Rabu, 13 Februari 2013

SMS MERAH JAMBU



Oleh: Rai Yuk

Hari ini cukup jemu dan melelahkan. Hari ini pula semua otot-otot ini merasakan ketegangan tiada tara. Semua itu bermula dari dipanggilnya aku ke ruang Kepala Sekolah. Pak Kepala menanyaiku seputar gosip itu. Ya tentang kabar hubunganku dengan Maya, sungguh menggemparkan seluruh warga sekolah. Kabar berita yang belum tentu benar itu seakan memekakkan telinga, memerahkan mata serta membuat geram jiwa. Isu memang terkadang sangat bisa membuat dunia bergejolak. Namun apakah ini hanya sekedar isu ataukah justru diam-diam aku mengakuinya di dalam hati? Maya, siswa SMA kelas XII, anaknya wakil kepala sekolah.
Aku guru baru di sekolah ini. Aku baru lulus S1 jurusan Fisika beberapa bulan yang lalu dan langsung mengajar sebagai tenaga honorer di SMA ini dari awal tahun ajaran bulan Juli kemarin. Jika kuhitung berarti sudah empat bulan hingga bulan Oktober ini. Dan seiring perjalanan waktu dalam kurun empat bulan itu banyak hal yang seharusnya indah itu menjadi berbagai bencana bagiku, bagi karierku, bagi kehidupanku dan harga diriku sebagai guru. Ya, guru baru.
Maya, dia memang anak yang cantik. Dia putri wakil kepala sekolah sebagaimana yang telah aku ceritakan sebelumnya. Tubuhnya tinggi semampai, kulit putih, hidung mancung, dan dagu bagaikan lebah tergantung. Indah. Aku mengakui kecantikannya. Ah, tidak! Dia tidak hanya cantik tetapi anggun.
 Tetapi, sekali lagi tidak! Tidak mungkin aku akan suka kepada muridku sendiri. Itulah yang sering aku katakan dan akan terus menjadi prinsipku. Paling tidak, aku punya prinsip. Tetapi dia tidak cukup manis dan bisa merebut hatiku. Ah,  tidak! Aku dengannya tidak pernah punya hubungan apa-apa. Walaupun mungkin aku akan sangat senang jika dia menyukaiku, seandainya ia pun bukan muridku, dan seandainya dia bukan putri wakil kepala sekolah. Ah, seandainya….. Untuk apa aku berandai-andai?
Apakah semua guru yang pernah muda pernah mengalami hal ini? Apakah semua guru pernah mengalami masa muda, masa dimana pertama kali ditempatkan sebagai guru dan ditempatkan mengajar di SMA? Ataukah hanya aku satu-satunya guru yang pernah mangalaminya? Ah, betapa beruntungnya. Oh, tapi tidak! Aku bukanlah satu-satunya, setiap orang yang seprofesi denganku pernah muda, dan pasti pernah mengalami hal serupa.
Oh ya, setidaknya aku ingat sekarang, begitulah yang terjadi dengan Pak Erwin, Guru Pendidikan Bahasa Inggris yang tampan dan ramah semasa aku SMA dahulu. Semua teman wanita sekelasku menjadi pengagum beratnya. Semua tentang Pak Erwin menjadi hal yang sangat indah bagi mereka. Tetapi waktu itu, aku kurang suka dengan kejadian itu. Ya, menurutku, itu tidaklah luar biasa.  Itu tidak seluar biasa kisah yang menimpaku sekarang. Ah, aku mendramatisirnya. Padahal aku bukanlah guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Seharusnya aku berfikir lebih logis dan praktis  seperti keilmuanku. Tapi persetan semua itu, masalah social tidak pernah bisa ditebak dengan hukum-hukum fisika. Itu keyakinanku!
Tidak menjadi masalah, apakah kisahku atau kisah Pak Erwin yang lebih fenomenal. Justru aku muak dengan kisah ini. Mengapa? Karena aku tidak menginginkannya dan karena semua isu yang dialamatkan kepadaku itu tidaklah benar. Setidaknya, belum terjadi! Ah, apakah aku sebenarnya berharap? Oh, tidak mungkin!
Apakah ini sebuah kebetulan? Mengapa harus Maya? Aku tak pernah menceritakan perasaan ini kepada siapapun, bahkan kepada anak itu. Aku menutup rapat hatiku untuk muridku secantik apapun ia. Bukanlah itu yang selalu kukatakan? Mengerti!
Ah, apakah aku sekejam itu, bahkan terhadap hatiku sendiri? Tidak! Perasaan di dalam dada ini seharusnya tidak membedakan murid atau bukan. Dia wanita yang akan beranjak dewasa. Sebentar lagi akan jadi mahasiswa. Berarti sebentar lagi dia bukan lagi muridmu Rei. Lihatlah dia sebagai seorang wanita yang sempurna, yang telah bisa merebut hatimu. Hati yang kau kunci rapat-rapat dari ketukan tangan cinta wanita semenjak SMA, kuliah, hingga saatnya kau menemuinya. Dia. Maya, sesungguhnya adalah dewi penyelamat hantimu. Dia juru kunci hatimu. Kau harus menerima kenyataan itu.
Apa, dewi  penyelamat? Tidakkah itu penyetaan berlebihan bahkan keliru? Padahal dia baru saja hampir membuat karir yang baru aku rintis menjadi hancur berantakan. Memang, aku pun belum tahu pasti, apakah dia sendiri yang mengumbarnya. Tetapi……ah aku tak tahu. Ssemua sudah terjadi. Aku hanya malu. Tetapi, jawabanku ternyata bisa meyakinkan Kepala Sekolah. Syukurlah…..
“Kringggggg…………….”, telepon genggamku berdering.
“Halo. Dengan siapa saya bicara?” tanyaku karena nomor penelepon tidak bernama.
“Halo. Ini saya pak Herman,” jawab seorang Bapak di ujung saluran telepon. Aku tersentak kaget. Pak Herman adalah ayah dari anak bernama Maya itu. Dia wakil Kepala Sekolah. Aku bingung, akankah dia jua yang menginterogasiku?
“Oh, iya, Pak. Saya mohon maaf atas semua yang terjadi di sekolah, Pak. Saya pun tidak mengetahui mengapa bisa terjadi,” secara spontan aku memberondongnya dengan serangkaian ungkapan maaf. Padahal tidak seharusnya aku begitu.
“Apakah maksud Pak Rai?”, tanyanya memancing.
“Mengenai..eu…mengenai isu saya dan anak Bapak,” jawabku polos.
Pak Herman terdiam sejenak. Aku membayangkan kemarahannya.  Aku hanya bisa pasrah, berdoa pada Tuhan agar kemurkaannya segera sirna. Siapa yang tidak malu anaknya sendiri digosipkan bermain pacaran dengan guru baru di sekolah yang dia pimpin.
“Pak Rai, saya ingin berkata jujur kepada anda. Tetapi saya juga ingin mendengar kebenaran dari anda. Bisakah anda menemui saya di rumah malam ini?” aku terkejut. Aku semakin bingung. Aku semakin bingung. Pertanyaannya melemahkan aku.
Aku menyanggupinya. Aku akan datang ke rumahnya. Merah ataupun hitam hasilnya, apapun yang terjadi di sana aku tak peduli lagi. Karir dan profesiku yang dipertaruhkan, aku pun tak peduli lagi. Kebenaran ini harus aku perjuangkan. Harus!
“Duduklah, Pak Rai!” sambutnya. Tidak ada garis ramah yang aku lihat dari wajahnya. Wajahnya terlihat masam. Ketegangan semakin memuncak. Aku harus bisa mengendalikan diri.
“Terima kasih, Pak” jawabku singkat.
Kami terdiam.
“Nak  Rai………” mengapa dia mengubah sapaannya?
“Nak Rai, tidak apa bukan jika saya memanggilmu dengan sapaan demikian?” ulangnya.
“Sa..saya…sama sekali tidak keberatan Pak”, jawabku gugup.
“Bapak minta maaf, Nak! Bapaklah penyebab semua kekacauan hidupmu”.
Aku kaget. Apa yang dia maksudkan. Mengapa sekarang ia yang meminta maaf padaku. Semua ini aneh. Semakin aneh….
“Bapaklah yang menyebabkan semuanya. Kau tahu, siapakah yang mengatakan kepada anak-anak itu bahwa kau dan Maya ada hubungan? Itu Maya sendiri yang mengatakannya”, sambungnya.
Aku geram. Ternyata anak itu. Mengapa dia sangat berani mengatakan kebohongan. Tetapi aku masih terdiam.
“Tetapi dia tidak salah. Dia tidak bermaksud  menyebarkan kebohongan.  Karena yang dia tahu itu adalah kebenaran”. Aku semakin tidak mengerti.
“Maya adalah anak piatu. Dia ditinggal ibunya sejak kecil. Karenanya, saya harus berusaha selalu membuatnya tersenyum. Dia butuh kasih sayang. Saya ingin selalu membuatnya gembira. Kendati ia sudah berumur tujuh belas tahun, saya masih belum bisa melepasnya. Bahkan saya khawatir karena dia belum memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya. Memang, wanita sebaiknya menunggu. Tetapi saya khawatir karena dia sangat berbeda dengan gadis kebanyakan. Saya sangat berharap ada seorang pemuda yang bisa membuat hatinya gembira…..”, ia menghela nafas sejenak.
“Suatu hari pemuda yang saya tunggu itu datang. Dia guru baru di sekolah saya. Berarti dia juga gurunya Maya. Kedatangannya membuat hari-hari maya berubah. Ia berubah menjadi periang dan tumbuh layaknya remaja kebanyakan. Saya gembira karena dia mulai tertarik dengan seorang pemuda. Hari-harinya berbunga-bunga. Bahkan dia tidak segan mengutarakan hal itu kepada saya. Saya senang dan gembira mendengarnya. Semoga kebahagiannya itu berlangsung lama”, lanjutnya. Ia mengambil nafas berat.
“Tetapi harapanku itu tidak berlangsung lama. Dua bulan kemudian, ia murung kembali. Saya kebingungan mencari penyebabnya. Ternyata karena guru tampan yang menjadi dambaan hatinya tidak mempunyai perasaan yang sama dengannya. Setidaknya karena harapannya tidak tersambut. Saya berfikir keras untuk membuatnya gembira kembali. Apakah saya harus berkata jujur kepada guru tampan itu. Saya tidak berani. Mungkin saya akan dianggap orang yang tidak tahu malu”.
“Sampai suatu malam saya mendapatkan suatu ide. Saya kirimkan sebuah SMS Merah Jambu, ya SMS yang isinya berupa pernyataan suka dari guru tampan itu pada anak saya. Anak saya percaya. Dia membalasnya. Dia berfikir dia sedang berkomunikasi dengan Anda, padahal dia berkomunikasi dengan ayahnya sendiri. Ah, saya ayah yang sangat jahat!!!”
Aku tertegun. Aku hampir menyangka semua ini mimpi. Luar biasa kekonyolan yang dibuat orang tua ini. Tetapi, luar biasa pula kasih sayangnya pada putrinya. Walaupun caranya salah, sangat keliru!
“Sekarang dia belum mengetahui semuanya. Tapi saya takut suatu saat dia tahu dan dia akan sangat kecewa. Tapi saya tahu saya telah salah Pak Rei. Mohon maafkan saya…”, pintanya memelas.
Aku terdiam. Masih belum begitu percaya.
“Bapak tidak salah. Saya memakluminya, Pak” jawabku singkat.
“Anda sungguh sangat baik. Terima kasih Pak Rei. Tetapi, jika saya yang tidak tahu diri ini boleh mendengar satu lagi kebenaran dari Pak Rei  saya ingin bertanya. Apakah anak saya tidak cukup cantik untuk Anda? Apakah benar yang Anda katakan pada Kepala Sekolah bahwa Anda tidak menyukai anak saya? Sejujurnya, saya dan anak saya sangat mengharapkan jawaban sebaliknya”.
Orang tua ini memang sudah tidak waras. Tetapi dibalik ketidakwarasannya, ia adalah orang tua yang sangat luar biasa.  Ia korbankan harga dirinya demi anaknya. Keberaniannya berkata hal konyol bahkan merendahkan dirinya di depan bawahan sepertiku, aku sangat menghargai dan mengaguminya.
Aku tidak ingin menjawab. Aku tidak bisa. Aku tidak pandai berkata-kata.
(SMS Merah Jambu Nomor 71). Maya, kekasihku, terima kasih kau telah tunjukkan kebenaran di depan orang-orang. Aku sangat menghargainya. Tetapi kuharap kau tidak melakukannya lagi sekarang-sekarang karena waktunya belum tepat. Jika kau sudah berbicara kepada temanku mengenai kebenaran itu, aku bahkan telah berbincang dengan ayahmu mengenai semua ini. Kuharap kisah kita akan berlanjut. Aku mencintaimu, bukan sebagai muridku tetapi sebagai seorang gadis. Salam hangat (Rei)
******
Sukabumi, 31 Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar