Rabu, 13 Februari 2013

Murtad



Oleh: Rai Yuk
 
Orang-orang baru saja pergi meninggalkan rumah kami. Pengajian memang sudah selesai sekitar setengah jam sebelumnya. Setelah selesai jamuan makan, semua orang yang terbiasa mengikuti pengajian rutin setiapa malam minggu di rumah kami itu pulang ke rumah masing-masing.
            Setiap malam minggu memang selalu diadakan pengajian di rumah orang tuaku. Ayah, yang seorang pegawai Dinas Pendidikan mempunyai sebuah grup pengajian shalawat. Rumah kami ditunjuk sebagai tempat dilaksanakan pengajian mingguan itu mengingat tempatnya yang strategis untuk bisa dijangkau oleh semua anggota pengajian.
            Setiap malam minggu pengajian digelar. Kami bersyukur dengan hal itu. walaupun terkadang sedikit repot, kami berharap ridho Allah akan selalu memenuhi semua ruang rumah kami beserta para penghuninya karena hal itu. lebih jauhnya, pengajian di malam minggu itu terbukti efektif mencegah anak-anak ayah pacaran. Kakakku, Afifah, tidak pernah sekalipun ada yang berani ngapelin karena setiap malam minggu, rumah selalu ramai dengan orang yang mengikuti pengajian. Lagipula, memang kakakku tak pernah berniat pacaran, ia amat memegang ajaran Islam. Segala hal menganai pacaran ia tolak dan kritik habis-habisan bahkan secara tegas mengatakan bahwa pacaran itu HARAM. Pacaran, No Way!
            Aku baru saja menutup pintu depan setelah orang terakhir yang mengikuti pengajian malam itu pulang. Dalam hati aku cukup senang karena sudah bisa menonton TV di ruang keluarga yang sebelumnya dipakai tempat pengajian. Walaupun begitu, aku tak begitu memperlihatkan ekspresi kegembiraanku itu di depan ayah. Ayah bisa menuduh yang macam-macam kalau aku sampai berani berani berteriak “YES!!!” setelah mereka pulang.
            Namun baru saja aku duduk di kursi ruang keluarga dan memijit tombol POWER di remote kontrol TV, bel pintu depan berbunyi. Aku diam, pura-pura tak mendengar bel itu berdering. Aku harap ibu tak menyuruh aku untuk membukakannya. Kakak perempuanku yang sedang duduk membaca di kursi di pojok ruangan juga masih terdiam tak bergerak. Tapi naasnya, ibu menangkap gelagatku yang pura-pura tak tahu itu. Ia mulai memberi isyarat agar aku membukakan pintu depan, melihat siapa tamu yang datang malam itu.
            “Ah, ibu, tanggung nih, baru saja aku bisa nonton TV. Lagi pula, ini film sedang rame-ramenya, Bu!”, tolakku sambil menunjukkan kemalasan yang luar biasa.
“Jangan membantah sama orang tua!!!”, bantah ibu dengan tegasnya.
“Ibu suruh dong Kak Afifah, perasaan aku terus yang disuruh….”, gerutuku kesal.
“Kamu kan lihat sendiri dia lagi belajar. Senin besok dia ada ujian. Kamu coba toleransi dong!”, bantah ibu lagi.
“Uuh….dasar Kak Afifah, cari perhatian tuh!”, gerutuku dalam hati sambil melangkah menuju ruang tamu. Dia memang sangat disayang sama ayah dan ibu. Aku mengerti alasannya yaitu karena dia menurut apa kata mereka, mau kuliah di keguruan. Karena ayah adalah pegawai Dinas Pendidikan, beliau ingin sekali anak-anaknya menjadi guru. Sedangkan aku sendiri malah mengambil jurusan seni rupa, sebuah jurusan yang amat dibenci oleh ayah dan ibu. Katanya seniman itu jorok lah, bohemian lah, serabutan, jarang mandi, gondrong, dan tuduhan-tuduhan lain yang seringkali aku bantah. Padahal aku sudah menjelaskan bahwa tidak semua seniman seperti itu. Aku sendiri tidak suka memelihara rambut hingga gondrong nggak karuan, aku membiasakan diri untuk hidup bersih, dan selalu taat beribadah. Tapi tetap saja mereka belum mengerti dengan apa yang aku jelaskan. Hasilnya tetap saja, mereka jauh lebih mengistimewakan dan membanggakan Kak Afifah daripada aku. Bahkan mungkin mereka tak pernah membanggakan aku. Apalagi, Kak Afifah adalah seorang aktivis organisasi Islam. Ayah sangat bangga akan hal itu. Sedangkan aku cuek saja terhadap organisasi remaja Islam. Aku lebih senang pergi ke pameran seni rupa daripada ke bazaar buku-buku Islam atau mengikuti pengajian-pengajian mahasiswa di kampusku.
Aku melangkah malas menuju ruang tamu. Bel berbunyi sekali lagi. Duh….ini orang kok nggak sabaran banget sih. Lagipula salahnya sendiri, bertamu kok malam-malam begini. Orang mah lagi mau tidur, malah bertamu. Ini kan sudah hampir jam sepuluh malam.
Kuputar anak kunci dengan malas. Lalu kuputar pula gagang kunci itu. Wajahku kupasang semasam mungkin menandakan keksalan luar biasa. Gara-gara orang yang bertamu ini, film Arnold Swartzeneger yang telah kutunggu munculnya di layar televisi selama berminggu-minggu ini, harus kutinggalkan untuk beberapa saat. Kini pintu sudah terbuka dan nampak seorang laki-laki setengah baya di depanku.
“Assalamu'alaikum, Andi. Kamu sudah besar sekarang, sudah menjadi pemuda yang gagah seperti yang paman harapkan dulu. Apa kabarmu, Nak?”
“Paman? Aku kira siapa. Aku Baik-baik saja, Paman. Bagaimana sebaliknya, apakah paman baik-baik saja?”, jawabku sambil meraih tangannya dan mencium tangan kekar, kasar, dan legam itu. Aku tak peduli dengan tangan yang kasar itu karena yang kutahu hatinya lembut selebut kapas, dan bening sebening embun.
Aku sangat sayang pada padanya. Dulu, ketika aku masih kecil dan tinggal di Sumedang, aku selalu diajaknya ke sawah, bermain bersama anaknya, Teh Tarmi. Beliau seringkali mengajariku bagaimana memancing ikan, menangkap belut, membuat layangan, membuat ukiran kayu, membuat patung dari tanah liat, menembang Sunda. Semua itu adalah pelajaran hidup yang tidak bisa diberikan ayah karena hari-harinya hanya disibukkan oleh kertas.
Semua hal yang paman ajarkan padaku itu tetap membekas di ingatanku sampai aku menginjak usia delapan belas ini. Ah…paman Warta, engkaulah paman terbaik sepanjang masa. Engkaulah yang membuka cakrawala pikiranku sehingga aku mempunyai banyak ide, melebihi orang lain. Sering pula ide itu menjadi kebanggan dosen-dosenku di kampus walaupun tak pernah sekalipun menjadikan suatu kebanggaan buat ayah dan ibu. Ah, mereka tidak mengerti.
Aku juga menjadi seseorang yang mandiri dan mempunyai cita-cita yang khas karenanya, berbeda dengan kebanyakan orang.. Walaupun beliau juga ikut bertanggung jawab dalam renggangnya hubunganku dengan kedua orang tuaku karena aku tidak mengikuti keinginan mereka untuk menjadi guru. Ayah memang tak suka aku menjadi penyair, penembang, pelukis, pematung dan hal berbau seni lainnya. Satu-satunya seni yang disukai ayah dariku adalah seni membaca Al-Quran. Memang, aku juga menyukainya. Tapi aku tak mau hanya memporsi waktuku untuk satu keterampilan saja. Aku ingin mempunyai keterampilan seni yang lainnya. Oleh karena itu, kuputuskan untuk berhenti kursus membaca Al-Quran, padahal aku adalah salah satu murid kesayangan Ustadz Ahmad, guru ngaji kami.
Segeralah kupersilakan pamanku itu masuk. Segera kupangggil ayah dan ibu.
“Ayah, ibu….lihat siapa yang datang?!”, teriakku masih kegirangan dengan kedatangan paman. Kubawa tas ransel yang ia bawa itu dan kugandeng tangannya menuju kursi tamu.
“Siapa sih, Andi? Tidak usah berteriak begitu, malu sama tetangga. Ini kan sudah malam!”, jawab ibu dari dalam.
“Makanya ibu dan ayah ke sini!”
Tak lama kemudian Ibu sudah muncul di pintu.
Eh, Kang Warta. Aduh lawas ti lawas Akang. Kumaha damang? Sudah lama tidak bertemu, mani pangling…..” , tegur ibu sambil memberikan tangannya untuk bersalaman dengan paman. Ibu tepatnya adalah kakak ipar kepada Paman Warta karena Paman Warta adalah kakak dari ayahku.
“Alhadulillah Fatimah, akang baik-baik saja. Keluarga di kampung juga sehat semua, kecuali, eeee….. Oh Iya, memang  benar sudah lama kita tidak bertemu. Sejak kalian pindah ke Surabaya ini, kalian tak pernah pulang ke Sumedang walaupun hanya untuk berlebaran bersama di sana”.
“Iya, Kang, kami sebenarnya mau. Tapi Akang kan tahu sendiri bagaimana sibuknya Ayah si Andi. Selalu saja banyak urusan kantor dan urusan dakwah Islamiyah di sini. Lagi pula perlu biaya yang tak sedikit untuk bisa pulang ke kampung. Akang juga tentu tahu bagaimana gaji pegawai negeri, hanya untuk buat makan sehari-hari saja Kang!”, sangkal ibu seolah memberi alasan
“Tapi setidaknya nasib kalian lebih baik daripada buruh tani sepertiku bukan?”.
Ibu tersipu.
“Sebentar ya, Kang. Saya panggil dulu ayahnya si Andi sambil mengambil air minum”.
“Tidak usah repot-repot, Fatimah!”
“Tidak repot kok, Kang. Hanya air putih saja. Masa akang sudah datang jauh-jauh, tidak dijamu walaupun hanya dengan segelas air putih”.
Baru saja ibu hendak pergi.
“Eeee….Fatimah, ini ada sedikit oleh-oleh dari Sumedang”, kata paman sambil menyodorkan sebuah kardus. Entah apa yang ia bawa itu, yang pasti itu adalah bukti perhatian terhadap saudara dan tatakrama orang Sunda untuk bertamu walaupun ke rumah saudaranya.
“Aduh, mengapa repot-repot bawa oleh-oleh segala atuh Kang. Terima kasih banyak atuh ya, Kang”. Paman mengangguk. Ibu segera masuk ke dalam.
Sepeninggal ibu.
“Kamu sudah kelas berapa sekarang ini, Di?”, tanya paman memulai pembicaraan sambil masih menunjukkan senyum bangga kepadaku. Mungkin dia mengagumi postur tubuhku yang tinggi, putih, dan katanya mirip ayah di waktu mudanya.
“Aku sudah kuliah, Paman. Sekarang semester dua, baru mau ke semester tiga.”, jawabku sambil membalas senyumannya.
“Oh ya?! Betapa kita sudah lama tidak bertemu ya, Nak. Oh iya, kau mengambil jurusan apa, Di?”’ tanyanya lagi.
“Saya mengambil jurusan seni rupa, Paman”, jawabku lugas.
“Lho, kenapa?”
“Kenapa bagaimana, Paman?”, tanyaku bingung.
“Maksudku, apakah ayahmu ssetuju?”, selidiknya.
“Sejak dahulu ayah memang tidak pernah setuju aku mempelajari seni, apalagi sampai berniat mendedikasikan masa depanku sebagai seorang seniman sebagaimana yang aku lakukan saat ini, Paman”, jelasku.
“Lalu?!”
“Sekarang beliau sudah sedikit mengerti”, jawabku lagi. Aku merasa semakin terdesak. Aku terpaksa berbohong. Sebenarnya, sampai saat itu ayah tak pernah setuju kalau aku mengambil jurusan itu.
“Sedikit?! Baiklah, tak menjadi apa. Mungkin lama kelaman dia akan mengerti. Tapi, mengapa akau suka seni, Nak?”, tanyanya lagi.
“Aku mengyukainya karena seni itu indah, Paman!”, jawabku seolah mengatakannya seperti seorang yang sedang mendeklamasikan puisi.
“Dari siapa kau tahu itu? Sejak kapan kau mulai bersyair seperti itu, Nak?”
“Apa Paman sudah lupa ketika dulu Paman sendiri yang mengajarkan kata-kata itu padaku?”, jawabku membela diri.
Ia termenung setelah mendengar jawabanku itu. Mungkin pikirannya sedang menerawang dan mengingat –ingat mengenai apa yang aku katakan tadi, yang betul-betul kuperoleh darinya waktu kami bersama di kampung dahulu.
Belum juga ia menyelesaikan lamunannya, ayah datang.
“Kang Warta?!”, sapanya dengan sopan dan memperlihatkan kegembiraan luar biasa atas kedatangan paman.
“Parman?!”, jawab paman setengah tersentak dari lamunannya.
Mereka berangkulan. Dua laki-laki kakak beradik yang sudah sama-sama beruban dan tidak lagi muda itu saling melepas rindu seperti ketika mereka muda dulu, mungkin. Mereka melepas kerinduan jiwa mereka setelah terpisah jarak dan tidak bertemu tak kurang dari tujuh tahun lamanya.
“Mengapa tak memberi kabar dulu kalau kau mau ke sini, Kang?”
“Supaya kedatanganku menjadi kejutan”, jawabnya sambil tersenyum.
“Ah, kau memang tak pernah berubah, Kang, selalu saja bisa bercanda. Bagaimana kabarmu juga keluarga di kampung?”, puji ayah.
“Kabarku baik, semua keluarga juga baik, ee….”
“Bagaimana?”, tanya ayah.
“I..iya, mereka semua baik”, jawabnya agak gelagapan.
“Syukurlah kalau begitu, aku cukup senang. Aku belum bisa pulang menengok kalian di kampung”.
“Aku mengerti dengan semua kesibukanmu, Man. Kamu tentu sangat repot apabila harus meningalkan pekerjaanmu, bukan?”, tanyanya. Mungkin itu sebuah pertanyaan yang runcing buat ayah, bijak namun juga pedas.
Selanjutnya obrolan  panjang terjadi antara ayah dan paman. Kedua adik kakak yang sudah sama-sama berumur itu berbicara mengenai hal yang tak begitu aku mengerti. Obrolan orang tua, oh bukan, mungkin lebih tepat dibilang obrolan kakek-kakek. Mungkin juga mereka sedang bernostalgia akan pengalaman kebersamaan mereka dahulu. Ah, kalau kedua kakek ini sudah berbicara ngalor ngidul, maka anak muda sepertiku yang harus mengalah. Daripada menjadi kambing conge karena tak bisa ambil bagian dalam pembicaraan, aku lebih suka meminta izin untuk beristirahat duluan. Aku melangkah ke kamar. Mareka pun tak peduli.
Aku telah memutuskan untuk memberikan waktu paman malam ini buat ayah saja. Tapi dasar ayah, bukannya paman disuruh istirahat setelah perjalanan jauh malah diajak ngobrol sampai larut malam. Aku mengerti, mungkin mereka rindu. Tapi jangan harap besok waktu paman ayah yang miliki lagi. Besok adalah bagianku mengajak paman mengobrol sepuasnya. Aku sudah membuat rencana untuk mengajaknya berjalan-jalan ke pantai esok hari. Aku merindukan berdebat dengannya mengenai segala hal di alam terbuka seperti pantai. Aku merindukan sebuah perdebatan yang fair, yang tidak harus yang tua sebagai pemenangnya. Tidak seperti perdebatanku dengan ayah yang harus selalu dimenangkan ayah, baik soal agama, politik, bahkan kegemaranku, seni.
Mentari pagi sudah menyapa dan kami sudah berada di pinggiran pantai. Selepas shalat subuh tadi, kami langsung berangkat ke pantai atas paksaanku pada paman. Seharusnya aku tak begitu. Seharusnya aku mengerti  bahwa paman sangat lelah setelah perjalanan jauh kemarin dan dilanjutkan dengan begadang bersama ayah yang entah sampai jam berapa. Tapi, ia tak menunjukkan sedikitpun kelelahan di raut wajahnya yang legam terbakar matahari setiap hari itu.
Pantai ini masih sepi. Oh bukan, tapi selalu sepi setiap waktu. Pantai ini memang tak terlalu dikenal di Surabaya ini padahal keindahannya tak kalah dengan pantai-pantai lain di sini. Hal ini yang mendasariku untuk mengajak paman kesini supaya aku bisa menimba petuah darinya tanpa banyak gangguan lalu lalang orang.
“Andi, apakah kau masih ingat dengan amanat yang paman berikan?”, tanyanya memulai pembicaraan.
“Tentu, Paman”, jawabku. Aku mulai senang karena paman sudah memulai pembicaraan. Ini akan sangat mengasyikkan, pikirku.
“Jika memang masih ingat, dapatkah kau mengatakannya?”, ujinya.
 “Jagalah keluargamu dari kemunkaran dan kemusrikkan dengan melakukan apa yang dikatakan agamamu, jagalah bangsamu dari jahatnya budaya asing dengan mempelajari adat dan budayamu sendiri!”, jawabku tegas.
“Kau masih begitu ingat rupanya, tapi ada yang lupa paman katakan sebagai sambungan nasihat tadi”.
“Apa itu paman?”, tanyaku penasaran.
“Turuti perkataan orang tuamu, junjung tinggi nasihatnya seperti kau menjungjung tinggi agamamu!”, tambahnya.
“Maksud paman, Paman tak menyuruh aku mengikuti keinginan ayah untuk masuk ke keguruan, bukan?”
“Aku dengar dari ayahmu bahwa kau berhenti mempelajari Al-Quran ya?”, selidiknya.
Aku termenung. Ayah pasti mengadu yang macam-macam tentang aku pada paman semalam.
“Aku tak berhenti mempelajari Al-Quran, Paman. Aku hanya berhenti mempelajari seni membaca Al-Quran, sedangkan aku sendiri masih suka membacanya di rumah!”, jawabku aku agak gugup.
“Satu hal yang harus kau ingat selalu dalam hidupmu, Nak bahwa kau jangan membantah orang orang tuamu. Jika kau melakukannya maka itu akan menjadi kenyerian orang tuamu dan kemurkaan Allah! Kau mengerti?!”, jelasnya.
“Iya, Paman!”, jawabku.
“Bagus! Kau memang keponakanku yang paling pintar”. Lalu ia termenung menatap laut luas. Sedangkan mentari kian terang dan panas. Kota Surabaya memang panas setiap hari, apalagi di musim kemarau begini. Tetapi, bagiku kini Surabaya telah mejadi salah satu kota favoritku setelah Sumedang, kota kelahiranku yang banyak disebut Kota Leutik Camperenik artinya kota yang kecil tetapi bersih dan asri. Walaupun ia tak berpantai tetapi keindahannya tergantikan oleh keindahan pemandangan gunung-gunungnya, gunung Tampomas-nya, Sungai Cipeles-nya. Tak aku dapatkan semua itu di sini, di Surabaya.
Setelah menambah pesannya tadi, paman tidak menunjukkan tanda-tanda akan berbicara lagi. Raut mukanya terlihat murung seperti menggambarkan penyesalan luar biasa dalam hatinya. Ada apa dengannya? Lalu mengapa selama bicara denganku beliau tak menyinggung Teh Tarmi, anak perempuannya satu-satunya itu? Ada apa dengan dia, ada apa dengan paman? Apa sebetulnya yang telah terjadi di Sumedang selama tujuh tahun terakhir? Aku bertanya-tanya dalam hati. Ingin rasanya langsung kutanyakan semua itu pada paman. Tapi, tak berani hati ini mengusik ketenangan paman. Aku hanya bisa ikut terdiam, melempar pandangan ke laut luas ciptaan Yang Maha Kuasa.
“Andi, menurut pendapatmu, bagaimaakah seharusnya kita mencintai seseorang?”, ia mulai bersuara memecah keheningan yang beberapa saat menyelimuti kami berdua.
“Maksud Paman?”, aku tak juga mengerti.
“Apakah kau akan memberikan segalanya pada orang yang kau cintai, dalam hal ini pasanganmu?”, tambahnya.
“Itu sudah pasti, Paman!”, jawabku polos.
“Termasuk mengorbankan agama dan keyakinanmu serta orang tuamu?”, bombardirnya.
“Paman ini bicara apa toh? Mengapa Paman berbicara begitu? Tentu saja aku tak akan mencintai orang dengan sehina itu Paman. Walaupun aku tak seprotektif Kak Afifah soal pacaran, tapi aku selalu menjaga cintaku dalam koridor-koridor agama, Paman. Boleh saja aku suka padanya, tapi kalau tak sekeyakinan, no way!
“Begitu ya?! Baguslah kalau kau punya prinsip seperti itu”, reaksinya polos. Lalu ia diam kembali. Aku merasakan ada yang aneh dengan paman. Ia tak seperti pamanku yang dulu, paman yang selalu ceria dan banyak memberikan cerita jenaka dengan menyelipkan amanat-amanat yang bermanfaat bagi kehidupan. Tapi mengapa sekarang justeru paman begitu lemah. Mengapa ia sekarang seperti banyak kehilangan kata-kata, cerita, dan pengalaman-pengalaman hidup? Aku menangkap gelagat buruk. Paman? Teh Tarmi?
**
Pertemuanku dengan paman Warta tak lama karena keesokan harinya ia harus sudah pulang. Namun begitu, dengan waktu yang amat singkat itu sudah banyak kudapatkan lagi bekal hidup darinya dan akan selalu kujaga dan kuamalkan. Tetapi satu hal yang mengganjal hatiku adalah ada apa dengan paman? Apakah ini faktor usia? Apakah karena ia tak muda lagi lalu ia menjadi pendiam dan suka melamun?
Pagi-pagi sekali, kuantar paman ke stasiun. Aku yang duduk di belakang stir mobil, sedangkan ayah duduk di sampingku. Paman sendiri duduk di kursi belakang. Rencana kami adalah mengantar dulu ayah ke kantor lalu aku sendiri yang akan mengantar paman ke stasiun.
Ayah sudah turun di depan gerbang kantornya, bangunan berlantai dua yang sekomplek dengan gedung pemerintahan lainnya. Beliau memberikan sebuah amplop pada Paman Warta seraya berkata” Ini, Kang, untuk bekal di perjalanan. Maaf, ini bahkan tak dapat mengganti ongkos Akang pulang pergi kesini. Kami tak banyak memberikan oleh-oleh dari sini karena takut akang repot kalau harus membawanya dari sini. Nanti saja setelah di Bandung, tolong belikan oleh-oleh untuk sanak saudara di kampung!”
“Terima kasih, Man! Kapan kiranya kau akan pulang kampung?”
“Insya Allah lebaran tahun ini, Kang. Saya juga sudah kangen sama kampung. Lagi pula kan kita sudah sepakat untuk menyelesaikan masalah itu lebaran nanti”, jawab ayah.
“Baiklah kalau begitu, Man. Akang pulang sekarang, takut keburu siang. Assalamu’alaikum….”.
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh……. Hati-hati di jalan, Kang. Salam buat semuanya orang  Sumedang”
“Iya”.
   Kaca mobil aku tutup, tapi tak semuanya. Kubiarkan terbuka setengah takut paman merasa pengap.
Mobil mulai melaju.
Kini ganjalan dalam hati ini semakin meruncing. Permasalahan? Permasalahan apa yang mereka maksud? Di selesaikan lebaran nanti? Apa? Mengapa harus lebaran nanti? Mengapa tak diselesaikan sekarang saja? Mengapa aku tak diberi tahu? Ada apa semua ini?
Agaknya permaslahan itu begitu penting hingga paman memaksakan datang ke sini menemui ayah. Tentu ia meninggalkan sawah dan ternaknya dalam beberapa hari ini. Tapi seberapa runcing pun permasalahan itu mengganjal di hatiku, tak aku beranikan untuk menanyakan pada paman. Aku takut salah berucap.
Paman sudah pergi dengan menggunakan kereta api pemberangkatan kedua jurusan Surabaya-Cirebon-Bandung. Benda panjang dan dapat bergerak itu kan membawa pamanku tersayang kembali ke kampung halamannya. Ia pergi setelah aku mencium tangannya yang kekar itu. Lalu ia mengusap kepalaku seolah aku adalah anaknya sendiri. Aku lihat beberapa mutiara bening muncul dari sudut-sudut matanya. Tapi ia seperti tak mau orang lain mengetagui hal itu, bahkan aku sebagai keponakannya sendiri tidak ia perkenankan untuk mengetahui hal itu.
Kereta mulai melaju. Selamat jalan Paman, kau pergi dengan meninggalkan sejuta tanya, seribu teka-teki.
**

Ramadhan tahun ini sangat aku rasakan sangat berbeda dari tahun-tahun biasanya. Ramadhan tahun ini aku tekadnya untuk membentuk diri lebih baik dari tahun kemarin agar aku mendapat peringkat taqwa seperti apa yang dijanjikanNya. Aku juga mulai bergabung kembali dengan kelompok sini membaca AlQuran pimpinan Ustadz Ahmad Ali. Aku lakukan hal itu sebagai salah satu pengamalan amanat paman tempo hari ketika ia berkunjung kemari, ke Surabaya.
Ramadhan tahun ini juga adalah Ramadhan penuh hikmah dan barokah. Bagaimana tidak, kini ayah dan ibu aku rasakan lebih menyayangi aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Setelah kedatangan paman sebulan yang lalu, tepat beberapa hari sebelum Ramadhan tiba, ayah dan ibu menjadi sangat perhatian padaku. Bahkan ku kini menjadi malu sendiri dibuatnya sehingga tanpa sadar hati ini dengan sendirinya merasa ingin selalu berbakti pada orang tuaku. Oleh karenanya mulai awal-awal Ramadhan aku bergabung kembali dengan grup seni mengaji di rumah K.H. Ahmad itu.
Tak terasa sudah sebulan yang lalu aku bertemu dengan paman. Pertemuan yang menyisakan keibaan serta kekhawatiranku pada paman.
Setelah paman pergi waktu itu, aku langsung pulang ke rumah. Hari itu, ibu seperti biasa menggeluti hobinya yaitu menyulam sesuatu dengan tangan-tangan lentiknya yang terampil. Namun ada juga yang tak biasa pagi itu. Beliau menyambutku dengan senyum yang tak biasa, senyum yang aneh untukku sampai dengan usiaku yang belasan ini. Ada semacam perasaan kasih sayang yang teramat besar dalam senyum yang beliau sunggingkan waktu itu.
“Sayang, kamu sudah pulang? Bagaimana pamanmu, sudahkah ia berangkat?”, sapanya lembut. Sapaan yang tak biasa pula kudapatkan. Semua itu  membuatku menjadi agak sedikit gugup.
“Su…sudah, Bu. Tadi paman ikut kereta pemberangkatan kedua”, jawabku masih tak percaya dengan apa telah terucap dari bibir ibu.
“Syukurlah, sekarang kamu sarapan ya! Ibu sudah menyiapkan nasi goreng kesukaan kamu”, tambahnya lagi sambil menatapku tak henti dengan tatapan yang masih terlampau aneh hingga saat ini. Tapi tak apa lah memang hal itu yang aku inginkan dari dahulu. Sebelum paman datang, hanya Kak Afifah yang mendapatkan cara pandang seperti itu dari ibu, dan bahkan ayah. Seolah tak ada bagian untukku untuk mendapatkannya waktu itu.
“Iya, Bu, nanti Andi makan. Tapi, Andi mau nanya sesuatu pada ibu. Ee….itu pun kalau ibu tak keberatan sih…”, pintaku ragu.
“Soal apa, Di?”, Ibu balik bertanya.
“Soal…soal….paman, Bu!”, kuberanikan walau amat susah kata itu terucap.
“Paman? Ada apa dengan pamanmu, Di?”
“Paman aneh. Beliau tak seperti dulu, Bu. Kemarin saja ketika aku mengajaknya jalan-jalan, dia lebih banyak melamun. Tutur katanya juga aneh, banyak ngelantur ke hal-hal yang tak biasa ia bahas pada pertemuan kami sebelumnya. Anehnya lagi, Teh Tarmi yang biasanya ia singgung pada setiap pembicaraan kami sebelumnya, kemarin tak ia singgung sedikit pun seolah kebanggaannya pada Teh Tarmi yang pintar dan shalihah itu sudah pupus sekarang. Apa ini hanya perasaan Andi saja ya Bu?”, jelasku panjang lebar seraya meminta pendapat ibu.
Ibu menggapai kedua tanganku dan meremas jari-jarinya dengan lembut. Hatiku hancur mendapat perlakuan begitu penuh kasih dari ibu. Ada dua sungai kecil yang mengalir di kedua pipinya.
            Beliau menghela nafas berat, seolah bersiap menerangkan apa yang sebenarnya terjadi.
            “Tarmi adalah anak perempuan kesayangan dan kebanggan bapaknya. Dia dididik sendirian oleh Pamanmu sepeninggal bibimu setelah melahirkan dia. Paman mendidik Tarmi dengan segenap kasih sayangnya. Di tengah kesibukannnya beternak dan bertani, ia selalu memperhatikan pendidikan anaknya, baik yang berhubungan dengan ilmu dunia maupun akhirat. Tarmi disekolahkan ke Madrasah Ibtidaiyah dan juga disekolahkan mengaji di sebuah tempat pengajian yang biayanya terbilang mahal tetapi memang berkualitas.  Walaupun bukan pondok pesantren tapi kualitasnya dapat menjadi kenaggaan. Seperti yang kamu tahu, Di, dia pintar sekali mengaji. Dia juga berkerudung lebar seperti kakakmu, Afifah….”, Ibu berhenti sampai di situ. Ada semacam kenyerian dan ketidaksanggupan untuk melanjutkan ceritanya itu. Air matanya yang semakin deras membasahi kerudung lebarnya.
            Aku duduk menatap ibu sangat menangis tersedu seperti itu. Ada kenyerian yang ikut aku rasakan jika melihat ibu menangis sedu sedan begitu.
            Ibu menghela nafas panjang lagi, ”Tarmi seumuran dengan kakakmu. Seharusnya ia kuliah semester tujuh sekarang ini. Tapi…..”, kata-kata ibu kembali tertahan, “ia memalukan”.
            Aku tak mengerti dengan apa yang ibu ucapkan.
            “Maksud ibu, dia tidak lulus kuliah, atau di drop out begitu, Bu?”, tanyaku seraya menebak-nebak.
            “Ia memalukan….. ia kuliah di salah satu universitas ternama di Jakarta. Pamanmu membanting tulang, bahkan sampai banyak berhutang kesana-kemari demi untuk bisa menyekolahkannya ke perguruan tinggi favorit tersebut. Tahun pertama berlangsung lancar, bahkan sangat membanggakan. Hampir semua nilai mata kuliahnya mendapat nilai A. Pamanmu amat bangga dengan hal itu”.
            “Lho, aku masih belum mengerti, Bu. Lalu apa masalahnya, bukankah hal itu bukan masalah? Hal itu sepatutnya kita syukuri, bukan?”, aku keheranan.
            “Masalahnya adalah ketika menginjak semester tiga ia mengenal seseorang bernama Antonius”, sambung Ibu.
            “Antonius? Siapa dia, Bu?”
            “Teman sekampusnya Tarmi, mahasiswa fakultas kedokteran, katanya”, jelas ibu.
“Lalu?”
Ibu belum melanjutkan. Ada ganjalan yang sangat besar di hatinya untuk mengatakannya padaku. Apakah ganjalan itu begitu besarnya hingga ibu begitu sulit untuk mengatakannya padaku?
Ibu masih diam. Aku menatap wajahnya dan merasakan sekali betapa aku sangat mencintaimu ibu. Aku mencintaimu, sungguh….
            “Mereka pacaran sampai Tarmi hamil!”, jelas ibu setengah tak sadar.
            “ Masya Allah…. Teh Tarmi?! Tak mungkin! Tak mungkin ia berlaku sejahat itu pada paman. Tak mungkin akhlaknya seburuk itu. Itu pasti salah, Bu!”, kecamku tak percaya seraya terperanjat kaget.
            “Itu benar, Nak. Sekarang mereka berumah tangga. Tapi tidak secara Islam.”
            “Maksud Ibu?”
            “Antonius bukan orang Islam, Di. Dia misionaris! Dia bukan mahasiswa di fakultas kedokteran melainkan mahasiswa salah satu universitas teokrasi di Jakarta”.
            “Astagfirullahal adzim….. Lalu apakah paman tetap menerima mereka?”
            “Itulah, Di. Mana mungkin pamanmu dapat menerima mereka setelah mereka mencoreng mukanya dengan aib yang besar itu. belum lagi agama yang dianut oleh Antonius bukanlah Islam seperti kita”.
            Sungguh berita ini bagai petir yang menyambar di tengah hari bolong. Aku tak mempercayai perempuan sepintar dan seshalihah Teh Tarmi bisa terperangkap oleh jebakan misionaris seperti Antonius brengsek itu. Kumengerti mengapa paman menyinggung mengenai pacaran berbeda agama. Ternyata ia amat terpukul dengan kelakuan anaknya yang begitu rupa. Mungkin ia tak ingin aku mengalami hal serupa. Paman, oh paman, malang benar nasibmu.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar