Oleh: Rai Yuk
Entah
mengapa ada suatu keengganan yang merayap dalam dada untuk membaca pesan
singkat itu. Telepon genggam itu masih berdering. Belum juga kupijit satu
tombolnya pun. Aku hanya dapat membaca dari layarnya “satu pesan dari citra”.
Kumasukan
kembali alat komunikasi itu ke dalam
saku celanaku. Kulanjutkan perjalanan pulangku dari kantor itu. Memang
berbahaya menyetir sambil memainkan hand phone. Bahkan hal itu merupakan suatu
bentuk pelanggaran lalu lintas. Bisa membahayakan diri sendiri juga orang lain.
Namun
sebetulnya bukan itu saja yang menjadi alasan yang membuat aku tidak membuka
pesan singkat itu. Ada hal lain yang membuatku enggan membukanya. Ya, beberapa
waktu belakangan ini aku enggan menerima telfon juga membuka pesan dari wanita
bernama Citra itu.
Ya
Citra, namanya memang cantik, secantik paras wanita berdarah Sunda itu. Entah
mengapa aku mengenalnya. Apakah karena kebetulan saja ataukah Tuhan memang punya
rencana. Atau Dia salah skenario hidupku ini?? Ah tak mungkin Dia salah.
Aku
hanyalah seorang pedagang. Tepatnya aku membuka usahaku sendiri. Sejak dua
tahun lalu, aku bersama Iwan kawanku membuka sebuah restoran di kawasan Buah
Batu. Cukup ramai memang. Itu berkat kerja keras dan pembagian tugas yang kami
lakukan.
Iwan
bertugas dalam hal teknis dan cita rasa produk kami, termasuk pelayanan. Tak
heran, ia adalah lulusan sebuah akademi pariwisata jurusan perhotelan. Ia lulus
setahun yang lalu.
Sedangkan
aku sendiri bertugas dalam hal pemasaran, termasuk administrasi dan menajerial.
Memang, beberapa bulan sebelum Iwan lulus, aku lebih dahulu menyandang gelar
Sarjana Ekonomi dari sebuah universitas negeri ternama di Bandung.
Duet
maut kami ternyata berbuah hasil yang lumayan. Restoran milik berdua itu kami
beri nama “WAROENG DJAWA”. Nama itu kami ambil dari singkatan nama kami, aku
Dani Jakaria” dan temanku “Iwan Ardiana”.
Beberapa
bulan setelah pembukaan restoran itu, kami mendapat sebuah pesanan. Order yang
dimaksudkan adalah untuk sebuah acara pesta ulang tahun. Yang berulang tahun adalah
seorang gadis tajir putri seorang juragan tekstil Indonesia, Tuan Broto
Sutedjo. Lumayan, dengan telah mulai dikenalnya restoran kami oleh kalangan
atas seperti itu, makin terbuka kesempatan bagi warung makan kami itu untuk dikenal
oleh kalangan atas.
Entah
apa dan bagaimana awalnya, tiba-tiba aku mengenal seorang gadis dari pesta
tersebut. walaupun aku tidak ikut dalam pesta itu sebagai undangan namun
sebagai pemilik restoran, aku dan Iwan mendapat kehormatan untuk berbincang
dengan orang tua si gadis yang berulang tahun, Tuan Broto berserta Nyonya
Broto.
Selain
Cuma ngobrol ngalor ngidul, Tuan Broto juga meminta beberapa buah kartu namaku.
Dan dengan senang hati, ia membagikannya kepada tamu-tamu yang hadir di
pestanya itu, terutama kepada rekanan bisnisnya. Dia mengatakan puas sekali
dengan pelayanan kami, dan mengatakannya pula pada konco-konco bisnisnya yang
ada di sana. Baik nian konglomerat ini berniat mempromosikan restoran kami yang
belum cukup dikenal ini. Kami bersyukur.
Ternyata
resep Tuan Broto itu bekerja dan manjur pula. Sejak saat itu ada puluhan terfon masuk ke handphone ku
untuk memesan tempat, baik untuk acara pesta, meeting, atau sekedar acara
keluarga yang kecil dan tidak memerlukan seluruh sudut ruang restoran.
Namun
telfon terakhir yang aku angkat agak janggal dan berbeda dengan yang lainnya.
Telfon itu kuangkat pada malam selasa sehabis shalat Isya.
“Hallo”.
“Halo.
Selamat malam!”, jawabnya.
“Malam.
Dengan siapa ya?”, tanyaku.
“A..aku
Citra”, jawabnya agak gugup.
“Citra?
Citra yang mana ya? Saya tidak mempunyai kenalan bernama Cita”, Tanya ku lagi.
“Eu..euu..aku
temannya Linda”, jawabnya.
“Linda?
Siapa pula itu?”, aku malah balik bertanya.
“Linda
anaknya Tuan Broto”.
Baru
aku ingat ketika mendengar kata Tuan Broto itu. Bagaimana pun dia adalah salah
satu penunjang kesuksesan restoranku.
“Oooh…maaf
saya tidak tahu tadi. Oh iya, ada yang bisa saya bantu untuk anda Citra?”.
“Emm…formal
amat. Jangan bilang Anda dong Mas. Bilang Citra aja ya!”, pintanya.
“Em..ok.
maaf! Jadi ada perlu apa Citra? Apakah kamu juga mau pesan tempat untuk ulang
tahunmu di restoran saya?” jiwa pengusaha ku mulai merayap.
“Ti..tidak!”.
“Lalu?”
“Aku
hanya ingin kenalan saja. Tidak boleh ya? Ya sudah, tidak apa-apa. Maaf aku
sudah mengganggu Mas Dani”, godanya.
“Eh…jangan
bilang begitu. Siapa bilang nggak boleh. Boleh-boleh saja kok”, jawabku. Entah
mengapa, aku merasa mulai jumawa, merasa punya fans.
“Bener
nih?”
“Ya!”,
jawabku singkat.
Lalu perkenalan kami berlanjut. Namanya Citra
Utami Puteri. Ternyata rumahnya tak jauh dari restoranku, sekitar 500 meter
saja. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara, berarti dia anak bungsu.
Dia
juga pernah mengatakan bahwa ayahnya telah meningal. Dengan tidak sengaja
kuketahui itu ketika aku menanyakan bagaimana kabar ayah dan ibunya. Ibunya
seorang ibu rumah tangga sedangkan ayahnya seorang tentara yang gugur di Timtim
dalam opereasi Seroja silam. Mereka tidak mendapatkan kembali suami dan ayah
mereka, walaupun hanya jasadnya. Ia terkubur di bumi penuh huru-hara itu. Tanah
Leste yang sekarang menjadi negeri orang. Terlebih sang ayah gugur sebelum bisa
melihat dan menggendong bayi Citra yang masih dalam kandungan sang ibu.
Keprihatinannya
itu membuatku tak kuasa menolak untuk menjadi tempat curhatnya baik lewat
telfon ataupun SMS. Dalam hatiku terrenyuh ikut merasakan kesedihan ditinggal
ayah yang belum sempat dikenali. Bagaimana jika aku adalah dia dan dia adalah
aku. Maka aku ladeni saja curhatnya itu walau di tengah kesibukannku.
Lama
kelamaan curhatnya mulai menyentuh hal-hal yang lebih pribadi. Dia mengatakan
bahwa ia dijodohkan dengan anak seorang Jenderal atasan ayahnya dahulu. Ia
tidak menyanggupinya karena ia merasa masih ingin kuliah. Begitulah menurut
pengakuannya.
“Lalu
rencanamu apa?’, tanyaku pada suatu saat.
Ia
hanya terdiam tak bicara apapun
“Citra??”.
“Aku
tidak tahu Mas”.
“Lho
kok begitu? Apa kau tidak mencintainya sehingga kau tidak mau menerima
lamarannya?”, selidikku.
“Bukan.
Aku rasa aku masih kecil, belum siap”.
“Begitukah?
Bukannya kau sudah semester enam sekarang ini?”.
“Iya
memang kenapa?”.
“Artinya
kau sudah cukup dewasa untuk menikah untuk ukuran wanita. Sekarang ini bayak
cewek yang baru lulus SMA langsung menikah”.
“Tapi
aku aku bukan mereka kan? Aku ingin menyelesaikan dulu S1 ku”.
“Bagus
juga kalau kau maunya begitu”.
“Dan…”
“Apa?”
“Eeuu…”
“Citra…??
Dan apa??”
“Aku
juga sebetulnya sudah mempunyai pilihanku sendiri”.
“Oh
begitu. Baguslah kalau begitu. Teruslah perjuangkan cinta kalian. Kalau boleh
tahu, siapakah dia? Apakah mungkin aku mengenalnya?”.
“Tidak,
belum saatnya Mas tahu tentang hal itu. Tapi aku yakin Mas pasti tahu sekali
orang itu”.
Namun
ada keganjilan setelah itu. Aku merasa mulai ada hal-hal yang aneh dengannya,
dengan perilakunya. Ia mulai sering menelfonku tak tahu waktu. Pagi, siang,
sore, malam, dini hari, ia tak henti menelfon, mengirimi aku pesan singkat.
Sampai aku tak bisa membaca semua pesan singkatnya. Aku bahkan tak mengerti
mengapa dia menjadi seperti itu. Padahal isi pesan yang dikirimkannya bukanla
hal-hal yang penting. ‘Mas, udah pulang belum?’, ‘Mas,sholat belum’, ‘Met
siang, Mas. Ganggu gak?’, ‘kok gak bls, ngambek ya?’, dan sebagainya.
Yang
lebih membuatku aneh lagi dia selalu marah-marah ketika SMS-nya tidak dibalas.
Dan dia akan mengirimi aku pesan :
“Ya
sudah kalau Mas gak mau lagi SMS-an sama aku, aku gak akan SMS Mas lagi. Bete!”
Satu
dua kali aku balas lagi walaupun hatiku mulai jengkel bahkan muak. Aku mulai
berfikit “perempuan ini dikasih hati malah minta jantung”. Apalagi pekerjaanku
mulai banyak yang terbengkalai karenanya. Aku tambah jengkel saja. Namun karena
rasa kassihanku pada keadaan keluarganya, aku tetap bertahan. Tak mungkin
kubuat lebih sedih lagi, gadis ABG polos yang kurang perhatian dan perlindungan
orang tuanya, khususnya ayahnya itu.
Ulahnya
itu semakin menjadi. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya
lagi. Telfonnya tidak aku angkat sama sekali. Pesan-pesan singkat yang ia kirim
pun tak pernah aku balas lagi satu pun. Aku benar-benar kewalahan
menghadapinya. Ia terlalu mengjengkelkan, memuakkan…
Namun,
aku luluh lagi. Kali ini dua buah SMS terakhir yang emmbuatku menjadi luluh
kembali. Pesan yang diterima sekitar jam satu siang namun baru kubaca selepas
magrib.
Isi
SMS yang pertama : “Mas, aku tunggu kau di Mall Aryasuna jam 3 ya. Mas datang
ataupun tidak, aku tetap akan menunggu”.
Isi
SMS yang kedua : “Mas tega. Aku datang dan menunggu Mas tepat jam 3 sore tadi
di Aryasuna. Aku menunggu sampai jam 5. Ya sudah moga Mas bahagia udah giniin
aku. Mas tega!!!”
Apa
maksudnya, ungkapku dalam hati. Aku tak ada hubungan khusus dengannya. Lalu
mengapa dia berkata macam begitu. Hanya karena aku sering menjadi teman
curhatnya dan aku merasa kasihan dengan keadaannya lantas ia berfikir
macam-macam. Aku hanya berfikir bahwa ia pasti tertekan sekali dengan keadaan
yang menghimpitnya itu. Ia hidup tanpa pernah mengenal wajah seorang ayah. Ia
memang lahir sesaat setelah ayahnya dikabarkan gugur di medan tempur, daerah
operasi militer di Timtim beberapa tahun silam. Begitu yang aku tahu yang
memang menurut ceritanya pula.
Selepas
Isya kubaringkan tubuh di atas sofa. Di tangan kananku remote TV siap diberi
perintah. Mataku terfokus pada acara TV favoritku, berita ekonomi dan bisnis. Sedangkan
tangan kiriku masih memegang hand phone. HP itu berdering lagi. SMS.
“Assalamualaikum.
Nak Dani, ini ibunya Citra. Maafkan jika ada kesalahan Citra ya. Dia sekarang
terbaring di RS, belum juga siuman”.
Kutanggapi
biasa saja, layaknya hal yang penting dan lewat begitu saja. Tanpa sadar aku
telah menyepelekan hidup mati seseorang. Bahkan aku tak peduli sama sekali
dengan nyawa seorang yang kukenal itu. Lalu aku berucap :
“Citra…Citra…keterlaluan
sekali kau berulah, bercanda tiada batas. Basi sekali teknik seperti ini kau
pakai. Sudah kampungan”, gerutuku sambil membetulkan posisi bantal di kepalaku.
Lalu
aku tertidur pulas.
Besok
paginya aku masih belum memutuskan apakah aku percaya atau tidak. Aku hendak
percaya namun hati kecilku berkata tidak. Dia tetap mengatakan bahwa ini hanya
akal-akalan si Citra itu untuk menarik perhatianku lagi. Dan aku sudah tidak
mau lagi berhubungan banyak dengan dia. Orang yang sangat menyedihkan tetapi
menjengkelkan sekali.
Namun,
bagaimana pula kalau hal itu benar? Apakah pantas aku hanya membiarkan dia
terbaring lemah di Rumah Sakit? Apakah aku bisa dikatakan orang baik, saat
teman sendiri terbaring sakit dan aku tak peduli sedikit pun? Ah…bagaimanakah
ini. Apa yang musti aku lakukan.
***
Sudah
beberapa minggu Citra tidak menghubungi aku lagi. Mungkin dia kapok. Atau
mungkin dia sudah menyadari kesalahannya. Semoga Tuhan mengampuni segala
kesalahannya, kataku dalam hati kecil.
Selain
itu memang aku disibukkan dengan order yang semakin hari semakin banyak. Semakin
hari pelanggan yang dating semakin banyak.
Tiba-tiba
seorang laki-laki setengah baya, masuk ke restoranku dengan terburu-buru. Ia
membawa kabar duka.
“Mas.
Maafkan aku telah melibatkan Mas dalam urusan pribadiku. Mas juga pernah
berkata kita tidak aka ada apa-apa. Ya memang begitu. Walaupun sebetulnya harus
Mas ketahui, aku tidak hanya menganggap Mas sebagai seorang teman curhat atau
seorang kakak saja. Aku ingin lebih dari itu. Namun aku sadar, waktuku tak akan
lama lagi. Mas, periharalah pesanku yang terakhir ini. Kadang wanita tidak bisa
jujur padamu atas perasaannya”
Itulah pesan terahir yang ia tulis dalam
selembar kertas. Aku membacanya di samping jasadnya yang sudah terbungkus kain
putih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar