Rabu, 13 Februari 2013

Hand Phone



Oleh: Rai Yuk

K
eadaan SMA Karya Bhakti sore itu, hari Sabtu, hening. Rasanya sangat berbeda dari biasanya. Biasanya setiap hari selalu saja orang di sekolah yang termasuk salah satu sekolah favorit di kota itu. Walaupun itu sekolah swasta tapi kualitas lulusannya siap diadu dengan lulusan sekolah negeri sekalipun. Orang-orang yang biasanya datang sore hari kesana bisa siswa yang mengikuti kegiatan ektrakulikuler yang seabrek jumlahnya ataupun hanya warga umum yang mau nebeng bermain basket di lapangan basket sekolah. Pihak sekolah tak melarang hal itu asalkan mereka yang bermain di sana tak merusak fasilitas sekolah dan tak mengganggu keamanan, keindahan dan kebersihan sekolah.
            Di satu sudut sekolah itu tepatnya di sudut dekat ruangan tata usaha berdiri sebuah bangunan. Di pintu ruangan itu tertulis “KOPERASI SEKOLAH”. Terlihat seorang siswa yang masih berpakain seragam sekolah sibuk membereskan kardus bekas makanan dan minuman yang jumlahnya lumayan. Koperasi siswa itu memang menyediakan berbagai macam kebutuhan siswa sekolah mulai dari alat tulis, seragam, topi siswa, sampai dengan makanan dan minuman ringan yang bisa dibeli siswa setiap jam istirahat tiba.
            Orang yang sedang sibuk beres-beres itu adalah Andri, salah seorang pengurus koperasi siswa di sekolah itu, tepatnya  sekretaris koperasi siswa. Ia giliran piket di koperasi itu hari ini. Salah satu tugas petugas piket adalah membereskan ruangan koperasi sepulang sekolah sehingga layak dipakai lagi keesokan harinya setelah bertaburan sampah di setiap sudutnya akibat kegiatan jual beli setiap harinya.
            Seharusnya ia tidak piket sendiri hari ini. Setiap hari memang petugas piket terdiri dari dua orang. Tapi hari ini, Viany, teman sekelasnya, yang seharusnya menemani ia piket dikabarkan sakit. Ia juga belum mengetahui pasti akan kebenaran berita itu karena belum menghubunginya.
            “Ah, aku malas sebetulnya bekerja sendirian seperti ini, sendiri, tak ada teman mengobrol.  Ah, Viany….Viany….kenapa sih kenapa kamu mesti sakit segala…. Mana hand phone aku lagi disita lagi sama ayah gara-gara nilai raportku semester kemarin turun drastis”, sesal Andri dalam hati.
            Setelah semuanya beres ia duduk-duduk di kursi panjang di depan kantin sekolah itu, tempat di mana para pembeli duduk menikmati penganan yang  mereka beli di koperasi itu. Di kursi itu Andri memutar otak, bagaimana caranya agar bisa menghubungi temannya yang sekaligus seorang wanita yang telah lama ia dambakan. Sebenarnya Andri menyukainya sejak kelas satu dulu. Tapi tak berani ia mengatakan hal itu, selain ia tak mau merusak persahabatannya dengan Viany, mereka juga sama-sama anak Rohis yang memang sama-sama tahu hukum pacaran menurut Islam.
Mau menelfon ke wartel tidak mungkin. Ia sudah tidak punya uang lagi hari ini, maklumlah akhir minggu. Buat anak kos yang pulang seminggu sekali ke rumah, hari Sabtu adalah hari yang amat mengerikan. Boro-boro ada uang untuk malam mingguan. Kalau mau malam mingguan dengan uang di tangan, dari hari Senin sampai hari Jumatnya harus menghemat sebisa mungkin. Itu yang tidak dilakukan Andri minggu ini. Ia tak menghemat uang jajannya seminggu ini. Sehingga, boro-boro buat hal yang lain, pulang ke rumah saja ia menunggu jemputan ayahnya.
            “Kringgg….kringg….kring…..”.
            Sejenak Andri tertegun dengan suara itu. Suara itu mengganggu lamunannya. Ia pun dengan gerak refleks yang tak ia sadari sepenuhnya merabai setiap kantung yang ada pada seragag yang ia kenakan. Tapi.
            Astagfirullah…..mengapa aku begitu bodoh, aku sampai lupa. Aku kan nggak punya hape sekarang ini. Terus….tadi itu bunyi apa ya? Jangan-jangan hantu penunggu sekolah lagi. Ini kan sudah sore. Dia nggak suka kali aku di sini. Ih serem juga”,. Bulu kuduk Andri naik merespon terkaannya tentang hal mistis itu dalam hatinya.
            “Kriing…kringgg….kring…..”. suara itu terdengar lagi.
            Andri yang tadi sudah memutuskan segera pulang karena rasa takut kembali tersentak.
            “Ah…rasanya itu suara hape. Ya, benar-benar suara hape. Tapi dari mana ya suara itu berasal? Apa dari ruang TU? Ataukah dari ruang kepala sekolah? Ah, tapi kedengarannya suaranya dari dalam sini. Tapi setahuku, koperasi siswa ini tidak menjual hape….”, selidiknya dalam hati. Lalu, karena rasa penasarannya, ia membuka pintu koperasi yang dari tadi sudah dikunci. Matanya mulai mencari-cari setiap sudut dalam ruangan ukuran empat kali dua meter itu. Tak lama, ia melihat sebuah benda tergeletak di meja kasir. Karena hari sudah senja dan setiap jendela sudah ditutup serta lampu sudah dimatikan, tak jelas benda itu terlihat. Hanya bentuknya saja berbentuk seperti hape.
            Andri menekan stop kontak. Nampak benda yang belum jelas terlihat tadi. Ternyata benar, sebuah hand phone berwarna merah tergeletak di meja kasir seolah sedang menunggu seseorang menemukannya.
            “Lho, kok ada hape di dalam sini sih? Hape siapa ya?”, pikirnya sambil mendekati meja kasir itu. Ia ambil benda ia perlahan seperti masih belum percaya ada benda itu di dalam ruangan koperasi siswa. Ia tekan salah satu tombolnya. Nampak pada hape itu ‘Dua panggilan tak terjawab’ yang ketika ia tekan nampak nama penelfon, My mom. ia tekan lagi salah satu tombolnya dan tampil menu kalkulator di layarnya”.
            Sejenak ia berfikir.
            “Oh, mungkin ia hape miliknya Resha, dia kan kasir. Ya…ya…ya…mungkin karena menghitung harga barang yang datang tadi siang dia gunakan hapenya. Lalu karena terburu-buru pulang, hapenya ketinggalan. Tapi dia kan nggak bakalan tahu bahwa aku yang menemukannya. Lagi pula aku kan nggak punya hand phone sekarang….”, setan mulai masuk ke dalam urat syarafnya dan mempengaruhi akal sehatnya.
            Astagfirullah….tidak! Aku tak boleh mengambil milik orang lain”, pikirnya lagi menepis pikiran jahat yang datang tadi.
            “Sudah jam setengah enam. Sudah sore. Gimana ya ngembaliinya? Emh, rumahnya kan cukup jauh. Ah, aku SMS saja”, sejenak ia mengetik seseatu di hape itu. Ia kirimkan apa yang telah ia ketik itu kepada nomor pemanggil tadi, My Mom. Ia pikir mungkin Resha bingung mencari-cari hapenya dan meminjam hape ibunya miss call hape dia, aktif atau tidaknya.
            “Sudah setengah enam nih. Lebih baik aku pulang dan mengembalikannya esok hari sebelum pulang ke rumah”, pikirnya sambil mengunci pintu ruang koperasi itu dan segera melangkah pulang.
            Setibanya di rumah, Andri duduk di balai-balai, di sebuah kursi rotan di kosan yang sederhana itu. Hand phone itu berbunyi lagi bahkan sekarang dengan nada yang berbeda dengan tadi ketika ia mendengar hape itu berdering di ruang koperasi sekolah.
            Ia membuka hand phone yang terkunci itu dan mendapati sebuah pesan. Ia beranikan membaca apa yang tertulis di pesan itu. Bagaimanapun ia harus membukanya, siapa tahu kabar dari pemiliknya. Ia benar-benar membukanya.
            Didapati isinya…
            “Alhamdulillah…...kalau begitu terima kasih ya Andri. Bawa saja dahulu olehmu hape itu. Besok sebelum kamu pulang ke rumahmu tolong antarkan ke sekolah, aku akan mengambilnya ke sana. Ok?!”, begitu isi dari SMS itu.
            Suara puji-pujian menunggu waktu adzan magrib yang dibawakan anak-anak di mesjid dekat kosan, membawanya hanyut dalam kelelahan yang sangat karena aktivitas hari itu. Sedikit demi sedikit tubuhnya lunglai, kalah dengan rasa kantuk. Puji-pujian itu seolah telah menjadi lagu yang menina bobokannya.
            “Begitu ya, kalau begitu aku mungkin bisa meminta beberapa SMS saja untuk menghubungi Viany”, pikirnya berniat memanfaatkan barang orang lain tengah ada padanya.
            Tapi baru saja ia mulai mengetik, terdengar suara seseorang memanggilnya.
            “Andri, Andri…….”. Suara itu terdengar sayup-sayp.
            Ia keluar dan melirik ke arah halaman rumah kos  yang cukup luas itu. Kini matanya melirik ke arah pintu pagar masuk. Ia tersentak kaget ketika didapatinya seseorang yang tak ia duga datang dan kini tengah berada di dalam pandangan kedua matanya.
            “Viany….mengapa dia ke sini?!”, pikirnya dalam hari.
            “Ternyata kamu, Viany. Mengapa kamu ke sini? Aku baru saja mau nge-SMS kamu, tapi kamu datang duluan”, tegurnya dengan nada yang aneh tetapi senang pula dengan kedatangan wanita yang ia sukai itu.
            Tetapi belum juga teguran itu terbalas, Viany telah ambruk, mejatuhkan tubuhnya di tengah halaman rumah kosan itu. Andri yang jaraknya sudah dekat dengan Viany segera memburu. Perasaan cemas segera merasuki seluruh tubuhnya manakala remaja perempuan cantik itu tergeletak tak sadarkan diri dalam pangkuannya.
            “Ya Allah, bagaimana ini. Seandainya aku membawanya ke tempat kosan, bagaimana kata tetangga nanti. Bagaimana kalau mereka menuduh yang tidak-tidak, bisa-bisa aku disangka akan berbuat yang tidak senonoh dengan Viany.”, pikirnya bingung dengan apa yang harus ia perbuat.
            “Allahu akbar  Allahu akbar……….”, suara adzan telah bergema di seantero jagat raya sore itu menandakan waktu magrib telah tiba. Saatnya semua orang menghentikan aktivitasnya dan melaksanakan perintah Yang Maha Kuasa untuk semua orang yang beriman.
            Andri tersentak oleh suara adzan yang mengisi seluruh kepalanya melalui kedua telinganya.
            “Astagfirullah, mengapa aku malah melamun. Ini sudah magrib, baiknya kubawa saja Viany ke rumah, mungkin sebentar lagi siuman. Aku akan laporkan saja kepada ibu kos supaya tak dituduh yang macam-macam”
            Tak lama kemudian dengan susah payah ia mengangkat tubuh remaja cantik itu. Ia tak berfikir bahwa ia menikmati dekapannya terhadap perempuan yang ia sukai itu. Ia hanya berfikir bahwa ia sedang menolong seseorang, bukan memanfaatkan situasi. Setelah sampai di kamar dan mengabarkan semua yang terjadi kepada ibu kos, dia termenung mengamati paras cantik di kasur kamar tidurnya itu. Ibu kos mengerti akan semua yang terjadi dan mengijinkan Viany tidur di rumahnya, tepatnya di kamar Andri, sampai ia siuman dan bisa pulang ke rumahnya.
Gadis yang tengah dihadapinya itu memang cantik. Tak akan menjadi suatu kerugian apabila ia bisa memilikinya. Justeru akan jadi suatu kerugian bila ia tak bisa memiliki gadis manis berkerudung lebar itu. Tapi itu tak mungkin, tak mungkin ia berkhianat akan kesucian persahabatannya dengan gadis itu. Lagi pula tak mungkin Viany menerimanya sebagai kekasih karena ia sama dengannya mengetahui bagaimana seharusnya hubungan gadis dengan pemuda menurut pandangan Islam, bagaimana seharusnya seorang akhwat ataupun seorang ikhwan bisa menjaga harga dirinya. Itu tak mungkin terjadi, dia tak mungkin mau menjalani kisah pacaran seperti selama ini dibencinya. Dalam lamunan itu, Andri terus menatap wajah ayu di hadapannya itu.
“A…Aku di mana ini?”, suara serak itu keluar dari bibir-bibir tipis wanita cantik dalam pembaringan itu.
Andri yang dari tadi memperhatikan Viany dengan kedua bola matanya tersentak kaget ketika tiba-tiba Viany sadar dan sudah menatapnya dalam-dalam.
“Ka…kamu di rumahku. Iya, kamu di kosanku. Tadi kamu pingsan di halaman kosan aku. Kamu minum dulu ya!”, kata Andri sambil mengambil segelas air putih di meja dekat kasur itu yang sejak tadi sudah diambilkan oleh ibu kos. Viany yang merasakan tenggorokannya begitu kering segera bangkit tanpa membantah. Diteguknya seluruh isi gelas itu. Nampak sekali bahwa ia sedang kehausan.
Andri bangkit  seolah memberi isyarat untuk mengambil air minum lebih banyak setelah melihat Viany begitu kuat meneguk semua air dalam gelas tadi. Tapi langkahnya tertahan ketika Viany meraih tangannya. Ia setengah tak percaya dengan apa yang Viany lakukan.
“Mengapa ia lakukan ini? Mengapa ia berani-beraninya memegang tanganku? Mengapa ia tidak seperti Viany biasanya yang sangat hati-hati berhadapan dengan laki-laki. Mengapa sekarang justeru ia berani memegang tangan seorang laki-laki seperti aku walaupun aku adalah sahabat karibnya?” pikir Andri dalam hati. Ia berbalik.
“Ada apa?’, tanyanya.
Viany tak menjawab sepatah kata pun terhadap pertanyaan singkat Andri. Setelah beberapa menit pun tak ada sedikit pun perkataan yang keluar dari bibir tipis itu. hanya air mata saja yang sedikit demi sedikit mengalir seperti sebuah sungai kecil di kedua pipi putih gadis itu.
Amir terheran, dan bahkan semakin khawatir. Ada apa sebenarnya?
“Baik kalau kamu belum bisa cerita. Aku tak akan memaksamu. Kamu tiduran saja sekarang. Jangan khawatir, ibu kos sudah tahu kalau kamu ada di sini dan beliau mengerti. Kalau kamu mau, bermalam saja di sini, biar nanti aku tidur di sofa. Tapi kalau kamu mau pulang, nanti setelah shalat Magrib kuantar kamu ke rumah”, ucapnya seolah menenangkan perempuan yang terlihat bingung itu. padahal ia tak punya uang sedikit pun di kantongnya. Pikirnya, jika memang nanti ia harus sampai  mengantar Viany pulang, ia akan meminjam uang kepada Deni, teman kosnya.
“Aku mandi dulu ya, mau shalat maghrib, hampir habis waktunya”, katanya sambil meletakan hape milik Resha yang ia temukan di koperasi tadi di atas meja belajarnya.
Viany tak memberi respon. Andri berlalu masih dengan perasaan khawatir dengan kondisi Viany.
Setelah ia mengambil handuk, ia mandi. Agak tergesa juga melakukannya karena takut waktu magrib keburu habis. Setelah mengambil air wudhu, ia segera kembali ke kamar.
Betapa terkejut ia ketika sesampainya di kamar, Viany sudah tak ada di tempat tidur. Ia lebih terkejut ketika didapatinya hape yang tadi ia letakan di meja belajarnya juga raib. Rasa bingung dan khawatir kini merasuki seluruh urat nadinya lebih kuat daripada sebelumnya. Jika tadi ia hanya mengkhawatirkan keadaan Viany yang lain dari biasanya, kini ia juga mengkhawatirkan hape milik orang lain dan juga Viany yang hilang.
Segera ia bergegas ke ruang keluarga, tempat di mana ibu kos yang hidup menjanda dan tanpa anak itu suka duduk-duduk sendiri. Tapi tak didapatinya Viany di sana, hanya ibu kos saja yang terlihat sedang duduk dan mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Betapa shalehahnya ibu kos itu. Ia tak pernah terlihat bersedih walaupun hidupnya selalu sendiri setiap waktu, tanpa anak, tanpa suami. Tak sampai berani Andri mengganggu ibu kos-nya untuk menanyakan Viany. Ia bergegas mencari Viany ke seluruh sudut rumah itu. Tapi hasilnya nihil.
Ia pikir mungkin Viany sudah pergi keluar. Tanpa pikir panjang lagi, setelah berpakaian, dan bahkan tanpa menyisir rambut, ia bergegas ke luar rumah, berharap Viany belum pergi begitu jauh.
Belum begitu jauh ia melangkah, didapatinya seorang perempuan beberapa ratus meter di depannya sedang mencoba berlari menjauhi rumah kosannya. Ia perhatikan sosok berkerudung beberapa ratus meter di depannya itu. Viany, ya Viany. Langkahnya nampak agak tergusur.
“Viany….tunggu….!! Tunggu aku, mau kemana kamu? Mengapa tak bilang kalau kamu mau pulang, aku kan bisa mengantarmu”, teriak Andri dari kejauhan. Hal itu mengundang beberapa orang yang ada di sekitar sana melirik sinis padanya. Orang lain sedang shalat maghrib kok malah teriak -teriak.
Viany menoleh, mungkin ia mendengar teriakan itu. Tapi bukannya ia berhenti dan menunggu orang yang memanggilnya itu, ia malah terlihat kaget dan terlihat berusaha mempercepat langkahnya. Kini ia mencoba untuk berlari walaupun perasaan lemah dan letih tak dapat disembunyikan dari gerakan tubuhnya.
“Ada apa dengannya, mengapa ia terlihat takut sekali kepadaku? Jangan-jangan….ah tak mungkin ia mengambil hape itu”, pikir Andri semakin bingung. Walau begitu ia terus berlari mengejar perempuan berkerudung lebar yang justeru semakin menjauhinya itu.
Viany terus berlari tanpa melihat jalan yang ia lalui. Perhatiannya hanya ditujukan kepada bagaimana ia menghindari Andri. Sesekali ia melirik ke belakang dan terlihat Andri yang masih setia mengikutinya. Sampai satu saat ia mencoba untuk menyebrang jalan raya.
Tiba-tiba dari arah utara , sebuah bus berkecepatan tinggi melaju dengan sombongnya. Supirnya yang tak menyadari ada seseorang yang menyebrang di depannya tak sempat menginjak rem, sehingga…..
“Bukk!!!”, tubuh Viany terpental sejauh beberapa meter. Ia tertabrak bus itu. Tabrakan maut yang tak dapat dihindarkan lagi.
“Tidak!!!!”, Andri yang menyaksikan kejadian itu dari jarak yang tak begitu jauh berteriak histeris.
Ia berlari sekencang mungkin untuk dapat menggapai tubuh Viany. Orang orang pun segera datang bergerombol mengerumuni dia dan Viany. Namun semua sudah terlambat. Bus dengan kecepatan tinggi itu telah menghantam tubuh Viany dan menyebabkan ia tak dapat bernafas lagi, meninggal dunia. Innalilahi wainna ilaihi rajiun…..
Andri mendekap tubuh yang berlumuran darah segar itu. ia mengusap lembut kepala gadis itu. Kerudung putih yang dikenakannya kini merah dan basah oleh darah. Betapa nyerinya hati Andri menerima kenyataan bahwa Viany sudah tak ada. Ia mencoba tegar untuk mengusap wajah gadis itu, yang juga bersimbah darah.
Tanpa sengaja Amir meraba saku rok wanita itu.
Potongan benda elektronik itu kini nampak di hadapannya, dalam genggaman tangannya. Viany, mengapa kau melakukannya?

****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar