Tinjauan Umum
Berbicara
masalah pendidikan dalam konteks kebijakan tidak akan terlepas dari kebijakan
dasar yang mengaturnya. Alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945 salah salah
satu klausanya mengatakan bahwa tujuan Nasional Indonesia adalah “…mencerdaskan kehidupan bangsa…” Hal
inipun dijabarkan dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 yakni pasal 31
ayat 1 sampai dengan ayat 5 yang berbicara mengenai arah kebijakan umum
pendidikan nasional kita (ayat 1), kewajiban setiap warga Negara untuk
mengikuti pendidikan (ayat 2), hak warga Negara atas pendidikan (ayat 3),
termasuk arahan umum regulasi anggaran baik itu anggaran pusat (APBN) maupun
anggaran daerah (APBD) yang pro terhadap bidang pendidikan dengan munculnya
angka 20% (ayat 5). Tak lupa pula pasal ini ditutup dengan harapan bangsa kita
akan peran dari pendidikan ini terhadap peningkatan peradaban dan kesejahteraan
umat.
Kebijakan
dasar (ground policy) ini tidak bisa
dikatakan tanpa ruh. Arah tujuan bangsa Indonesia itu mendapat dukungan penuh
dari seluruh bangsa Indonesia yang sepakat bahwa pendidikan nasional baik
secara kuantitas maupun kualitas harus ditingkatkan. Oleh karenanya, kebutuhan
akan tenaga pendidik (guru) yang notabene adalah salah satu unsur yang sangat
penting bagi pendidikan adalah sesuatu yang tak dapat dielakkan. Namun
demikian, hal penting yang harus dicatat pula bahwa semua guru di Indonesia,
dimanapun ia berada, ia sangat pantas mendapatkan perlakuan yang pantas dan
layak sebagai seorang pejuang yang mencerdaskan kehidupan bangsa terlepas dia
adalah guru yang sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil ataupun masih non Pegawai
Negeri Sipil.
Di
satu sisi, agenda reformasi birokrasi yang telah bergulir sejak agenda besar
reformasi 1998 terjadi, menggelinding semakin besar bak bola salju. Bola ini
akan semakin besar dan semakin cepat bergulir seiring dengan agenda percepatan
pelaksanaan good governance yang
mendesak. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2015, Permen PAN & RB Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map
Reformasi Birkrasi dan berbagai aturan serta kebijakan lainnya menandakan
keseriusan bangsa kita akan agenda Reformasi Birokrasi yang tengah diusungnya.
Bagaimana
tidak, reformasi birokrasi yang dipandang sebagai perubahan besar dalam
paradigma dan tata kelola pemerintahan di Indonesia ini dipandang sebagai
pertaruhan besar bangsa Indonesia di abad 21. Hal ini menyentuh pula reformasi
birokrasi di bidang pendidikan. Akan dibawa kemanakah arah pendidikan kita oleh
para stakeholders birokrasi pendidikan kita khususnya dalam kaitannya dengan
regulasi mengenai tenaga pendidik?
Jawabannya
tentu tidak akan mudah karena beberapa alasan, antara lain:
- Reformasi birokrasi adalah sebuah agenda perubahan besar dan pertaruhan besar bangsa ini;
- Reformasi birokrasi berkaitan dengan ribuan proses fungsi-fungsi pemerintahan yang overloaded dan terkadang saling tumpang tindih, melibatkan jutaan pegawai, dan memerlukan anggaran yang sangat besar;
- Reformasi birokrasi menuntut adanya penataan ulang proses birokrasi dari tingkatan paling tinggi sampai tingkatan paling rendah dengan berbagai terobosan yang realistis, konkret, bertahap, sungguh-sungguh, thinking outside the box, perubahan paradigma dan upaya yang luar biasa;
- Revisi dan konstruksi berbagai macam regulasi, modernisasi berbagai policy pusat maupun daerah serta penyesuaian fungsi pemerintahan dengan paradigma dan peran barunya.
Jika
melihat alasan-alasan itu, maka nyatalah bahwa itu merupakan makna reformasi
birokrasi. Pertanyaannya apakah agenda itu mungkin untuk diterapkan di bidang
pendidikan dengan kondisi yang begitu adanya; anggaran yang besar, jumlah
stakeholder pendidikan dan tenaga pendidikan yang banyak, dan berbagai komponen
lain di dalamnya. Jika diinventarisasi, maka area perubahan yang menjadi area
reformasi birokrasi pendidikan salah satunya adalah sumber daya aparatur dalam
hal ini yang paling penting adalah tenaga pendidik, selain pula harus
diperhatikan unsur organisasi, tatalaksana, peraturan perundang-undangan,
pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan mind set serta culture set
yang kesemuaannya itu adalah suatu sistem yang tak dapat dipisah-pisahkan.
Fakta
Kenyataan yang terjadi
saat ini adalah kesenjangan perhatian pemerintah kepada guru Pegawai Negeri
Sipil (guru PNS) dengan guru Non PNS. Kesenjangan ini sangat nampak dalam
beberapa hal, di antaranya:
- Kesejahteraan: penghasilan guru PNS bisa sepuluh kali lipat guru non PNS. Bayangkan, penghasilan guru PNS setelah gaji dan tunjangan sertifikasi bisa menjadi Rp 5 juta sedangkan gaji guru honorer (non PNS) hanya pada angka Rp 500 ribu. Kalupun ada tambahan penghasilan untuk sebagian guru honorer, itu lebih merupakan penghasilan insidental dalam bentuk tunjangan yang masih pula ada potongan di sana-sini;
- Berbagai macam pelatihan yang menunjang karir dan kualitas seorang guru lebih banyak diarahkan kepada guru PNS tanpa diimbangi hal serupa untuk guru non PNS;
- Tugas dan tanggung jawab guru PNS dan guru honorer di sekolah adalah sama. Bahkan guru PNS dengan segenap insentif keuangan (tunjangan diluar gaji) yang didapatkannya tidak mengiringinya dengan kualitas yang jauh lebih tinggi dari guru honorer. Semisal, rasionalnya jika guru PNS mempunyai penghasilan 10 kali lipat dari guru honorer, maka mungkinkah kinerjanya pun 10 kali lipat dari guru honorer? Fakta yang terjadi adalah sebaliknya;
Tak
jarang timbul sebuah pertanyaan, apakah keberadaan guru honorer dipungkiri atau
tidak diinginkan oleh pemerintah? Jika demikian, seharusnya pemerintah
memperhatikan fakta berikut ini:
- Guru PNS yang sudah ada tidak cukup banyak untuk mengisi seluruh kebutuhan guru di sekolah-sekolah yang ada di seluruh wilayah NKRI;
- Pemerintah secara umum seolah menelan ludah sendiri jika keadaan ini dikaitkan dengan Upah Minimum Regional (UMR) yang ditekankan kepada pihak swasta. Sementara gaji guru honorer yang ada di lingkungan lembaga pemerintah mempunyai gaji jauh di bawah UMR.
- Pemerintah belum bisa mengangkat guru PNS sebanyak mungkin dikarenakan kemampuan anggaran yang minim mengingat jabatan PNS menuntut kenaikan gaji berkala, kenaikan pangkat, tunjang-tunjangan dan sebagainya. Tetapi faktannya guru honorer banyak menuntut untuk menjadi PNS karena sudah tidak kuat lagi dengan keadaan yang mencekik leher mereka sementara mereka merasa mempunyai hak yang sama atas kewajiban-kewajiban yang sama yang mereka tunaikan seperti layaknya guru PNS.
Opini
Guru
adalah suatu pekerjaaan yang sangat mulia maka sangat layak untuk dihargai
sesuai dengan kemuliaannya dan ilmunya. Maka dari itu, sangat tidak pantas jika
guru dengan keilmuan yang dimilikinya dihargai dengan penghasilan jauh di bawah
UMR. Ini sangat tidak rasional dan logis menurut pemikiran akal sehat dan moral
sekalipun. Guru honorer dengan kebanyakan adalah lulusan sarjana (S1) yang jika
dia diangkat PNS maka akan masuk golongan III/a sangat pantas dan layak untuk
mendapatkan hak yang sama dengan guru lainnya yang sudah PNS sesuai dengan
tingkat keilmuannya.
Asumsi
penulis, guru walaupun dengan status honorer tetapi dengan penghasilan yang
mencukupi keluarganya maka ia tidak akan terlalu banyak menuntut untuk menjadi
PNS karena keadaan demikian saja sudah bisa membuat kehidupan mereka cukup
layak. Ini dapat dibuktikan di sekolah sekolah swasta yang menjamin kehidupan
yang layak bagi guru-gurunya, mereka tidak banyak menuntut untuk PNS karena
bagi mereka menjadi PNS itu adalah perantara saja, yang menjadi harapan
sebenarnya adalah penghasilan yang mencukupi.
Arahkan
pelatihan-pelatihan kepada guru honorer, berilah kesempatan bagi mereka untuk
meningkatkan kualitasnya sesuai dengan tingkat kelayakan menjadi seorang
pendidik sebagaimana guru PNS. Ini akan berefek baik manakala seorang guru
honorer itu pada suatu saat diangkat menjadi PNS dengan sistem seleksi yang
ketat, maka kualitasnya akan sudah menjadi sangat terjamin.
Karenanya
penulis mengusung sebuah konsep reformasi birokrasi di bidang ini dengan
mengusung sebuah konsep sederhana: mungkinkah gaji guru honorer Rp 2 juta?
Mekanisme
pelaksanaan
Mustahil
sebuah konsep dapat menjadi kenyataan tanpa mekanisme pelaksanaan yang jelas
dan dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karenanya, penulis mencoba menjawab
pertanyaan how untuk menutup tulisan
ini. Mekanisme yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Inventarisasi seluruh kebutuhan guru di seluruh wilayah di Indonesia.
- Inventarisasi jumlah formasi guru yang sudah dipenuhi guru PNS sehingga dapat diketahui jumlah formasi guru yang masih kosong dan akan dipenuhi oleh guru honorer.
- Lakukan inventarisasi dan kelayakan guru honorer yang sudah ada di sekolah-sekolah (sudah melaksanakan pengabdian) minimal dari segi pendidikannya sehinga didapatkan suatu matriks data guru honorer yang sudah melaksanakan proses pengabdian.
- Jika ternyata didapatkan masih ada formasi yang kosong atas formasi lowongan guru honorer tersebut, maka pemerintah dapat melaksanakan seleksi untuk mengisi lowongan guru honorer tersebut sampai memenuhi jumlah formasi tetapi dengan seleksi berbasis kualitas dan latar belakang pendidikannya yang sesuai.
- Setelah seluruh formasi guru dipenuhi oleh guru PNS dan non PNS, maka yang harus diutamakan adalah peningkatan guru non PNS semisal melalui training kilat di sekolah-sekolah masing masing yang dilakukan oleh guru-guru PNS yang telah ada di sekolah tersebut dengan pangkat minimal dalah guru Pembina IV/a dengan supervisi dari Dinas Pendidikan setempat melalui pengawas-pengawas pendidikannya.
- Guru honorer diberikan gaji seuai dengan haknya yakni untuk sarjana (S1) setara dengan gaji pokok golongan III/a dengan perjanjian/ketentuan sebagai berikut:
- Tidak menuntut menjaid PNS;
- Segala bentuk tunjangan disama ratakan sehingga gaji pokok ditambah tunjangan dikalkulasikan menjadi Rp 2 juta (dengan perhitungan kelayakan hidup dan disesuaikan dengan penghasilan setara golongan III/a);
- Melaksanakan pengabdian dengan indikator kewajiban yang sama dengan PNS.
- Sementara sistem kepangkatan pada guru yang sudah PNS dilakukan sebagaimana telah berlangsung namun dengan kriteria kenaikan pangkat yang lebih ketat berbasis kinerja bukan spoil system.
- Guru honorer dengan gaji yang demikian dapat mengikuti seleksi menjadi guru PNS setelah masa kerjanya memenuhi jangka waktu 10 tahun, sehingga anggaran pemerintah untuk gaji guru dalam 10 tahun akan flat. Seleksi ini dilakukan oleh pemerintah setahun sekali.
- Seleksi yang dilakukan dengan ketat dan berbasis kemampuan keuangan pemerintah, sehingga walaupun seorang guru honorer ia telah mengabdi lebih dari 10 tahun tetapi ia belum lulus seleksi menjadi PNS maka ia tetap akan menjadi guru honorer seperti sebelumnya. Hanya saja untuk guru honorer yang telah melakukan pengabdian selama lebih dari 10 tahun sedangkan ia belum menjadi PNS maka ia diberikan insentif/ganti rugi sebesar 5% dari gaji pokok Rp 2 juta dan akan meningkat sebesar 1% di tahun-tahun berikutnya (6%, 7%, 8% dst).
- Semua guru honorer tidak diberikan kesempatan untuk sertifikasi guru.
- Guru honorer yang telah lulus seleksi maka ia akan menjadi PNS golongan III/a dengan masa kerjanya dan dilengkapi hak dan kewajiban sebagai PNS golongan III/a dengan jenjang karir sebagaimana PNS.
- Jika terjadi lowongan formasi seiring dengan bertambahnya jumlah sekolah maka sistem seleksi honorer juga dilaksanakan sebagaimana sebelumnya. Pengumumunan lowongan diumumkan di media masa lokal maupun nasional selama 7 hari berturut-turut (sesuai standar) atau dengan pertimbangan tertentu sehingga menjamin adanya keterbukaan informasi publik. Training/pelatihan guru honorer dilakukan oleh guru Pembina/pengawas sekolah induk terdekat (lebih dulu berdiri).
- SK semua guru honorer diberikan oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota dengan sistem pengawasan yang ketat (tidak ada KKN).
- Dengan adanya system yang dmikian diharapkan terjadinya suatu peningkatan pendidikan dari segi guru/pendidik: tidak disepelekannya guru honorer, berkualitasnya kinerja guru honorer, kebutuhan pendidikan yang sesuai kualifikasi yang diinginkan pemerintah, tidak terlalu terbentangnya kesenjangan kesejahteraan guru PNS dengan guru honorer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar