Oleh: Rai Yuk
Langit sore mulai merayap. Udara dingin
mulai merasuk ke dalam tulang lewat pori-pori kulit.
Terlebih bagi kulit yang masih basah dengan keringat. Sejuk dan dingin seolah menjadi dua
istilah yang sulit dipisahkan maknanya dan rasanya.
Sang Surya telah menuju
peraduannya. Ia nampaknya
sudah lelah mengelilingi angkasa jumantara seharian ini. Tugasnya sepenuh malam
nanti akan digantikan oleh Sang Dewi Malam. Itulah sudah kodrat Ilahi dan
kekuasaan Allah Ta’ala Yang Maha Esa atas segalanya.
Tidak
hanya itu pertanda siang berganti malam. Suara tonggeret1 semakin menjerit-jerit di pohon sirsak dekat Ruang Guru sekolah ini. Hewan
kecil bersuara
nyaring itu seolah tidak ingin kalah oleh hewan lainnya. Ya, si kecil mungil
ini tentu tidak ingin kalah oleh kelepak burung-burung malam seperti kelelawar
yang sudah mulai terbang memenuhi luasnya angkasa petang. Kelelawar memang
sering menjadi suatu pertanda malam akan segera menjelang. Bahkan, menurut
cerita orang zaman dulu, kelelawar suka dijadikan pertanda dimulainya buka
puasa di Bulan Ramadhan. Artinya kelelawar dipakai sebagai tanda sudah datangnya waktu magrib. Tentu saja di zaman sekarang ini sudah tidak zamannya. Terlalu ketinggalan zaman
rasanya jika kita masih melakukan perhitungan waktu dengan cara itu padahal
orang lain sudah bisa buat pesawat ruang angkasa.
Seorang guru muda, Pak Budi, begitu ia akrab dipanggil masih duduk kelelahan di
sudut lapang basket sekolah tempatnya mengajar ini. Di lapangan yang
dimultifungsikan juga sebagai lapangan futsal ini hampir setiap hari Kamis dan
Sabtu sore Ia dan kawan-kawannya sesama guru bermain futsal. Adakalanya mereka
tanding dengan klub futsal guru-guru dari sekolah lain. Namun yang paling
sering adalah pertandingan latihan saja antar guru dari sekolah tersebut.
Sambil
istirahat ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Teman-temannya sudah tak heran
dengan kelakuannya itu, ‘sudah biasa kalau Pak Budi berfikir begitu’ katanya.
Di antara pada staf pengajar disana memang Pak Budi ini dikenal sebagai guru
muda yang pemikir atau mungkin sering juga kelihatan melamun. Tak heran ia
dijuluki sebagai ‘Pak Prof’ oleh teman-teman seprofesinya itu. Apalagi dia guru
Fisika yang biasanya terkenal galaknya minta ampun.
Namun demikian, lain halnya dengan Pak Budi yang asal
Sumedang ini. Ia tidak galak seperti halnya banyak guru fisika yang menjadi
tersohor karena sifatnya yang gampang marah. Dia justru sangat ramah, orangnya
murah senyum. Tak heran, walaupun ia baru mengajar di sekolah ini satu tahun lalu,
survey yang dilakukan oleh Mading Sekolah menunjukkan bahwa mata pelajaran
Fisika adalah mata pelajaran yang paling disukai oleh siswa. Bukan itu saja,
Pak Budi pun dinobatkan sebagai Guru Terfavorit versi Mading Sekolah tersebut.
“Pak Budi, sampeyan
ini mikirin apa toh? Istri belum
punya, anak yo apalagi. Kalau aku iki lah pantas aja melamun, takut beras di rumah abis, anakku tidak bisa jajan,
dapur gak bisa ngebul, istriku tidak bisa makan. Terlebih untuk guru honorer
kayak kita ini, kalau tidak kuat mental, wah berabe. Tapi sampeyan iki kan masih bujang toh,
belum banyak yang musti difikiran toh”,
tidak nyaman melihat temannya melamun, Pak Trisno pria Tegal yang guru PKn itu
menegur dengan Bahasa Indonesia-nya yang masih menunjukkan medoknya Bahasa Jawa.
Yang ditegur hanya senyum. Ia nampaknya masih menyusun
kata-kata yang akan digunakannya untuk menjawab berondongan pertanyaan dari Pak
Trisno. Belum juga ia merampungkan rangkaian katanya, Pak Man menyela “Eh Pak
Tris, jangan salah, status bujangan bukannya tidak luput dari masalah. Jadi
bujangan tak semudah yang dibilang Koes Plus, Pak Tris. Kayak tidak pernah
mengalami saja, bagaimana sulitnya menahan ‘sesuatu’ kalau masih bujang, he he.
Mengertilah sedikit”.
Disela begitu Pak Trisno hanya tertawa lantas berkata, “Oh
iya yah, aku lupa Pak Man. Kok aku bisa lupa, padahal pengalamanku sendiri
membuktikan bahwa aku dahulu adalah bujangan yang bingung degan status
bujangnya, ha ha ha. Jadi bujangan itu tidak enak, opo-opo sendiri”.
Yang digoda masih belum bersuara. Ia hanya tersenyum-senyum
saja memperhatikan tingkah mereka berdua. Ketika ia masih asyik memperhatikan
dua rekannya itu tiba-tiba Pak Banu juga ikut nimbrung, “Jadi orang mana
calonnya itu Pak Budi?”. Ia belum menjawab.
“Iya, kapan atuh akadnya?”,
timpal Maman, si pegawai TU, menimpali. Sementara yang dicecar pertanyaan masih
diam. Entah ia tidak menemukan jawaban, entah tidak ingin meladeni obrolan
konyol itu atau bagaimana. Ia hanya menyungging senyum.
“Maaf Bapak-bapak yang terhormat, kita ini sedang
membicarakan apa yah?” tanya Budi dengan lugu dan terkesan lucu dengan wajahnya
yang melongo. Karuan saja hal itu membuat semua yang ada tertawa. Ia memang
pandai berkelit dalam menghadapi pertanyaan semacam itu. Dan ia berhasil. Tak
ada satupun dari yang hadir menindak lanjuti pertanyaan konyol mereka.
Kadang ia heran, mengapa orang selalu berbicara pernikahan.
Baginya apalagi, ia selalu menjadi incaran celoteh dan godaan rekan-rekan
kerjanya itu. Umurnya baru akan menginjak dua puluh dua tahun bulan Oktober
mendatang. Lagi pula masih banyak makna hidup yang belum terungkap, lirihnya
dalam hati.
Sebenarnya bukan hal itu yang membuat ia banyak melamun dan
berfikir akhir-akhir ini. Memang tidak salah sama sekali jika dihubungkan
dengan masalah jodoh. Namun juga tidak bisa dibenarkan 100% bahwa lamunannya
dikarenakan memikirkan ingin segera menikah. Itu salah!
Fikirannya melayang ke rumah pamannya, tempat dimana ia
berteduh di kota ini. Ya, setahun yang lalu ia pindah dari tempat kelahirannya,
mengikuti pamannya yang kerja di Dinas Pendidikan kota ini. Dengan bantuan
pamannya itulah ia bisa melamar ke sebuah sekolah sebagai seorang guru. Sekolah
dimana ia duduk di lapang basketnya itulah sekolah yang dimaksud.
Fikirannya kembali menerawang ke rumah pamannya beberapa
minggu yang lalu. Kejadian itu sangat menggetarkan hatinya. Bahkan ia hanyut
oleh rayuan dan bujukan setan yang membuatnya menjadi keras kepala dan menjadi
seorang pembantah pamannya untuk pertama kalinya.
Ini bermula ketika di sebuah hari libur seorang teman
pamannya di kantor bersilaturahmi ke rumah Pak Yusuf, pamannya. Mumpung libur
katanya. Bapak itu juga tidak sendiri. Ia ditemani oleh isteri dan anak
perempuannya. Namun tidak seperti kedatangan tamu yang biasanya, kali itu Budi menaruh curiga.
Apalagi ketika Pak Jumhur dan keluarga itu membawa oleh-oleh yang tidak kentara
banyaknya.
Prasangka itu lebih menggelora ketika anak perempuan Pak
Jumhur itu seringkali mencuri pandang ke arah Budi. Walaupun berkerudung, gadis
itu tidak bisa menjaga matanya. Ia memang tidak bisa dikatakan cantik, badannya
juga agak gemuk. Tidak pula ia bisa dikatakan jelek karena buat Budi di mata
Allah manusia bukan dilihat dari cantik atau tampannya melainkan dari keimanan
dan ketakwaan kepada-Nya. Tetapi, baru saja ketemu ada satu hal yang sangat ia
tidak suka dari perempuan muda itu yakni ‘matanya yang tidak bisa dijaga,
jelalatan!’.
Singkat cerita Pak
Jumhur sudah mengutarakan maksud dan tujuannya yang sebenarnya. Hal itu segera
dipahami oleh pamannya. Beliau menoleh ke arah Budi dan membuat jantungnya
mendegup kencang. Ia tahu akan sangat sulit membuat keputusan. Ia tahu, Pak
Jumhur adalah atasan pamannya di kantor. Itu artinya, martabat dan kedudukan
pamannya akan dipertaruhkan dalam perjodohan ini. Ini pula artinya, pamannya
akan sangat mengharapkan dia menerima lamaran Pak Jumhur. Sementara dalam
hatinya tidak ada kecocokan sedikitpun dengan gadisnya Pak Jumhur itu.
***
“Bagaimana Bud apakah kau sudah bisa menjawabnya sekarang?
Paman tahu ini berat buat kamu karena kamu belum PNS. Kamu mungkin memikirkan
masa depan yakni bagaimana kamu bisa menghidupi keluarga kamu nanti. Tapi kamu
jangan khawatir Bud, Pak Jumhur itu adalah seorang Kepala Dinas. Tidak mungkin
kamu akan ditelantarkan jika kau menikahi anak perempuan semata wayangnya itu.
Bahkan mungkin kamu akan diberikan pekerjaan yang lebih layak daripada
pekerjaanmu sekarang”, bujuk pamannya dengan panjang lebar di satu waktu
senggang setelah keduanya selesai berjamaah Isya di mesjid. Sementara Budi
belum menjawab.
“Ini sudah hari ketiga yang kau janjikan setelah kedatangan
mereka ke rumah ahad lalu, Bud. Kau mungkin sudah menyelesaikan istikharahmu
selama tiga hari. Selain itu paman mohonkan padamu, jikapun kau tidak suka,
lakukanlah ini demi paman. Beliau atasan paman di kantor. Tentu kau mengerti
maksud paman”, tambahnya semakin panjang lebar.
Budi mengangkat kepalanya yang dari tadi tertunduk. Ia masih
menyusun kata-kata yang baik untuk ia utarakan pada pamannya itu. Ia tentu
tidak ingin menyakiti hati orang tuanya itu. Ya, selain ayah dan ibu kandungnya
telah mempercayakan masa depannya kepada pamannya itu, ia pun memang telah
banyak menerima jasa pamannya. Dia bisa kuliah sampai S.Pd tak lain karena
bantuan pamannya. Begitupun ia bisa kerja di sekolah karena bantuan pamannya
pula. Jadilah ia sudah menganggap pamannya sebagai orang tuanya sendiri.
“Paman. Sebelumnya saya berterima kasih karena paman selalu
memikirkan yang terbaik untuk saya. Tentu saja hal itu tak lain dan tak bukan
karena paman sangat menyayangi saya seperti anak paman sendiri. Namun demikian,
paman, setelah istikharahku beberapa hari ternyata belum menampakkan hasil. Aku
belum mendapat jawaban yang bisa memuaskan semua pihak. Maafkan aku paman”,
jawabnya dengan bijak walaupun dalam malu dan segan menyatakannya.
Pamannya memaklumi itu. Ia percaya saja dengan yang dikatakan
keponakannya itu bahwa permasalahannya hanya berujung di hasil istikharahnya.
Beliau tidak tahu kalau sebenarnya ada permasalahan yang lebih besar dari itu
semua.
Sebenarnya, tanpa pamannya ketahui, ia tengah memendam
kekaguman pada sepupunya, anak pamannya itu. Begitupun sebaliknya, Assyifa Rahmatillah
Yusuf anak pamannya itu pula mengaguminya. Mereka saling mengagumi walaupun di
antara keduanya tidak pernah ada yang saling mengungkapkannya. Orang pun tidak
memandang curiga jika mereka sering belajar berdua atau jalan-jalan berdua
karena memang mereka bersaudara.
Pamannya pun sengaja membawa Budi dari kampungnya salah satunya untuk menemani
Syifa setelah bibinya meninggal setahun yang lalu. Kasihan katanya Syifa tidak
ada teman karena memang ia anak tunggal.
Kekaguman itu muncul ketika Syifa sering meminta sepupunya
itu membantunya mengerjakan pe-er Fisika. Gadis kelas tiga SMA itu kagum dengan
kecerdasan, kesabaran, dan keramahan Budi. Ia begitu sabar mengajarkan berbagai
rumus yang sangat sulit ia mengerti sekalipun. Lagipula ia begitu tampan untuk
ukurannya.
Begitu pula bagi Budi, Syifa adalah gadis yang sangat
mengesankan. Ia ramah, cantik, murah senyum, lincah, pintar memasak dan taat
beribadah pula. Apalagi sejak SMP, gadis itu mulai berkerudung lebar seperti
almarhumah ibunya.
***
Sejak malam
itu ia memutuskan untuk memohon ijin pamannya tinggal di asrama sekolah untuk
beberapa minggu. Katanya, ia mendapat tugas dari kepala sekolah sebagai
pembimbing anak-anak yang tinggal di asrama sekolah. Pak Latief yang guru PAI
tidak bisa melakukan tugasnya karena sakit keras. Selain itu, katanya ia ingin
lebih memantapkan istikharahnya di tempat yang lebih sunyi seperti sekolah. Alasan
itu memang benar, tidak dibuat-buat. Walaupun begitu ada satu lagi alasan yang
tidak diungkapkannya bahwa sebenarnya ia ingin melepaskan harapannya pada Syifa
yaitu dengan cara menjauh dengannya.
Waktu
beberapa minggu itu tidak terasa berlalu. Sore inilah waktu yang dijanjikan
olehnya pada pamannya. Malam inilah malam yang akan menjadi malam keramat
baginya. Malam inilah akan menjadi penentuan masa depannya, tetap melajang
ataukan menerima lamaran itu.
Baginya, ia
masih berat untuk mengambil keputusan. Karenanya tadi siang ia berpuasa. Namun
begitu, ketika teman-temannya mengajak ia bermain futsal, ia menyanggupi.
Katanya sekalian ngabuburit2. Tetapi
syaratnya, bermain futsal dimulai jam setengah lima agar selesai ketika
menjelang magrib. Malam itu ia langsung pulang, ya pulang ke rumah pamannya
setelah beberapa minggu tinggal di asrama sekolah. Lagi pula pak Latief pun
sudah sembuh dan sudah bisa menjalankan aktivitasnya kembali.
Sehabis buka
puasa dan shalat magrib di rumah, terasa berat langkahnya untuk pergi ke
mesjid, Pengajian Rutin Malam Jumat. Pada pengajian itu, para jamaah yang
semuanya laki-laki dipimpin oleh seorang ustadz. Ayat-ayat Allah yang dibaca
biasanya Surah Yaa siin, belajar tajwid, dan ceramah yang tak jarang diisi
sampai tiga orang Kyai dari pesantren yang berbeda-beda.
Walaupun
badan berbalut lelah, ia paksakan kakinya untuk melangkah ke rumah Allah itu.
Disana ia disambut oleh teman-temannya yang langsung menyalaminya. Mereka bertanya
kemana ia selama ini jarang kelihatan. Beberapa murid mengaji di mesjid juga
banyak yang bertanya katanya. Walaupun ia bukan ustadz tetapi terkadang ia
menjadi tempat bertanya para santri itu. Katanya penjelasan Kang Budi selalu
dapat dimengerti. Entah itu dilebih-lebihkan atau mereka berkata yang
sejujurnya. Ia pun menjawab dengan sejujurnya seraya meminta maaf karena tidak
memohon izin dulu pada mereka. Mereka pun mengerti.
Bahasan
dalam pengajian malam itu adalah seputar pernikahan, singkatnya ikatan
suami-isteri. Sang Kyai menjelaskan bahwa suami dan isteri itu harus menyatu.
Beliau mengutarakan sebuah hadis: Dari
Anas ra, Nabi Saw bersabda, “Sesungguhnya para isteri kalian adalah belahan
(jiwa) para suaminya” (HR. Al-Bazzar). Beliau pun memperkuatnya dengan
hadis: Dari Ćisyah, ia berkata: “Saya
mendengar Rasulullah Saw bersabda: ‘Roh manusia satu dengan yang lainnya saling
menarik. Bila sama, mereka akan bersatu; dan bila berlainan, mereka akan
berjauhan’” (HR. Bukhari).
Hadits
pertama menjelaskan bahwa isteri sebenarnya adalah belahan jiwa suami. Mereka
semula sebenarnya satu. Karena terikat oleh pernikahan, mereka tidak hanya
menjadi satu secara lahiriah, tetapi juga menjadi satu secara batiniah. Oleh
karena itu apa yang dirasakan pahit oleh suami, dirasakan pahit juga oleh
isteri. Apa yang dirasakan menghina isteri, dianggap pula oleh suami sebagai
hal yang menghina dirinya sendiri. Keadaan kejiwaan semacam ini merupakan
fitrah yang Allah tanamkan pada pasangan suami isteri sebagai bagian dari bentuk
konkret dari apa yang disebut ‘isteri belahan suami’.
Hadits kedua
menjelaskan bahwa roh manusia itu saling menarik. Jika cocok, mereka akan
bersatu; jika tidak cocok, mereka berjauhan. Bila seorang isteri merasa tidak
menyatu lagi dengan suaminya atau sebaliknya, suami tidak merasa menyatu lagi
dengan isterinya, keadaan semacam itu akan mengancam kerukunan dan keutuhan
pernikahan mereka. Oleh sebab itu, mereka berdua perlu mencari dan menyelidiki
hal-hal yang menyebabkan hilangnya rasa menyetu diri yang harus ada pada mereka
sebagai suami isteri. Hal ini perlu dilakukan sebab bila perasaan terasing
semacam ini terus tumbuh pada perasaan suami-isteri, lama kelamaan dapat menjauhkan
mereka sehingga muncul keinginan bercerai.3
Dalam hati
Budi berkata, “Apakah hatiku akan bisa
bersatu dengan hati Si Fina anaknya Pak Jumhur itu? Padahal sampai dengan saat
ini pun tak sedikit pun rasa cinta menghampiriku. Apakah mungkin ia akan bisa
menjadi belahan jiwaku sementara disana ada belahan jiwaku yang sesungguhnya,
Syifa. Ah, astagfirullah….”.
Pengajian
Jumat itu selesai sekitar jam sembilan malam. Selepas menunaikan shalat Isya
berjamaah, para jamaah pulang ke rumahnya masing-masing. Namun tidak begitu
dengan Budi. Atas ajakan kawannya, Thalib, ia melanjutkan pengajian malam itu
ke kampung sebelah. Ada peringat Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad Saw katanya. Dai
yang menjadi pengisi acara adalah Kyai muda dari Garut yang sedang digandrungi kawula
muda akhir-akhir ini.
Bahasan yang
menjadi tema ceramahnya adalah seputar shalat. Dai yang memukau hadirin itu
juga banyak membahas mengenai shalat khusuk baik shalat fardhu maupun shalat
sunat. Ia juga menerangkan makna shalat bagi seorang muslim dalam mengarungi
kehidupannya sehari-hari. Dimana ia juga mengatakan bahwa shalat merupakan
suatu ibadah dimana kita selalu diingatkan di waktu-waktu tertentu dimana
aktivitas kita seolah telah merenggut waktu kita untuk mengingat Allah. Selain
itu pada waktu-waktu tertentu dalam shalat, sangat baik untuk memanjatkan doa,
seperti pada sujud terakhir.
Ceramahnya
yang memukau menjadikan waktu berputar tanpa terasa. Ketika Budi melirik jarum
jam tangannya, waktu menunjukkan jam dua belas
lebih enam menit. Ia pun segera bangkit dan bergabung bersama
teman-temannya untuk pulang ke kampung halaman.
Malam itu ia
tak pulang ke rumah. Karena waktu telah larut malam, ia tidak tega membangunkan Syifa ataupun pamannya. Ia
memutuskan menginap di rumah Tholib, temannya. Katanya Tholib masih ingin
berbicang banyak dengannya. Budi pun tanpa ragu menolaknya. Apalagi ketika
Thalib bilang punya Buku Dwiloginya Habiburrahman El-Shirazy4.
Jujur, Budi belum membacanya. Bukan tidak mau tetapi ia tidak punya uang untuk
membelinya.
Yang tadi
berniat mengajak berbincang sudah KO duluan. Sementara Budi tadi sudah meminta
izin untuk membaca Dwilogi itu. Ia tidak menemukan kesulitan walaupun harus membaca
dua buah novel yang tebal-tebal itu. Sejak SD dulu ia memang sudah terbiasa
membaca.
Alur cerita
yang dibawakan pengarang membuatnya melayang jauh ke negeri mesir dan kehidupan
Islami yang indah. Untaian kata beraroma fiqh yang indah membuat kantuknya
hilang sama sekali. Sungguh indah dua karya fenomenal ini. Bukan hanya membuat
terenyuh tetapi juga menjadikan perantara menuju kebeningan hati yang salim.
“Subhanallah, alhamdulillah”, desisnya sembari mengakhir novel episode kedua
itu.
Waktu
menunjukkan pukul empat. Ia sempatkan shalat malam beberapa rakaat dan ditutup
dengan shalat witir serta bermunajat kepada Penguasa Siang dan Malam, Allah
Azzawazala. Tarhim sudah berkumandang memenuhi seluruh angkasa kota. Ia masih
tertegun di depan dua novel itu. Teringat kembali olehnya bahwa keputusan atas
lamaran itu harus ada pagi ini. Antara segan dan keyakinan, ia berkata lirih, “Laa haula walau quwwata ilaa billah…”.
Sukabumi, 14 Juli 2011
1.
Hewan serangga kecil, sering
bersuara ketika sore hari, menempel di batang pohon.
2. Menunggu waktu berbuka
3. Dari buku “20 Rahasia Ikatan Kejiwaan Suami-Isteri” oleh Drs. Muhammad
Thalib.
4. Buku Ketika Cinta Bertasbih karangan Ustadz Habiburrahman El-Shirazy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar