Oleh: Rai Yuk
K
|
eadaan SMA Karya Bhakti sore itu, hari Sabtu,
hening. Rasanya sangat berbeda dari biasanya. Biasanya setiap hari selalu saja
orang di sekolah yang termasuk salah satu sekolah favorit di kota itu. Walaupun
itu sekolah swasta tapi kualitas lulusannya siap diadu dengan lulusan sekolah
negeri sekalipun. Orang-orang yang biasanya datang sore hari kesana bisa siswa
yang mengikuti kegiatan ektrakulikuler yang seabrek jumlahnya ataupun hanya
warga umum yang mau nebeng bermain
basket di lapangan basket sekolah. Pihak sekolah tak melarang hal itu asalkan mereka
yang bermain di sana tak merusak fasilitas sekolah dan tak mengganggu keamanan,
keindahan dan kebersihan sekolah.
Di
satu sudut sekolah itu tepatnya di sudut dekat ruangan tata usaha berdiri sebuah
bangunan. Di pintu ruangan itu tertulis “KOPERASI SEKOLAH”. Terlihat seorang
siswa yang masih berpakain seragam sekolah sibuk membereskan kardus bekas
makanan dan minuman yang jumlahnya lumayan. Koperasi siswa itu memang
menyediakan berbagai macam kebutuhan siswa sekolah mulai dari alat tulis,
seragam, topi siswa, sampai dengan makanan dan minuman ringan yang bisa dibeli
siswa setiap jam istirahat tiba.
Orang
yang sedang sibuk beres-beres itu adalah Andri, salah seorang pengurus koperasi
siswa di sekolah itu, tepatnya
sekretaris koperasi siswa. Ia giliran piket di koperasi itu hari ini.
Salah satu tugas petugas piket adalah membereskan ruangan koperasi sepulang
sekolah sehingga layak dipakai lagi keesokan harinya setelah bertaburan sampah
di setiap sudutnya akibat kegiatan jual beli setiap harinya.
Seharusnya
ia tidak piket sendiri hari ini. Setiap hari memang petugas piket terdiri dari
dua orang. Tapi hari ini, Viany, teman sekelasnya, yang seharusnya menemani ia
piket dikabarkan sakit. Ia juga belum mengetahui pasti akan kebenaran berita
itu karena belum menghubunginya.
“Ah,
aku malas sebetulnya bekerja sendirian seperti ini, sendiri, tak ada teman
mengobrol. Ah, Viany….Viany….kenapa sih kenapa kamu mesti sakit segala….
Mana hand phone aku lagi disita lagi
sama ayah gara-gara nilai raportku semester kemarin turun drastis”, sesal Andri
dalam hati.
Setelah
semuanya beres ia duduk-duduk di kursi panjang di depan kantin sekolah itu,
tempat di mana para pembeli duduk menikmati penganan yang mereka beli di koperasi itu. Di kursi itu
Andri memutar otak, bagaimana caranya agar bisa menghubungi temannya yang
sekaligus seorang wanita yang telah lama ia dambakan. Sebenarnya Andri
menyukainya sejak kelas satu dulu. Tapi tak berani ia mengatakan hal itu, selain
ia tak mau merusak persahabatannya dengan Viany, mereka juga sama-sama anak
Rohis yang memang sama-sama tahu hukum pacaran menurut Islam.
Mau menelfon ke
wartel tidak mungkin. Ia sudah tidak punya uang lagi hari ini, maklumlah akhir
minggu. Buat anak kos yang pulang seminggu sekali ke rumah, hari Sabtu adalah
hari yang amat mengerikan. Boro-boro ada uang untuk malam mingguan. Kalau mau
malam mingguan dengan uang di tangan, dari hari Senin sampai hari Jumatnya
harus menghemat sebisa mungkin. Itu yang tidak dilakukan Andri minggu ini. Ia
tak menghemat uang jajannya seminggu ini. Sehingga, boro-boro buat hal yang
lain, pulang ke rumah saja ia menunggu jemputan ayahnya.
“Kringgg….kringg….kring…..”.
Sejenak
Andri tertegun dengan suara itu. Suara itu mengganggu lamunannya. Ia pun dengan
gerak refleks yang tak ia sadari sepenuhnya merabai setiap kantung yang ada
pada seragag yang ia kenakan. Tapi.
“Astagfirullah…..mengapa aku begitu
bodoh, aku sampai lupa. Aku kan nggak
punya hape sekarang ini. Terus….tadi itu bunyi apa ya? Jangan-jangan hantu
penunggu sekolah lagi. Ini kan sudah sore. Dia nggak suka kali aku di sini. Ih serem juga”,. Bulu kuduk Andri naik
merespon terkaannya tentang hal mistis itu dalam hatinya.
“Kriing…kringgg….kring…..”.
suara itu terdengar lagi.
Andri
yang tadi sudah memutuskan segera pulang karena rasa takut kembali tersentak.
“Ah…rasanya
itu suara hape. Ya, benar-benar suara
hape. Tapi dari mana ya suara itu berasal? Apa dari ruang TU? Ataukah dari
ruang kepala sekolah? Ah, tapi kedengarannya suaranya dari dalam sini. Tapi
setahuku, koperasi siswa ini tidak menjual hape….”, selidiknya dalam hati. Lalu,
karena rasa penasarannya, ia membuka pintu koperasi yang dari tadi sudah
dikunci. Matanya mulai mencari-cari setiap sudut dalam ruangan ukuran empat
kali dua meter itu. Tak lama, ia melihat sebuah benda tergeletak di meja kasir.
Karena hari sudah senja dan setiap jendela sudah ditutup serta lampu sudah
dimatikan, tak jelas benda itu terlihat. Hanya bentuknya saja berbentuk seperti
hape.
Andri
menekan stop kontak. Nampak benda yang belum jelas terlihat tadi. Ternyata
benar, sebuah hand phone berwarna
merah tergeletak di meja kasir seolah sedang menunggu seseorang menemukannya.
“Lho,
kok ada hape di dalam sini sih? Hape
siapa ya?”, pikirnya sambil mendekati meja kasir itu. Ia ambil benda ia
perlahan seperti masih belum percaya ada benda itu di dalam ruangan koperasi
siswa. Ia tekan salah satu tombolnya. Nampak pada hape itu ‘Dua panggilan tak terjawab’ yang ketika ia tekan nampak nama penelfon,
My mom. ia tekan lagi salah satu
tombolnya dan tampil menu kalkulator di layarnya”.
Sejenak
ia berfikir.
“Oh,
mungkin ia hape miliknya Resha, dia
kan kasir. Ya…ya…ya…mungkin karena menghitung harga barang yang datang tadi
siang dia gunakan hapenya. Lalu karena terburu-buru pulang, hapenya ketinggalan. Tapi dia kan nggak bakalan tahu bahwa aku yang
menemukannya. Lagi pula aku kan nggak
punya hand phone sekarang….”, setan
mulai masuk ke dalam urat syarafnya dan mempengaruhi akal sehatnya.
“Astagfirullah….tidak! Aku tak boleh
mengambil milik orang lain”, pikirnya lagi menepis pikiran jahat yang datang
tadi.
“Sudah
jam setengah enam. Sudah sore. Gimana ya ngembaliinya?
Emh, rumahnya kan cukup jauh. Ah, aku
SMS saja”, sejenak ia mengetik seseatu di hape
itu. Ia kirimkan apa yang telah ia ketik itu kepada nomor pemanggil tadi, My Mom. Ia pikir mungkin Resha bingung
mencari-cari hapenya dan meminjam hape ibunya miss call hape dia, aktif atau tidaknya.
“Sudah
setengah enam nih. Lebih baik aku
pulang dan mengembalikannya esok hari sebelum pulang ke rumah”, pikirnya sambil
mengunci pintu ruang koperasi itu dan segera melangkah pulang.
Setibanya
di rumah, Andri duduk di balai-balai, di sebuah kursi rotan di kosan yang
sederhana itu. Hand phone itu
berbunyi lagi bahkan sekarang dengan nada yang berbeda dengan tadi ketika ia
mendengar hape itu berdering di ruang
koperasi sekolah.
Ia
membuka hand phone yang terkunci itu
dan mendapati sebuah pesan. Ia beranikan membaca apa yang tertulis di pesan
itu. Bagaimanapun ia harus membukanya, siapa tahu kabar dari pemiliknya. Ia
benar-benar membukanya.
Didapati
isinya…
“Alhamdulillah…...kalau begitu terima kasih
ya Andri. Bawa saja dahulu olehmu hape itu. Besok sebelum kamu pulang ke
rumahmu tolong antarkan ke sekolah, aku akan mengambilnya ke sana. Ok?!”,
begitu isi dari SMS itu.
Suara
puji-pujian menunggu waktu adzan magrib yang dibawakan anak-anak di mesjid
dekat kosan, membawanya hanyut dalam kelelahan yang sangat karena aktivitas
hari itu. Sedikit demi sedikit tubuhnya lunglai, kalah dengan rasa kantuk.
Puji-pujian itu seolah telah menjadi lagu yang menina bobokannya.
“Begitu
ya, kalau begitu aku mungkin bisa meminta beberapa SMS saja untuk menghubungi
Viany”, pikirnya berniat memanfaatkan barang orang lain tengah ada padanya.
Tapi
baru saja ia mulai mengetik, terdengar suara seseorang memanggilnya.
“Andri,
Andri…….”. Suara itu terdengar sayup-sayp.
Ia
keluar dan melirik ke arah halaman rumah kos
yang cukup luas itu. Kini matanya melirik ke arah pintu pagar masuk. Ia
tersentak kaget ketika didapatinya seseorang yang tak ia duga datang dan kini
tengah berada di dalam pandangan kedua matanya.
“Viany….mengapa
dia ke sini?!”, pikirnya dalam hari.
“Ternyata
kamu, Viany. Mengapa kamu ke sini? Aku baru saja mau nge-SMS kamu, tapi kamu
datang duluan”, tegurnya dengan nada yang aneh tetapi senang pula dengan
kedatangan wanita yang ia sukai itu.
Tetapi
belum juga teguran itu terbalas, Viany telah ambruk, mejatuhkan tubuhnya di
tengah halaman rumah kosan itu. Andri yang jaraknya sudah dekat dengan Viany
segera memburu. Perasaan cemas segera merasuki seluruh tubuhnya manakala remaja
perempuan cantik itu tergeletak tak sadarkan diri dalam pangkuannya.
“Ya
Allah, bagaimana ini. Seandainya aku membawanya ke tempat kosan, bagaimana kata
tetangga nanti. Bagaimana kalau mereka menuduh yang tidak-tidak, bisa-bisa aku
disangka akan berbuat yang tidak senonoh dengan Viany.”, pikirnya bingung
dengan apa yang harus ia perbuat.
“Allahu akbar Allahu akbar……….”, suara adzan telah
bergema di seantero jagat raya sore itu menandakan waktu magrib telah tiba.
Saatnya semua orang menghentikan aktivitasnya dan melaksanakan perintah Yang
Maha Kuasa untuk semua orang yang beriman.
Andri
tersentak oleh suara adzan yang mengisi seluruh kepalanya melalui kedua
telinganya.
“Astagfirullah,
mengapa aku malah melamun. Ini sudah magrib, baiknya kubawa saja Viany ke
rumah, mungkin sebentar lagi siuman. Aku akan laporkan saja kepada ibu kos
supaya tak dituduh yang macam-macam”
Tak
lama kemudian dengan susah payah ia mengangkat tubuh remaja cantik itu. Ia tak
berfikir bahwa ia menikmati dekapannya terhadap perempuan yang ia sukai itu. Ia
hanya berfikir bahwa ia sedang menolong seseorang, bukan memanfaatkan situasi.
Setelah sampai di kamar dan mengabarkan semua yang terjadi kepada ibu kos, dia
termenung mengamati paras cantik di kasur kamar tidurnya itu. Ibu kos mengerti
akan semua yang terjadi dan mengijinkan Viany tidur di rumahnya, tepatnya di
kamar Andri, sampai ia siuman dan bisa pulang ke rumahnya.
Gadis yang tengah
dihadapinya itu memang cantik. Tak akan menjadi suatu kerugian apabila ia bisa
memilikinya. Justeru akan jadi suatu kerugian bila ia tak bisa memiliki gadis
manis berkerudung lebar itu. Tapi itu tak mungkin, tak mungkin ia berkhianat
akan kesucian persahabatannya dengan gadis itu. Lagi pula tak mungkin Viany
menerimanya sebagai kekasih karena ia sama dengannya mengetahui bagaimana
seharusnya hubungan gadis dengan pemuda menurut pandangan Islam, bagaimana
seharusnya seorang akhwat ataupun seorang ikhwan bisa menjaga harga dirinya.
Itu tak mungkin terjadi, dia tak mungkin mau menjalani kisah pacaran seperti
selama ini dibencinya. Dalam lamunan itu, Andri terus menatap wajah ayu di
hadapannya itu.
“A…Aku di mana ini?”,
suara serak itu keluar dari bibir-bibir tipis wanita cantik dalam pembaringan
itu.
Andri yang dari tadi
memperhatikan Viany dengan kedua bola matanya tersentak kaget ketika tiba-tiba
Viany sadar dan sudah menatapnya dalam-dalam.
“Ka…kamu di rumahku.
Iya, kamu di kosanku. Tadi kamu pingsan di halaman kosan aku. Kamu minum dulu
ya!”, kata Andri sambil mengambil segelas air putih di meja dekat kasur itu
yang sejak tadi sudah diambilkan oleh ibu kos. Viany yang merasakan
tenggorokannya begitu kering segera bangkit tanpa membantah. Diteguknya seluruh
isi gelas itu. Nampak sekali bahwa ia sedang kehausan.
Andri bangkit seolah memberi isyarat untuk mengambil air
minum lebih banyak setelah melihat Viany begitu kuat meneguk semua air dalam
gelas tadi. Tapi langkahnya tertahan ketika Viany meraih tangannya. Ia setengah
tak percaya dengan apa yang Viany lakukan.
“Mengapa ia lakukan
ini? Mengapa ia berani-beraninya memegang tanganku? Mengapa ia tidak seperti
Viany biasanya yang sangat hati-hati berhadapan dengan laki-laki. Mengapa
sekarang justeru ia berani memegang tangan seorang laki-laki seperti aku
walaupun aku adalah sahabat karibnya?” pikir Andri dalam hati. Ia berbalik.
“Ada apa?’, tanyanya.
Viany tak menjawab
sepatah kata pun terhadap pertanyaan singkat Andri. Setelah beberapa menit pun
tak ada sedikit pun perkataan yang keluar dari bibir tipis itu. hanya air mata
saja yang sedikit demi sedikit mengalir seperti sebuah sungai kecil di kedua
pipi putih gadis itu.
Amir terheran, dan
bahkan semakin khawatir. Ada apa sebenarnya?
“Baik kalau kamu
belum bisa cerita. Aku tak akan memaksamu. Kamu tiduran saja sekarang. Jangan
khawatir, ibu kos sudah tahu kalau kamu ada di sini dan beliau mengerti. Kalau
kamu mau, bermalam saja di sini, biar nanti aku tidur di sofa. Tapi kalau kamu mau
pulang, nanti setelah shalat Magrib kuantar kamu ke rumah”, ucapnya seolah
menenangkan perempuan yang terlihat bingung itu. padahal ia tak punya uang
sedikit pun di kantongnya. Pikirnya, jika memang nanti ia harus sampai mengantar Viany pulang, ia akan meminjam uang kepada
Deni, teman kosnya.
“Aku mandi dulu ya,
mau shalat maghrib, hampir habis waktunya”, katanya sambil meletakan hape milik Resha yang ia temukan di koperasi
tadi di atas meja belajarnya.
Viany tak memberi
respon. Andri berlalu masih dengan perasaan khawatir dengan kondisi Viany.
Setelah ia mengambil
handuk, ia mandi. Agak tergesa juga melakukannya karena takut waktu magrib
keburu habis. Setelah mengambil air wudhu, ia segera kembali ke kamar.
Betapa terkejut ia
ketika sesampainya di kamar, Viany sudah tak ada di tempat tidur. Ia lebih
terkejut ketika didapatinya hape yang tadi ia letakan di meja belajarnya juga
raib. Rasa bingung dan khawatir kini merasuki seluruh urat nadinya lebih kuat
daripada sebelumnya. Jika tadi ia hanya mengkhawatirkan keadaan Viany yang lain
dari biasanya, kini ia juga mengkhawatirkan hape
milik orang lain dan juga Viany yang hilang.
Segera ia bergegas ke
ruang keluarga, tempat di mana ibu kos yang hidup menjanda dan tanpa anak itu
suka duduk-duduk sendiri. Tapi tak didapatinya Viany di sana, hanya ibu kos
saja yang terlihat sedang duduk dan mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Betapa
shalehahnya ibu kos itu. Ia tak pernah terlihat bersedih walaupun hidupnya
selalu sendiri setiap waktu, tanpa anak, tanpa suami. Tak sampai berani Andri
mengganggu ibu kos-nya untuk menanyakan Viany. Ia bergegas mencari Viany ke
seluruh sudut rumah itu. Tapi hasilnya nihil.
Ia pikir mungkin
Viany sudah pergi keluar. Tanpa pikir panjang lagi, setelah berpakaian, dan
bahkan tanpa menyisir rambut, ia bergegas ke luar rumah, berharap Viany belum
pergi begitu jauh.
Belum begitu jauh ia
melangkah, didapatinya seorang perempuan beberapa ratus meter di depannya
sedang mencoba berlari menjauhi rumah kosannya. Ia perhatikan sosok berkerudung
beberapa ratus meter di depannya itu. Viany, ya Viany. Langkahnya nampak agak
tergusur.
“Viany….tunggu….!!
Tunggu aku, mau kemana kamu? Mengapa tak bilang kalau kamu mau pulang, aku kan
bisa mengantarmu”, teriak Andri dari kejauhan. Hal itu mengundang beberapa
orang yang ada di sekitar sana melirik sinis padanya. Orang lain sedang shalat
maghrib kok malah teriak -teriak.
Viany menoleh, mungkin
ia mendengar teriakan itu. Tapi bukannya ia berhenti dan menunggu orang yang
memanggilnya itu, ia malah terlihat kaget dan terlihat berusaha mempercepat
langkahnya. Kini ia mencoba untuk berlari walaupun perasaan lemah dan letih tak
dapat disembunyikan dari gerakan tubuhnya.
“Ada apa dengannya,
mengapa ia terlihat takut sekali kepadaku? Jangan-jangan….ah tak mungkin ia
mengambil hape itu”, pikir Andri
semakin bingung. Walau begitu ia terus berlari mengejar perempuan berkerudung
lebar yang justeru semakin menjauhinya itu.
Viany terus berlari
tanpa melihat jalan yang ia lalui. Perhatiannya hanya ditujukan kepada
bagaimana ia menghindari Andri. Sesekali ia melirik ke belakang dan terlihat
Andri yang masih setia mengikutinya. Sampai satu saat ia mencoba untuk
menyebrang jalan raya.
Tiba-tiba dari arah
utara , sebuah bus berkecepatan tinggi melaju dengan sombongnya. Supirnya yang
tak menyadari ada seseorang yang menyebrang di depannya tak sempat menginjak
rem, sehingga…..
“Bukk!!!”, tubuh Viany
terpental sejauh beberapa meter. Ia tertabrak bus itu. Tabrakan maut yang tak
dapat dihindarkan lagi.
“Tidak!!!!”, Andri
yang menyaksikan kejadian itu dari jarak yang tak begitu jauh berteriak
histeris.
Ia berlari sekencang
mungkin untuk dapat menggapai tubuh Viany. Orang orang pun segera datang
bergerombol mengerumuni dia dan Viany. Namun semua sudah terlambat. Bus dengan
kecepatan tinggi itu telah menghantam tubuh Viany dan menyebabkan ia tak dapat
bernafas lagi, meninggal dunia. Innalilahi
wainna ilaihi rajiun…..
Andri mendekap tubuh
yang berlumuran darah segar itu. ia mengusap lembut kepala gadis itu. Kerudung
putih yang dikenakannya kini merah dan basah oleh darah. Betapa nyerinya hati
Andri menerima kenyataan bahwa Viany sudah tak ada. Ia mencoba tegar untuk
mengusap wajah gadis itu, yang juga bersimbah darah.
Tanpa sengaja Amir
meraba saku rok wanita itu.
Potongan benda
elektronik itu kini nampak di hadapannya, dalam genggaman tangannya. Viany,
mengapa kau melakukannya?
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar