dalam hidupmu, Nak bahwa kau jangan membantah orang orang tuamu.
Jika kau melakukannya maka itu akan menjadi kenyerian orang tuamu dan kemurkaan
Allah! Kau mengerti?!”, jelasnya.
“Iya, Paman!”,
jawabku.
“Bagus! Kau memang
keponakanku yang paling pintar”. Lalu ia termenung menatap laut luas. Sedangkan
mentari kian terang dan panas. Kota Surabaya memang panas setiap hari, apalagi
di musim kemarau begini. Tetapi, bagiku kini Surabaya telah mejadi salah satu kota
favoritku setelah Sumedang, kota kelahiranku yang banyak disebut Kota Leutik Camperenik artinya kota yang
kecil tetapi bersih dan asri. Walaupun ia tak berpantai tetapi keindahannya
tergantikan oleh keindahan pemandangan gunung-gunungnya, gunung Tampomas-nya,
Sungai Cipeles-nya. Tak aku dapatkan semua itu di sini, di Surabaya.
Setelah menambah
pesannya tadi, paman tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbicara lagi. Raut
mukanya terlihat murung seperti menggambarkan penyesalan luar biasa dalam
hatinya. Ada apa dengannya? Lalu mengapa selama bicara denganku beliau tak
menyinggung Teh Tarmi, anak perempuannya satu-satunya itu? Ada apa dengan dia,
ada apa dengan paman? Apa sebetulnya yang telah terjadi di Sumedang selama
tujuh tahun terakhir? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ingin rasanya langsung
kutanyakan semua itu pada paman. Tapi, tak berani hati ini mengusik ketenangan
paman. Aku hanya bisa ikut terdiam, melempar pandangan ke laut luas ciptaan
Yang Maha Kuasa.
“Andi, menurut
pendapatmu, bagaimaakah seharusnya kita mencintai seseorang?”, ia mulai
bersuara memecah keheningan yang beberapa saat menyelimuti kami berdua.
“Maksud Paman?”, aku
tak juga mengerti.
“Apakah kau akan
memberikan segalanya pada orang yang kau cintai, dalam hal ini pasanganmu?”,
tambahnya.
“Itu sudah pasti,
Paman!”, jawabku polos.
“Termasuk
mengorbankan agama dan keyakinanmu serta orang tuamu?”, bombardirnya.
“Paman ini bicara apa
toh? Mengapa Paman berbicara begitu? Tentu saja aku tak akan mencintai orang
dengan sehina itu Paman. Walaupun aku tak seprotektif Kak Afifah soal pacaran,
tapi aku selalu menjaga cintaku dalam koridor-koridor agama, Paman. Boleh saja
aku suka padanya, tapi kalau tak sekeyakinan, no way!
“Begitu ya?! Baguslah
kalau kau punya prinsip seperti itu”, reaksinya polos. Lalu ia diam kembali.
Aku merasakan ada yang aneh dengan paman. Ia tak seperti pamanku yang dulu,
paman yang selalu ceria dan banyak memberikan cerita jenaka dengan menyelipkan
amanat-amanat yang bermanfaat bagi kehidupan. Tapi mengapa sekarang justeru paman
begitu lemah. Mengapa ia sekarang seperti banyak kehilangan kata-kata, cerita,
dan pengalaman-pengalaman hidup? Aku menangkap gelagat buruk. Paman? Teh Tarmi?
**
Pertemuanku dengan
paman Warta tak lama karena keesokan harinya ia harus sudah pulang. Namun
begitu, dengan waktu yang amat singkat itu sudah banyak kudapatkan lagi bekal
hidup darinya dan akan selalu kujaga dan kuamalkan. Tetapi satu hal yang
mengganjal hatiku adalah ada apa dengan paman? Apakah ini faktor usia? Apakah
karena ia tak muda lagi lalu ia menjadi pendiam dan suka melamun?
Pagi-pagi sekali,
kuantar paman ke stasiun. Aku yang duduk di belakang stir mobil, sedangkan ayah
duduk di sampingku. Paman sendiri duduk di kursi belakang. Rencana kami adalah
mengantar dulu ayah ke kantor lalu aku sendiri yang akan mengantar paman ke
stasiun.
Ayah sudah turun di
depan gerbang kantornya, bangunan berlantai dua yang sekomplek dengan gedung
pemerintahan lainnya. Beliau memberikan sebuah amplop pada Paman Warta seraya
berkata” Ini, Kang, untuk bekal di perjalanan. Maaf, ini bahkan tak dapat
mengganti ongkos Akang pulang pergi kesini. Kami tak banyak memberikan oleh-oleh
dari sini karena takut akang repot kalau harus membawanya dari sini. Nanti saja
setelah di Bandung, tolong belikan oleh-oleh untuk sanak saudara di kampung!”
“Terima kasih, Man!
Kapan kiranya kau akan pulang kampung?”
“Insya Allah lebaran
tahun ini, Kang. Saya juga sudah kangen sama kampung. Lagi pula kan kita sudah
sepakat untuk menyelesaikan masalah itu lebaran nanti”, jawab ayah.
“Baiklah kalau
begitu, Man. Akang pulang sekarang, takut keburu siang. Assalamu’alaikum….”.
“Waalaikumsalam
warahmatullahi wabarakatuh……. Hati-hati di jalan, Kang. Salam buat semuanya
orang Sumedang”
“Iya”.
Kaca mobil aku tutup, tapi tak semuanya.
Kubiarkan terbuka setengah takut paman merasa pengap.
Mobil mulai melaju.
Kini ganjalan dalam
hati ini semakin meruncing. Permasalahan? Permasalahan apa yang mereka maksud?
Di selesaikan lebaran nanti? Apa? Mengapa harus lebaran nanti? Mengapa tak
diselesaikan sekarang saja? Mengapa aku tak diberi tahu? Ada apa semua ini?
Agaknya permaslahan
itu begitu penting hingga paman memaksakan datang ke sini menemui ayah. Tentu
ia meninggalkan sawah dan ternaknya dalam beberapa hari ini. Tapi seberapa
runcing pun permasalahan itu mengganjal di hatiku, tak aku beranikan untuk
menanyakan pada paman. Aku takut salah berucap.
Paman sudah pergi
dengan menggunakan kereta api pemberangkatan kedua jurusan
Surabaya-Cirebon-Bandung. Benda panjang dan dapat bergerak itu kan membawa pamanku
tersayang kembali ke kampung halamannya. Ia pergi setelah aku mencium tangannya
yang kekar itu. Lalu ia mengusap kepalaku seolah aku adalah anaknya sendiri.
Aku lihat beberapa mutiara bening muncul dari sudut-sudut matanya. Tapi ia
seperti tak mau orang lain mengetagui hal itu, bahkan aku sebagai keponakannya
sendiri tidak ia perkenankan untuk mengetahui hal itu.
Kereta mulai melaju.
Selamat jalan Paman, kau pergi dengan meninggalkan sejuta tanya, seribu
teka-teki.
**
Ramadhan tahun ini
sangat aku rasakan sangat berbeda dari tahun-tahun biasanya. Ramadhan tahun ini
aku tekadnya untuk membentuk diri lebih baik dari tahun kemarin agar aku
mendapat peringkat taqwa seperti apa yang dijanjikanNya. Aku juga mulai
bergabung kembali dengan kelompok sini membaca AlQuran pimpinan Ustadz Ahmad
Ali. Aku lakukan hal itu sebagai salah satu pengamalan amanat paman tempo hari
ketika ia berkunjung kemari, ke Surabaya.
Ramadhan tahun ini
juga adalah Ramadhan penuh hikmah dan barokah. Bagaimana tidak, kini ayah dan
ibu aku rasakan lebih menyayangi aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Setelah
kedatangan paman sebulan yang lalu, tepat beberapa hari sebelum Ramadhan tiba,
ayah dan ibu menjadi sangat perhatian padaku. Bahkan ku kini menjadi malu
sendiri dibuatnya sehingga tanpa sadar hati ini dengan sendirinya merasa ingin
selalu berbakti pada orang tuaku. Oleh karenanya mulai awal-awal Ramadhan aku
bergabung kembali dengan grup seni mengaji di rumah K.H. Ahmad itu.
Tak terasa sudah
sebulan yang lalu aku bertemu dengan paman. Pertemuan yang menyisakan keibaan
serta kekhawatiranku pada paman.
Setelah paman pergi
waktu itu, aku langsung pulang ke rumah. Hari itu, ibu seperti biasa menggeluti
hobinya yaitu menyulam sesuatu dengan tangan-tangan lentiknya yang terampil.
Namun ada juga yang tak biasa pagi itu. Beliau menyambutku dengan senyum yang
tak biasa, senyum yang aneh untukku sampai dengan usiaku yang belasan ini. Ada
semacam perasaan kasih sayang yang teramat besar dalam senyum yang beliau
sunggingkan waktu itu.
“Sayang, kamu sudah
pulang? Bagaimana pamanmu, sudahkah ia berangkat?”, sapanya lembut. Sapaan yang
tak biasa pula kudapatkan. Semua itu
membuatku menjadi agak sedikit gugup.
“Su…sudah, Bu. Tadi
paman ikut kereta pemberangkatan kedua”, jawabku masih tak percaya dengan apa
telah terucap dari bibir ibu.
“Syukurlah, sekarang
kamu sarapan ya! Ibu sudah menyiapkan nasi goreng kesukaan kamu”, tambahnya
lagi sambil menatapku tak henti dengan tatapan yang masih terlampau aneh hingga
saat ini. Tapi tak apa lah memang hal itu yang aku inginkan dari dahulu.
Sebelum paman datang, hanya Kak Afifah yang mendapatkan cara pandang seperti
itu dari ibu, dan bahkan ayah. Seolah tak ada bagian untukku untuk
mendapatkannya waktu itu.
“Iya, Bu, nanti Andi
makan. Tapi, Andi mau nanya sesuatu pada ibu. Ee….itu pun kalau ibu tak
keberatan sih…”, pintaku ragu.
“Soal apa, Di?”, Ibu
balik bertanya.
“Soal…soal….paman,
Bu!”, kuberanikan walau amat susah kata itu terucap.
“Paman? Ada apa
dengan pamanmu, Di?”
“Paman aneh. Beliau
tak seperti dulu, Bu. Kemarin saja ketika aku mengajaknya jalan-jalan, dia
lebih banyak melamun. Tutur katanya juga aneh, banyak ngelantur ke hal-hal yang
tak biasa ia bahas pada pertemuan kami sebelumnya. Anehnya lagi, Teh Tarmi yang
biasanya ia singgung pada setiap pembicaraan kami sebelumnya, kemarin tak ia
singgung sedikit pun seolah kebanggaannya pada Teh Tarmi yang pintar dan
shalihah itu sudah pupus sekarang. Apa ini hanya perasaan Andi saja ya Bu?”,
jelasku panjang lebar seraya meminta pendapat ibu.
Ibu menggapai kedua
tanganku dan meremas jari-jarinya dengan lembut. Hatiku hancur mendapat
perlakuan begitu penuh kasih dari ibu. Ada dua sungai kecil yang mengalir di
kedua pipinya.
Beliau
menghela nafas berat, seolah bersiap menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.
“Tarmi
adalah anak perempuan kesayangan dan kebanggan bapaknya. Dia dididik sendirian
oleh Pamanmu sepeninggal bibimu setelah melahirkan dia. Paman mendidik Tarmi
dengan segenap kasih sayangnya. Di tengah kesibukannnya beternak dan bertani,
ia selalu memperhatikan pendidikan anaknya, baik yang berhubungan dengan ilmu
dunia maupun akhirat. Tarmi disekolahkan ke Madrasah Ibtidaiyah dan juga disekolahkan
mengaji di sebuah tempat pengajian yang biayanya terbilang mahal tetapi memang
berkualitas. Walaupun bukan pondok
pesantren tapi kualitasnya dapat menjadi kenaggaan. Seperti yang kamu tahu, Di,
dia pintar sekali mengaji. Dia juga berkerudung lebar seperti kakakmu,
Afifah….”, Ibu berhenti sampai di situ. Ada semacam kenyerian dan
ketidaksanggupan untuk melanjutkan ceritanya itu. Air matanya yang semakin
deras membasahi kerudung lebarnya.
Aku
duduk menatap ibu sangat menangis tersedu seperti itu. Ada kenyerian yang ikut
aku rasakan jika melihat ibu menangis sedu sedan begitu.
Ibu
menghela nafas panjang lagi, ”Tarmi seumuran dengan kakakmu. Seharusnya ia
kuliah semester tujuh sekarang ini. Tapi…..”, kata-kata ibu kembali tertahan,
“ia memalukan”.
Aku
tak mengerti dengan apa yang ibu ucapkan.
“Maksud
ibu, dia tidak lulus kuliah, atau di drop out begitu, Bu?”, tanyaku seraya
menebak-nebak.
“Ia
memalukan….. ia kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta. Pamanmu membanting
tulang, bahkan sampai banyak berhutang kesana-kemari demi untuk bisa menyekolahkannya
ke perguruan tinggi favorit tersebut. Tahun pertama berlangsung lancar, bahkan
sangat membanggakan. Hampir semua nilai mata kuliahnya mendapat nilai A.
Pamanmu amat bangga dengan hal itu”.
“Lho,
aku masih belum mengerti, Bu. Lalu apa masalahnya, bukankah hal itu bukan
masalah? Hal itu sepatutnya kita syukuri, bukan?”, aku keheranan.
“Masalahnya
adalah ketika menginjak semester tiga ia mengenal seseorang bernama Antonius”,
sambung Ibu.
“Antonius?
Siapa dia, Bu?”
“Teman
sekampusnya Tarmi, mahasiswa fakultas kedokteran, katanya”, jelas ibu.
“Lalu?”
Ibu belum melanjutkan.
Ada ganjalan yang sangat besar di hatinya untuk mengatakannya padaku. Apakah
ganjalan itu begitu besarnya hingga ibu begitu sulit untuk mengatakannya
padaku?
Ibu masih diam. Aku
menatap wajahnya dan merasakan sekali betapa aku sangat mencintaimu ibu. Aku
mencintaimu, sungguh….
“Mereka pacaran sampai Tarmi hamil!”,
jelas ibu setengah tak sadar.
“
Masya Allah…. Teh Tarmi?! Tak mungkin! Tak mungkin ia berlaku sejahat itu pada
paman. Tak mungkin akhlaknya seburuk itu. Itu pasti salah, Bu!”, kecamku tak
percaya seraya terperanjat kaget.
“Itu
benar, Nak. Sekarang mereka berumah tangga. Tapi tidak secara Islam.”
“Maksud
Ibu?”
“Antonius
bukan orang Islam, Di. Dia misionaris! Dia bukan mahasiswa di fakultas
kedokteran melainkan mahasiswa salah satu universitas teokrasi di Jakarta”.
“Astagfirullahal
adzim….. Lalu apakah paman tetap menerima mereka?”
“Itulah,
Di. Mana mungkin pamanmu dapat menerima mereka setelah mereka mencoreng mukanya
dengan aib yang besar itu. belum lagi agama yang dianut oleh Antonius bukanlah
Islam seperti kita”.
Sungguh
berita ini bagai petir yang menyambar di tengah hari bolong. Aku tak
mempercayai perempuan sepintar dan seshalihah Teh Tarmi bisa terperangkap oleh
jebakan misionaris seperti Antonius brengsek itu. Kumengerti mengapa paman
menyinggung mengenai pacaran berbeda agama. Ternyata ia amat terpukul dengan
kelakuan anaknya yang begitu rupa. Mungkin ia tak ingin aku mengalami hal
serupa. Paman, oh paman, malang benar nasibmu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar