Rabu, 13 Februari 2013

Satu Pesan Dari Citra


Oleh: Rai Yuk

            Entah mengapa ada suatu keengganan yang merayap dalam dada untuk membaca pesan singkat itu. Telepon genggam itu masih berdering. Belum juga kupijit satu tombolnya pun. Aku hanya dapat membaca dari layarnya “satu pesan dari citra”.
            Kumasukan kembali alat komunikasi  itu ke dalam saku celanaku. Kulanjutkan perjalanan pulangku dari kantor itu. Memang berbahaya menyetir sambil memainkan hand phone. Bahkan hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran lalu lintas. Bisa membahayakan diri sendiri juga orang lain.
            Namun sebetulnya bukan itu saja yang menjadi alasan yang membuat aku tidak membuka pesan singkat itu. Ada hal lain yang membuatku enggan membukanya. Ya, beberapa waktu belakangan ini aku enggan menerima telfon juga membuka pesan dari wanita bernama Citra itu.
            Ya Citra, namanya memang cantik, secantik paras wanita berdarah Sunda itu. Entah mengapa aku mengenalnya. Apakah karena kebetulan saja ataukah Tuhan memang punya rencana. Atau Dia salah skenario hidupku ini?? Ah tak mungkin Dia salah.
            Aku hanyalah seorang pedagang. Tepatnya aku membuka usahaku sendiri. Sejak dua tahun lalu, aku bersama Iwan kawanku membuka sebuah restoran di kawasan Buah Batu. Cukup ramai memang. Itu berkat kerja keras dan pembagian tugas yang kami lakukan.
            Iwan bertugas dalam hal teknis dan cita rasa produk kami, termasuk pelayanan. Tak heran, ia adalah lulusan sebuah akademi pariwisata jurusan perhotelan. Ia lulus setahun yang lalu.
            Sedangkan aku sendiri bertugas dalam hal pemasaran, termasuk administrasi dan menajerial. Memang, beberapa bulan sebelum Iwan lulus, aku lebih dahulu menyandang gelar Sarjana Ekonomi dari sebuah universitas negeri ternama di Bandung.
            Duet maut kami ternyata berbuah hasil yang lumayan. Restoran milik berdua itu kami beri nama “WAROENG DJAWA”. Nama itu kami ambil dari singkatan nama kami, aku Dani Jakaria” dan temanku “Iwan Ardiana”.
            Beberapa bulan setelah pembukaan restoran itu, kami mendapat sebuah pesanan. Order yang dimaksudkan adalah untuk sebuah acara pesta ulang tahun. Yang berulang tahun adalah seorang gadis tajir putri seorang juragan tekstil Indonesia, Tuan Broto Sutedjo. Lumayan, dengan telah mulai dikenalnya restoran kami oleh kalangan atas seperti itu, makin terbuka kesempatan bagi warung makan kami itu untuk dikenal oleh kalangan atas.
            Entah apa dan bagaimana awalnya, tiba-tiba aku mengenal seorang gadis dari pesta tersebut. walaupun aku tidak ikut dalam pesta itu sebagai undangan namun sebagai pemilik restoran, aku dan Iwan mendapat kehormatan untuk berbincang dengan orang tua si gadis yang berulang tahun, Tuan Broto berserta Nyonya Broto.
            Selain Cuma ngobrol ngalor ngidul, Tuan Broto juga meminta beberapa buah kartu namaku. Dan dengan senang hati, ia membagikannya kepada tamu-tamu yang hadir di pestanya itu, terutama kepada rekanan bisnisnya. Dia mengatakan puas sekali dengan pelayanan kami, dan mengatakannya pula pada konco-konco bisnisnya yang ada di sana. Baik nian konglomerat ini berniat mempromosikan restoran kami yang belum cukup dikenal ini. Kami bersyukur.
            Ternyata resep Tuan Broto itu bekerja dan manjur pula. Sejak saat itu  ada puluhan terfon masuk ke handphone ku untuk memesan tempat, baik untuk acara pesta, meeting, atau sekedar acara keluarga yang kecil dan tidak memerlukan seluruh sudut ruang restoran.
            Namun telfon terakhir yang aku angkat agak janggal dan berbeda dengan yang lainnya. Telfon itu kuangkat pada malam selasa sehabis shalat Isya.
            “Hallo”.
            “Halo. Selamat malam!”, jawabnya.
            “Malam. Dengan siapa ya?”, tanyaku.
            “A..aku Citra”, jawabnya agak gugup.
            “Citra? Citra yang mana ya? Saya tidak mempunyai kenalan bernama Cita”, Tanya ku lagi.
            “Eu..euu..aku temannya Linda”, jawabnya.
            “Linda? Siapa pula itu?”, aku malah balik bertanya.
            “Linda anaknya Tuan Broto”.
            Baru aku ingat ketika mendengar kata Tuan Broto itu. Bagaimana pun dia adalah salah satu penunjang kesuksesan restoranku.
            “Oooh…maaf saya tidak tahu tadi. Oh iya, ada yang bisa saya bantu untuk anda Citra?”.
            “Emm…formal amat. Jangan bilang Anda dong Mas. Bilang Citra aja ya!”, pintanya.
            “Em..ok. maaf! Jadi ada perlu apa Citra? Apakah kamu juga mau pesan tempat untuk ulang tahunmu di restoran saya?” jiwa pengusaha ku mulai merayap.
            “Ti..tidak!”.
            “Lalu?”
            “Aku hanya ingin kenalan saja. Tidak boleh ya? Ya sudah, tidak apa-apa. Maaf aku sudah mengganggu Mas Dani”, godanya.
            “Eh…jangan bilang begitu. Siapa bilang nggak boleh. Boleh-boleh saja kok”, jawabku. Entah mengapa, aku merasa mulai jumawa, merasa punya fans.
            “Bener nih?”
            “Ya!”, jawabku singkat.
Lalu perkenalan kami berlanjut. Namanya Citra Utami Puteri. Ternyata rumahnya tak jauh dari restoranku, sekitar 500 meter saja. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara, berarti dia anak bungsu.
            Dia juga pernah mengatakan bahwa ayahnya telah meningal. Dengan tidak sengaja kuketahui itu ketika aku menanyakan bagaimana kabar ayah dan ibunya. Ibunya seorang ibu rumah tangga sedangkan ayahnya seorang tentara yang gugur di Timtim dalam opereasi Seroja silam. Mereka tidak mendapatkan kembali suami dan ayah mereka, walaupun hanya jasadnya. Ia terkubur di bumi penuh huru-hara itu. Tanah Leste yang sekarang menjadi negeri orang. Terlebih sang ayah gugur sebelum bisa melihat dan menggendong bayi Citra yang masih dalam kandungan sang ibu.
            Keprihatinannya itu membuatku tak kuasa menolak untuk menjadi tempat curhatnya baik lewat telfon ataupun SMS. Dalam hatiku terrenyuh ikut merasakan kesedihan ditinggal ayah yang belum sempat dikenali. Bagaimana jika aku adalah dia dan dia adalah aku. Maka aku ladeni saja curhatnya itu walau di tengah kesibukannku.
            Lama kelamaan curhatnya mulai menyentuh hal-hal yang lebih pribadi. Dia mengatakan bahwa ia dijodohkan dengan anak seorang Jenderal atasan ayahnya dahulu. Ia tidak menyanggupinya karena ia merasa masih ingin kuliah. Begitulah menurut pengakuannya.
            “Lalu rencanamu apa?’, tanyaku pada suatu saat.
            Ia hanya terdiam tak bicara apapun
            “Citra??”.
            “Aku tidak tahu Mas”.
            “Lho kok begitu? Apa kau tidak mencintainya sehingga kau tidak mau menerima lamarannya?”, selidikku.
            “Bukan. Aku rasa aku masih kecil, belum siap”.
            “Begitukah? Bukannya kau sudah semester enam sekarang ini?”.
            “Iya memang kenapa?”.
            “Artinya kau sudah cukup dewasa untuk menikah untuk ukuran wanita. Sekarang ini bayak cewek yang baru lulus SMA langsung menikah”.
            “Tapi aku aku bukan mereka kan? Aku ingin menyelesaikan dulu S1 ku”.
            “Bagus juga kalau kau maunya begitu”.
            “Dan…”
            “Apa?”
            “Eeuu…”
            “Citra…?? Dan apa??”
            “Aku juga sebetulnya sudah mempunyai pilihanku sendiri”.
            “Oh begitu. Baguslah kalau begitu. Teruslah perjuangkan cinta kalian. Kalau boleh tahu, siapakah dia? Apakah mungkin aku mengenalnya?”.
            “Tidak, belum saatnya Mas tahu tentang hal itu. Tapi aku yakin Mas pasti tahu sekali orang itu”.
            Namun ada keganjilan setelah itu. Aku merasa mulai ada hal-hal yang aneh dengannya, dengan perilakunya. Ia mulai sering menelfonku tak tahu waktu. Pagi, siang, sore, malam, dini hari, ia tak henti menelfon, mengirimi aku pesan singkat. Sampai aku tak bisa membaca semua pesan singkatnya. Aku bahkan tak mengerti mengapa dia menjadi seperti itu. Padahal isi pesan yang dikirimkannya bukanla hal-hal yang penting. ‘Mas, udah pulang belum?’, ‘Mas,sholat belum’, ‘Met siang, Mas. Ganggu gak?’, ‘kok gak bls, ngambek ya?’, dan sebagainya.
            Yang lebih membuatku aneh lagi dia selalu marah-marah ketika SMS-nya tidak dibalas. Dan dia akan mengirimi aku pesan :
            “Ya sudah kalau Mas gak mau lagi SMS-an sama aku, aku gak akan SMS Mas lagi. Bete!”
            Satu dua kali aku balas lagi walaupun hatiku mulai jengkel bahkan muak. Aku mulai berfikit “perempuan ini dikasih hati malah minta jantung”. Apalagi pekerjaanku mulai banyak yang terbengkalai karenanya. Aku tambah jengkel saja. Namun karena rasa kassihanku pada keadaan keluarganya, aku tetap bertahan. Tak mungkin kubuat lebih sedih lagi, gadis ABG polos yang kurang perhatian dan perlindungan orang tuanya, khususnya ayahnya itu.
            Ulahnya itu semakin menjadi. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya lagi. Telfonnya tidak aku angkat sama sekali. Pesan-pesan singkat yang ia kirim pun tak pernah aku balas lagi satu pun. Aku benar-benar kewalahan menghadapinya. Ia terlalu mengjengkelkan, memuakkan…
            Namun, aku luluh lagi. Kali ini dua buah SMS terakhir yang emmbuatku menjadi luluh kembali. Pesan yang diterima sekitar jam satu siang namun baru kubaca selepas magrib.
            Isi SMS yang pertama : “Mas, aku tunggu kau di Mall Aryasuna jam 3 ya. Mas datang ataupun tidak, aku tetap akan menunggu”.
            Isi SMS yang kedua : “Mas tega. Aku datang dan menunggu Mas tepat jam 3 sore tadi di Aryasuna. Aku menunggu sampai jam 5. Ya sudah moga Mas bahagia udah giniin aku. Mas tega!!!”
            Apa maksudnya, ungkapku dalam hati. Aku tak ada hubungan khusus dengannya. Lalu mengapa dia berkata macam begitu. Hanya karena aku sering menjadi teman curhatnya dan aku merasa kasihan dengan keadaannya lantas ia berfikir macam-macam. Aku hanya berfikir bahwa ia pasti tertekan sekali dengan keadaan yang menghimpitnya itu. Ia hidup tanpa pernah mengenal wajah seorang ayah. Ia memang lahir sesaat setelah ayahnya dikabarkan gugur di medan tempur, daerah operasi militer di Timtim beberapa tahun silam. Begitu yang aku tahu yang memang menurut ceritanya pula.
            Selepas Isya kubaringkan tubuh di atas sofa. Di tangan kananku remote TV siap diberi perintah. Mataku terfokus pada acara TV favoritku, berita ekonomi dan bisnis. Sedangkan tangan kiriku masih memegang hand phone. HP itu berdering lagi. SMS.
           
            “Assalamualaikum. Nak Dani, ini ibunya Citra. Maafkan jika ada kesalahan Citra ya. Dia sekarang terbaring di RS, belum juga siuman”.

            Kutanggapi biasa saja, layaknya hal yang penting dan lewat begitu saja. Tanpa sadar aku telah menyepelekan hidup mati seseorang. Bahkan aku tak peduli sama sekali dengan nyawa seorang yang kukenal itu. Lalu aku berucap :
            “Citra…Citra…keterlaluan sekali kau berulah, bercanda tiada batas. Basi sekali teknik seperti ini kau pakai. Sudah kampungan”, gerutuku sambil membetulkan posisi bantal di kepalaku.
            Lalu aku tertidur pulas.
            Besok paginya aku masih belum memutuskan apakah aku percaya atau tidak. Aku hendak percaya namun hati kecilku berkata tidak. Dia tetap mengatakan bahwa ini hanya akal-akalan si Citra itu untuk menarik perhatianku lagi. Dan aku sudah tidak mau lagi berhubungan banyak dengan dia. Orang yang sangat menyedihkan tetapi menjengkelkan sekali.
            Namun, bagaimana pula kalau hal itu benar? Apakah pantas aku hanya membiarkan dia terbaring lemah di Rumah Sakit? Apakah aku bisa dikatakan orang baik, saat teman sendiri terbaring sakit dan aku tak peduli sedikit pun? Ah…bagaimanakah ini. Apa yang musti aku lakukan.

***
            Sudah beberapa minggu Citra tidak menghubungi aku lagi. Mungkin dia kapok. Atau mungkin dia sudah menyadari kesalahannya. Semoga Tuhan mengampuni segala kesalahannya, kataku dalam hati kecil.
            Selain itu memang aku disibukkan dengan order yang semakin hari semakin banyak. Semakin hari pelanggan yang dating semakin banyak.
            Tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya, masuk ke restoranku dengan terburu-buru. Ia membawa kabar duka.

            “Mas. Maafkan aku telah melibatkan Mas dalam urusan pribadiku. Mas juga pernah berkata kita tidak aka ada apa-apa. Ya memang begitu. Walaupun sebetulnya harus Mas ketahui, aku tidak hanya menganggap Mas sebagai seorang teman curhat atau seorang kakak saja. Aku ingin lebih dari itu. Namun aku sadar, waktuku tak akan lama lagi. Mas, periharalah pesanku yang terakhir ini. Kadang wanita tidak bisa jujur padamu atas perasaannya”

Itulah pesan terahir yang ia tulis dalam selembar kertas. Aku membacanya di samping jasadnya yang sudah terbungkus kain putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar