Oleh: Rai Yuk
Kulangkahkan
kaki menuju rumahmu, tempat yang menjadi kawah Candradimuka bagiku tak akan
lama lagi. Apa sebab aku mengatakannya Candardimuka? Karena aku akan mendapat
kepedihan yang tak akan dikira oleh orang yang tak pernah mengalaminya. Ya,
walaupun mungkin aku bukanlah orang pertama yang mengalami hal tersebut, cinta
yang kandas karena tak direstui orang tua. Tapi tidak semua orang mengalami hal
menyakitkan itu. Banyak pula orang yang kisah asmaranya justru mendapat
sambutan baik orang tua keduanya.
Maksudku
datang ke rumahmu yang sebentar lagi akan menjadi tempat berakadnya kau dengan
calon suamimu. Sementara aku yang kau bilang sebagai kekasihmu hanya akan
menyaksikan hasratku dibunuh, hatiku diiris-iris, dan cintaku diputus tanpa
belas kasihan. Ya, kau tidak salah karena kau menghendaki keinginan orang tua.
Namun
kau pikir aku tidak mempunyai keinginan jahat untuk membawamu pergi,
menyelamatkan sesuatu yang sering kita sebut cinta? Gelora muda mungkin saja
membara di dalam dada ini kekasihku, namun aku masih punya akal sehat, masih
mengantongi hati nurani terlebih aku masih berpijak pada iman dan memiliki
secuil ketakwaan. Aku seorang lelaki dan
tak pantas berbuat biadab, membawa lari seorang wanita yang hendak
mengabdi pada orang tua walaupun harus mengorbankan cintanya. Kawin lari,
bukanlah itu yang aku mau. Bukan itu yang akan membuat bahagia dan itu pun
tidak membuktikan cinta. Tentu tak dapat aku benarkan dengan penelaahan diriku
sendiri untuk menyelamatkan cinta dengan membuat kau durhaka pada kedua orang
tuamu. Bukankah sudah kau memintaku untuk tetap mengingatmu jika aku mau? Kau memang tahu diri ketika dua hari yang
lalu kau meminta maaf karena tidak dapat
mempertahankan cinta kita.
“Aku
menyerahkan semuanya padamu, Azis, apakah akan terus mengingatku untuk
mengenang keindahan yang pernah kita lalui ataukah dengan melupakan aku karena
aku tahu tentu kau akan sakit jika mengingatku padahal orang lain telah
mengambilku darimu. Aku serahkan semuanya padamu karena aku merasa aku sendiri
hina dan tak pantas lagi mengajukan keinginan padamu”, pintamu dalam tangis.
“Sudah
cukup jelas apa yang telah kau katakan. Aku mengerti betul posisimu, Tari. Aku
pun tak dapat menyalahkanmu. Aku tidak dapat memutuskan untuk memilih diantara
dua pilihan yang engkau tawarkan. Namun, jika boleh aku meminta, aku tak akan
mencari cinta lain selain kau karena aku tak percaya lagi akan cinta dan bahkan
tak ingin mengenalinya lagi”, jawabku dalam kecamuk perasaan di dalam dadaku.
Kau
tidak berlisan lagi. Hanya selukis sungai kecil yang mengalir membasahi pipimu
dan tanpa kau sadari kepalamu telah ada di dadaku seakan meminta perlindungan
akan bahaya yang tak akan lama lagi menimpa. Hatiku perih kembali seperti
diiris sembilu. Kutahankan rasa itu dan kuberanikan mengusap kepalamu yang
dihiasi kerudung.
**
“Untuk
apa lagi laki-laki itu datang kemari? Bukankah sudah jelas bahwa kau akan
menikah. Belum mengerti jugakah ia. Apakah perlu mama usir dia di depan tamu
yang banyak itu?”, kudengar bisikan sewot ibumu sesaat setelah aku sampai di
rumahmu. Kulihat ayahmu mendekati ibumu dan mendekatkan bibirnya di telinga
ibumu seraya mungkin berkata “Sudahlah, Ma. Mungkin dia bermaksud baik”. Ya
mungkin beliau berkata begitu karena sejak awal ayahmu baik kepadaku. Tak lama
ia menghampiriku yang tengah duduk di ruang tamu.
“Nak
Azis, maaf lama. Tadi ada tamu yang lain dulu, kebetulan atasan Bapak di
kantor”, sapanya sopan.
“Oh,
tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti betul tentu pada hajat besar seperti ini
semua akan datang. Saya pun juga tidak akan lama, Pak”, jawabku.
“Syukurlah
kalau Nak Azis mengerti. Ehmm, Bapak ingin memohon maaf padamu, Nak”, suaranya
semakin lirih.
“Maaf
untuk apa, Pak?”
“Bapak
tahu perasaanmu. Bapak juga seorang laki-laki dan tahu benar perasaan kau saat
ini. Tapi Bapak tak bisa berbuat apa-apa, ibunya Tari yang memutuskan”,
tambahnya seperti hendak menimbulkan belas kasihanku untuk memberi maaf.
“Ya,
terima kasih, Pak”, jawabku. Sebetulnya di dalam hati aku berkata “Kalau memang
kau tahu apa yang ada dalam perasaanku kenapa kau tidak hentikan pernikahan
ini. Kalau kau mengerti aku mengapa tidak kau gagalkan keputusan istrimu untuk
menikahkan anaknya dengan anak konglomerat itu. Kau mungkin suami yang tidak
bisa mengambil keputusan. Atau mungkin yang kau katakan padaku hanyalah dusta.
Dasar munafik!!”
“Oh
iya, Pak, saya tidak akan lama. Saya sengaja datang kemari hari ini untuk
mengucapkan selamat kepada Tari atas pernikahannya, semoga menjadi keluarga
yang bahagia, sakinah, mawaddah, warohmah. Selain itu saya mohon pamit dan doa dari semuanya karena besok saya akan
pergi mengambil pendidikan saya di negeri orang. Karena mungkin Tari tidak
dapat menemui saya karena tentu sedang sibuk sekali mempersiapkan untuk hari
esok, saya mengucapkannya ke Bapak”, jelasku panjang lebar pada ayahmu tentang
maksud kedatanganku. Padahal aku tahu, kau tidak sedang sibuk. Kulihat kau
mengintip dari sejak tadi aku datang dari balik tirai kamarmu.
“Insya
Allah, Bapak akan sampaikan. Semoga kau berada dalam kesuksesan, Nak!” jawabnya
singkat. Dan tak banyak berkat-kata lagi, aku pamit pulang.
Kulangkahkan
kakiku meninggalkan rumah orangtuamu yang dulu kukira akan menjadi mertuaku. Terburu-buru
aku melangkah menuju mobil karena sudah tak kuasa menahan rasa sakit ini.
Akankah aku menangis? Ya, aku akan menangis. Seorang lelaki pun tak dilarang
menangis. Tapi tidak mungkin di depan banyak orang di rumahmu. Aku akan
melakukannya di dalam mobil saja, agar aku sendiri yang akan mengetahuinya
disaksikan pedal rem dan gas.
Tiba-tiba
kau muncul begitu saja di depan mataku sesaat ketika aku hendak membuka pintu
mobil. “Aa, jangan pergi. Aku takut menghadapi ini sendiri”, kau berkata lirih.
Aku tak kuasa lagi menahan air mata ketika kulihat wajahmu pucat karena kurang
tidur, matamu sayu dan memerah tentu karena tangis. Aku lihat kau bukanlah
seperti Tari kekasihku, kau menyedihkan.
“Hei,
senyumlah adindaku. Sebentar lagi kau akan menikah. Sambutlah semuanya dengan
keikhlasan. Aku harus pergi, mengejar cita-citaku itu. Mudah-mudahan itu akan
membuatku melupakan kau barang sejenak”, jawabku seenaknya.
“Kau
berniat melupakan aku, A?”
“Tentu
saja jika aku bisa, tapi kau tahu sendiri seperti apa perasaanku. Aku pun tak
tahu apa aku mampu.”
Dan
tubuhmu seketika ambruk. Tanganmu memeluk kedua kakiku seraya meminta ampunan
dan maaf dariku atas penghianatan yang tak engkau inginkan. Aku tak kuasa lagi
menahan tetesan-tetesan air mata ini, tanganmu aku raih, kuangkat dan kupeluk
kau kuat-kuat. Aroma rindu menjalari seluruh tubuh. Betul kata orang bijak,
rasa cinta pada sesuatu memang akan bertambah ketika kita kehilangannya.
Kupeluk kau sejenak hingga aku sadar bahwa orang-orang melihat kita berlaku
demikian, termasuk kedua orang tuamu yang diam tanpa kata.
Tanpa
memedulikanmu lagi, aku hendak masuk ke mobil ketika adikmu yang baru kelas
empat SD itu datang menghampiriku.
“Kakak,
mau pergi kemana? Siapa nanti yang akan ngajak Amel jalan-jalan lagi dan ngasih permen buat Amel?”, tanyanya
lugu, membuatku bingung harus menjawab apa.
“Kakak
pergi sebentar ya, Mel. Nanti kakak
hubungi Amel kalau sudah pulang. Atau nanti Amel hubungi kak Azis yah. Sekarang
Amel bawa kakakmu ke rumah, kasihan dia.” Saat itu kau masih melamun, tatapanmu
tak jelas, kosong.
“Katanya
kak Tari mau menikah, kok kak Azis malah pergi? Emang dia mau nikah sama siapa?
Aku mau kakak nikah ama Ka Azis.”, pertanyaannya kembali polos namun tajam.
“Sudahlah
Amel jangan bilang gitu. Sekarang bawa saja kakak ke dalam. Amel akan mengerti
ketika besar nanti.”
Kuraih
tangan-tangan mungil gadis kecil itu seraya aku berkata, “jadilah peri kecil
yang memberi cahaya pada kakakmu ya!”. Ia mengangguk.
**
Aku
kembali. Studiku selama dua tahun telah selesai. Gelar Master Kebijakan Publik
dari Universitas Harvard telah aku kantongi.
Bahkan aku ditawari Phd disana. Aku memang menyanggupinya tapi tidak
untuk tahun itu, mungkin tahun berikutnya kataku.
Kau,
masih kuingat pula saat ini. Tapi kukira aku tak akan menemuimu. Tentu kau
sudah bahagia dengan suamimu, mempunyai satu atau dua anak mungkin. Oh, sungguh
aku tak akan sanggup dipanggil paman oleh anak-anak mantan kekasihku sendiri.
Akan
adakah lagi cintaku untuk kau? Tentu, kenapa aku harus berkata demikian karena
sampai dengan saat ini cinta itu belum aku hilangkan, masih kuat terpahat di
dinding-dinding hati. Bahkan, aku boleh dikata sudah gila ketika di dalam hati
aku bertekad “Biarkan kau seorang janda, akan kunikahi jika kau memberikan
kembali kebahagiaan dan cintamu padaku.” Ya aku memang sudah gila, gila karena
kau telah memberikan cinta terlalu besar kepada hati ini. Dan aku pun tak kuasa
menolaknya.
Aku
merebahkan diri di ruang keluarga. Lelah membuat mataku agak mengantuk tetapi
pikiran ini semakin kuat membuat mata sulit terpejam. Aku mengingatku. Akan ada
apakah dekat-dekat ini. Pikiranku terbawa lamunan. Tapi tidak lantas karena bel
berbunyi. Ada tamu.
Gadis
berumur belasan, kukira kelas satu SMP membawa kabar yang tak kuduga. Kakaknya
yang dua tahun lalu akan menikah itu ternyata masih sendiri. Ia tidak jadi
menikah karena di malam pernikahannya, calon suaminya ditemukan meninggal
karena minuman oplosan di sebuah kedai kopi. Ibunya pun syok dan bahkan
menyerahkan semuanya pada anaknya untuk menikah dengan orang yang ia cintai.
Tapi semua terlambat, dia sekarang tak sadar dirinya siapa alias hilang akal
dan fikiran.
Gadis
itu, gadis yang lugu itu telah jadi peri penolong kakaknya. Aku akan datang
untuk memulai kisah lagi dengannya. Aku tak peduli kau Tari yang mana, apakah
dulu atau sekarang, apakah waras ataupun gila karena nyatanya aku pun gila oleh
cinta kita.
Gadis
kecil. Ya, terima kasih Amel.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar