Oleh: Rai
Yuk
Hari ini cukup jemu dan melelahkan.
Hari ini pula semua otot-otot ini merasakan ketegangan tiada tara. Semua itu
bermula dari dipanggilnya aku ke ruang Kepala Sekolah. Pak Kepala menanyaiku
seputar gosip itu. Ya tentang kabar hubunganku dengan Maya, sungguh
menggemparkan seluruh warga sekolah. Kabar berita yang belum tentu benar itu
seakan memekakkan telinga, memerahkan mata serta membuat geram jiwa. Isu memang
terkadang sangat bisa membuat dunia bergejolak. Namun apakah ini hanya sekedar
isu ataukah justru diam-diam aku mengakuinya di dalam hati? Maya, siswa SMA kelas
XII, anaknya wakil kepala sekolah.
Aku guru baru di sekolah ini. Aku baru
lulus S1 jurusan Fisika beberapa bulan yang lalu dan langsung mengajar sebagai
tenaga honorer di SMA ini dari awal tahun ajaran bulan Juli kemarin. Jika
kuhitung berarti sudah empat bulan hingga bulan Oktober ini. Dan seiring
perjalanan waktu dalam kurun empat bulan itu banyak hal yang seharusnya indah
itu menjadi berbagai bencana bagiku, bagi karierku, bagi kehidupanku dan harga
diriku sebagai guru. Ya, guru baru.
Maya, dia memang anak yang cantik. Dia
putri wakil kepala sekolah sebagaimana yang telah aku ceritakan sebelumnya.
Tubuhnya tinggi semampai, kulit putih, hidung mancung, dan dagu bagaikan lebah
tergantung. Indah. Aku mengakui kecantikannya. Ah, tidak! Dia tidak hanya
cantik tetapi anggun.
Tetapi, sekali lagi tidak! Tidak mungkin aku
akan suka kepada muridku sendiri. Itulah yang sering aku katakan dan akan terus
menjadi prinsipku. Paling tidak, aku punya prinsip. Tetapi dia tidak cukup
manis dan bisa merebut hatiku. Ah,
tidak! Aku dengannya tidak pernah punya hubungan apa-apa. Walaupun
mungkin aku akan sangat senang jika dia menyukaiku, seandainya ia pun bukan
muridku, dan seandainya dia bukan putri wakil kepala sekolah. Ah, seandainya…..
Untuk apa aku berandai-andai?
Apakah semua guru yang pernah muda
pernah mengalami hal ini? Apakah semua guru pernah mengalami masa muda, masa
dimana pertama kali ditempatkan sebagai guru dan ditempatkan mengajar di SMA?
Ataukah hanya aku satu-satunya guru yang pernah mangalaminya? Ah, betapa
beruntungnya. Oh, tapi tidak! Aku bukanlah satu-satunya, setiap orang yang
seprofesi denganku pernah muda, dan pasti pernah mengalami hal serupa.
Oh ya, setidaknya aku ingat sekarang,
begitulah yang terjadi dengan Pak Erwin, Guru Pendidikan Bahasa Inggris yang
tampan dan ramah semasa aku SMA dahulu. Semua teman wanita sekelasku menjadi
pengagum beratnya. Semua tentang Pak Erwin menjadi hal yang sangat indah bagi
mereka. Tetapi waktu itu, aku kurang suka dengan kejadian itu. Ya, menurutku,
itu tidaklah luar biasa. Itu tidak
seluar biasa kisah yang menimpaku sekarang. Ah, aku mendramatisirnya. Padahal
aku bukanlah guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Seharusnya aku berfikir lebih
logis dan praktis seperti keilmuanku.
Tapi persetan semua itu, masalah social tidak pernah bisa ditebak dengan
hukum-hukum fisika. Itu keyakinanku!
Tidak menjadi masalah, apakah kisahku
atau kisah Pak Erwin yang lebih fenomenal. Justru aku muak dengan kisah ini.
Mengapa? Karena aku tidak menginginkannya dan karena semua isu yang dialamatkan
kepadaku itu tidaklah benar. Setidaknya, belum terjadi! Ah, apakah aku
sebenarnya berharap? Oh, tidak mungkin!
Apakah ini sebuah kebetulan? Mengapa
harus Maya? Aku tak pernah menceritakan perasaan ini kepada siapapun, bahkan
kepada anak itu. Aku menutup rapat hatiku untuk muridku secantik apapun ia.
Bukanlah itu yang selalu kukatakan? Mengerti!
Ah, apakah aku sekejam itu, bahkan
terhadap hatiku sendiri? Tidak! Perasaan di dalam dada ini seharusnya tidak
membedakan murid atau bukan. Dia wanita yang akan beranjak dewasa. Sebentar
lagi akan jadi mahasiswa. Berarti sebentar lagi dia bukan lagi muridmu Rei. Lihatlah
dia sebagai seorang wanita yang sempurna, yang telah bisa merebut hatimu. Hati
yang kau kunci rapat-rapat dari ketukan tangan cinta wanita semenjak SMA,
kuliah, hingga saatnya kau menemuinya. Dia. Maya, sesungguhnya adalah dewi
penyelamat hantimu. Dia juru kunci hatimu. Kau harus menerima kenyataan itu.
Apa, dewi penyelamat? Tidakkah itu penyetaan berlebihan
bahkan keliru? Padahal dia baru saja hampir membuat karir yang baru aku rintis
menjadi hancur berantakan. Memang, aku pun belum tahu pasti, apakah dia sendiri
yang mengumbarnya. Tetapi……ah aku tak tahu. Ssemua sudah terjadi. Aku hanya
malu. Tetapi, jawabanku ternyata bisa meyakinkan Kepala Sekolah. Syukurlah…..
“Kringggggg…………….”, telepon genggamku
berdering.
“Halo. Dengan siapa saya bicara?”
tanyaku karena nomor penelepon tidak bernama.
“Halo. Ini saya pak Herman,” jawab
seorang Bapak di ujung saluran telepon. Aku tersentak kaget. Pak Herman adalah
ayah dari anak bernama Maya itu. Dia wakil Kepala Sekolah. Aku bingung, akankah
dia jua yang menginterogasiku?
“Oh, iya, Pak. Saya mohon maaf atas
semua yang terjadi di sekolah, Pak. Saya pun tidak mengetahui mengapa bisa
terjadi,” secara spontan aku memberondongnya dengan serangkaian ungkapan maaf.
Padahal tidak seharusnya aku begitu.
“Apakah maksud Pak Rai?”, tanyanya
memancing.
“Mengenai..eu…mengenai isu saya dan
anak Bapak,” jawabku polos.
Pak Herman terdiam sejenak. Aku
membayangkan kemarahannya. Aku hanya
bisa pasrah, berdoa pada Tuhan agar kemurkaannya segera sirna. Siapa yang tidak
malu anaknya sendiri digosipkan bermain pacaran dengan guru baru di sekolah
yang dia pimpin.
“Pak Rai, saya ingin berkata jujur
kepada anda. Tetapi saya juga ingin mendengar kebenaran dari anda. Bisakah anda
menemui saya di rumah malam ini?” aku terkejut. Aku semakin bingung. Aku
semakin bingung. Pertanyaannya melemahkan aku.
Aku menyanggupinya. Aku akan datang ke
rumahnya. Merah ataupun hitam hasilnya, apapun yang terjadi di sana aku tak
peduli lagi. Karir dan profesiku yang dipertaruhkan, aku pun tak peduli lagi.
Kebenaran ini harus aku perjuangkan. Harus!
“Duduklah, Pak Rai!” sambutnya. Tidak
ada garis ramah yang aku lihat dari wajahnya. Wajahnya terlihat masam.
Ketegangan semakin memuncak. Aku harus bisa mengendalikan diri.
“Terima kasih, Pak” jawabku singkat.
Kami terdiam.
“Nak
Rai………” mengapa dia mengubah sapaannya?
“Nak Rai, tidak apa bukan jika saya
memanggilmu dengan sapaan demikian?” ulangnya.
“Sa..saya…sama sekali tidak keberatan
Pak”, jawabku gugup.
“Bapak minta maaf, Nak! Bapaklah
penyebab semua kekacauan hidupmu”.
Aku kaget. Apa yang dia maksudkan.
Mengapa sekarang ia yang meminta maaf padaku. Semua ini aneh. Semakin aneh….
“Bapaklah yang menyebabkan semuanya.
Kau tahu, siapakah yang mengatakan kepada anak-anak itu bahwa kau dan Maya ada
hubungan? Itu Maya sendiri yang mengatakannya”, sambungnya.
Aku geram. Ternyata anak itu. Mengapa
dia sangat berani mengatakan kebohongan. Tetapi aku masih terdiam.
“Tetapi dia tidak salah. Dia tidak
bermaksud menyebarkan kebohongan. Karena yang dia tahu itu adalah kebenaran”.
Aku semakin tidak mengerti.
“Maya adalah anak piatu. Dia ditinggal
ibunya sejak kecil. Karenanya, saya harus berusaha selalu membuatnya tersenyum.
Dia butuh kasih sayang. Saya ingin selalu membuatnya gembira. Kendati ia sudah
berumur tujuh belas tahun, saya masih belum bisa melepasnya. Bahkan saya
khawatir karena dia belum memiliki ketertarikan pada lawan jenisnya. Memang,
wanita sebaiknya menunggu. Tetapi saya khawatir karena dia sangat berbeda
dengan gadis kebanyakan. Saya sangat berharap ada seorang pemuda yang bisa
membuat hatinya gembira…..”, ia menghela nafas sejenak.
“Suatu hari pemuda yang saya tunggu
itu datang. Dia guru baru di sekolah saya. Berarti dia juga gurunya Maya.
Kedatangannya membuat hari-hari maya berubah. Ia berubah menjadi periang dan
tumbuh layaknya remaja kebanyakan. Saya gembira karena dia mulai tertarik
dengan seorang pemuda. Hari-harinya berbunga-bunga. Bahkan dia tidak segan
mengutarakan hal itu kepada saya. Saya senang dan gembira mendengarnya. Semoga
kebahagiannya itu berlangsung lama”, lanjutnya. Ia mengambil nafas berat.
“Tetapi harapanku itu tidak
berlangsung lama. Dua bulan kemudian, ia murung kembali. Saya kebingungan
mencari penyebabnya. Ternyata karena guru tampan yang menjadi dambaan hatinya
tidak mempunyai perasaan yang sama dengannya. Setidaknya karena harapannya
tidak tersambut. Saya berfikir keras untuk membuatnya gembira kembali. Apakah
saya harus berkata jujur kepada guru tampan itu. Saya tidak berani. Mungkin
saya akan dianggap orang yang tidak tahu malu”.
“Sampai suatu malam saya mendapatkan
suatu ide. Saya kirimkan sebuah SMS Merah Jambu, ya SMS yang isinya berupa
pernyataan suka dari guru tampan itu pada anak saya. Anak saya percaya. Dia
membalasnya. Dia berfikir dia sedang berkomunikasi dengan Anda, padahal dia
berkomunikasi dengan ayahnya sendiri. Ah, saya ayah yang sangat jahat!!!”
Aku tertegun. Aku hampir menyangka
semua ini mimpi. Luar biasa kekonyolan yang dibuat orang tua ini. Tetapi, luar
biasa pula kasih sayangnya pada putrinya. Walaupun caranya salah, sangat
keliru!
“Sekarang dia belum mengetahui
semuanya. Tapi saya takut suatu saat dia tahu dan dia akan sangat kecewa. Tapi
saya tahu saya telah salah Pak Rei. Mohon maafkan saya…”, pintanya memelas.
Aku terdiam. Masih belum begitu
percaya.
“Bapak tidak salah. Saya memakluminya,
Pak” jawabku singkat.
“Anda sungguh sangat baik. Terima
kasih Pak Rei. Tetapi, jika saya yang tidak tahu diri ini boleh mendengar satu
lagi kebenaran dari Pak Rei saya ingin
bertanya. Apakah anak saya tidak cukup cantik untuk Anda? Apakah benar yang
Anda katakan pada Kepala Sekolah bahwa Anda tidak menyukai anak saya?
Sejujurnya, saya dan anak saya sangat mengharapkan jawaban sebaliknya”.
Orang tua ini memang sudah tidak
waras. Tetapi dibalik ketidakwarasannya, ia adalah orang tua yang sangat luar
biasa. Ia korbankan harga dirinya demi
anaknya. Keberaniannya berkata hal konyol bahkan merendahkan dirinya di depan
bawahan sepertiku, aku sangat menghargai dan mengaguminya.
Aku tidak ingin menjawab. Aku tidak
bisa. Aku tidak pandai berkata-kata.
(SMS
Merah Jambu Nomor 71). Maya, kekasihku, terima kasih kau telah tunjukkan
kebenaran di depan orang-orang. Aku sangat menghargainya. Tetapi kuharap kau
tidak melakukannya lagi sekarang-sekarang karena waktunya belum tepat. Jika kau
sudah berbicara kepada temanku mengenai kebenaran itu, aku bahkan telah
berbincang dengan ayahmu mengenai semua ini. Kuharap kisah kita akan berlanjut.
Aku mencintaimu, bukan sebagai muridku tetapi sebagai seorang gadis. Salam
hangat (Rei)
******
Sukabumi, 31 Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar