Oleh : Rai Yuk
Bus yang aku tumpangi mulai melaju
perlahan-lahan. Semakin lama lajunya semakin kencang. Aku mulai melihat
rumah-rumah di pinggir jalan ikut berlari berlawanan arah dengan bus ini.
Itulah barangkali yang disebut gerakan semu seperti yang diajarkan oleh guru
fisika ketika SMA dulu. Gerak semu sebagaimana pula yang disangkutpautkan
dengan rumus E = m.c2 yang dikatakan Einstein.
Perjalanan Sukabumi-Sumedang akan
sangat melelahkan. Waktu yang dibutuhkan sekitar 5-6 jam. Berarti kalau aku
berangkat sehabis magrib begini, maka setidaknya akan sampai di Sumedang sekitar
jam dua belas malam. Sengaja aku mengambil perjalanan malam karena selain Sabtu
siang aku masih harus masuk kantor aku juga lebih senang mengambil perjalanan
malam. Enak, sejuk, tidak panas seperti perjalanan siang. Kendati malam ini pun
aku naik bus AC.
Bus ini berangkat dengan lima
orang penumpang saja termasuk aku. Aku naik di halte pertama dari arah
terminal. Jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari terminal. Namun orang
kadang lebih banyak menunggu di sana. Oleh karenanya kadang halte itu disebut
“halte harapan” oleh para supir dan kondektur. Artinya, mereka selalu berharap
penumpang yang akan naik dari halte itu akan banyak kendati mereka membawa
penumpang sedikit sekali dari terminal.
Orang memang lebih suka menunggu
di halte itu. Katanya menunggu di terminal kadang lebih ribet, mesti beli
karcis lah, banyak calo lah, dan berbagai alasan lain yang memberi pembenaran
untuk lebih nyaman menunggu di halte saja. Dan begitu pula yang ada dalam
pikiranku. Buktinya aku menunggu di halte itu. Namun, sayang seribu sayang,
nasib baik belum berfihak kepada sopir dan kondektur bus itu. Ketika bus itu tiba
di halte hanya mendapati seorang penumpang saja di halte “harapan” itu, aku.
***
Setengah perjalanan. Sukabumi
sudah terlewati, begitu pula Cianjur sudah terlampaui. Bus telah sampai di
batas kota Bandung, masuk di Padalarang. Pedagang asongan berbagai jenis
penganan dan minuman-minuman energi serta air mineral mulai merangsek masuk
melalui dua pintu bus itu. Mereka tidak peduli harus berjejalan baik dengan
sesama pedagang asongan maupun dengan penumpang yang tidak mendapat kursi alias
berdiri.
Aku menatap tajam-tajam pada
mereka yang berteriak-teriak menawarkan dagangan mereka itu. Ada yang
menggunakan bahasa Sunda, ada pula yang berbahasa Indonesia. Namun tidak
sedikit yang menggunakan bahasa gado-gado, Sunda bercampur Indonesia, lengkap
dengan logat khas mereka, khas pedagang asongan yang sedah menawarkan barang
dagangannya.
Aku masih menatap tajam mereka
yang berbaju dekil dan berwajah kelelahan. Memang selalu kubayangkan setiap aku
bertemu mereka betapa kelelahan menyerang mereka setiap waktu. Pekerjaan
sebagai pedagang asongan dengan turun naik kendaraan umum tanpa ada jaminan
apakah akan ada yang membeli ataukan tidak. Namun tekad mereka baja. Tak
perduli akan ada yang membeli ataukan tidak toh setiap hari jualan mereka
habis. Tak peduli apakah penganan pagi dijual malam hari, tak peduli pula jika
sampai membuat sakit si pembeli.
Ya, kalau sudah menyangkut
kebutuhan hidup, orang memang akan dan berani berbuat apa saja. Bekerja,
sendiri ataupun dengan orang lain. Berdagang, sendiri ataupun dengan orang lain,
jujur ataupun dusta. Meminta, secara memelas, memaksa, ataupun mengancam.
Mencuri, dengan kekerasan ataupun sembunyi-sembunyi. Menjadi apa pun dilakukan,
pejabat, penjahat, pedagang, pengemis, dan sebagainya.
Aku juga suka berfikir, lebih
mulia mana pedagang dibandingan pejabat. Pejabat itu lebih sering dicap penjahat
karena katanya suka makan uang rakyat. Tapi apakah semua pejabat seperti itu?
Pedagang kecil sering dibela-bela bahkan olehku dan teman-teman sewaktu aku
mahasiswa karena dianggap selalu terhina. Mereka selalu jujur dalam bekerja dan
menerima penghasilan apa adanya. Tapi apakah begitu semuanya?
Setidaknya profesi sebagai
pedagang asongan adalah pekerjaan yang mulia. Nabi Muhammad juga pedagang.
Namun, apakah mereka sama dengan Nabi Muhammad? Apakah karena profesinya sama
lantas derajat kemuliaannya sama di mata Allah? Wallahu ‘alam, semua tergantung
cara mereka berdagang. Jika kebaikan dan kejujuran yang dikedepankan,
sebagaimana Rasulullah berdagang, insya Allah barokah. Jika keuntungan semata
yang dikejar, ………
Aku menyudahi lamunanku. Seorang
pedagang jeruk menyentuh tanganku dengan kantung plastik berisi penuh jeruk dan
meletakannya di pangkuanku. Ia masih muda, umur tiga puluhan kukira. Ia
tersenyum, seraya berbisik “kanggo ayi
mah, lima belas ribu saja dua puluh biji ya, bade?”
Aku masih belum sadar bahwa ia
sedang menawarkan jualannya padaku. Aku masih tertegun memandang matanya. Lalu
mulai tersadar, dan memberi sedikit senyuman, merendahkan kepala, dan
mengangkat tangan dengan telapak tangan dibuka dan dihadapkan ke muka. Ia
mengerti bahwa aku menolak dengan halus. Dia pun berlalu, menawarkan
dagangannya ke barisan depan.
Rupanya kantung berisi jeruk itu
adalah kantung terakhir dari produk yang dijualnya itu. Ia berkata “Terakhir, terakhir, lima belas rebu dua
puluh biji. Jerukna amis, mangga
diraosan heula. Bu Haji bade?” Namun tetap saja sampai ia kembali ke
barisan tempatku duduk, kantung jeruk itu masih ada di genggaman tangannya.
Aku mulai kasihan. Dalam hatiku
aku mulai mencari-cari alasan untuk mendorongku agar tidak merasa rugi membeli
jeruk itu kalaupun nanti aku akan membelinya. Hingga akhirnya aku teringat buah
tangan yang sangat disukai adikku adalah jeruk. Aku masih ingat saat ayah
pulang dari Jakarta dulu, adikku menghabiskan jeruk-jeruk buah tangan ayah
kendati tidak cukup manis, asam.
Ia kembali. Dengan memasang wajah
memelas ia menaruh lagi kantung itu di pangkuan tanganku. “A, mangga lima belas rebu….”, katanya pelan. Aku hanya tersenyum
geli, dia memerlakukanku bak seorang raja. Dan rayuannya berhasil, aku tergoda.
“Sabaraha biji ieu teh Kang?”, aku mulai
tertarik untuk berbasa-basi. “Dua puluh
lima biji a, pinuh sakeresek, mangga
geura cobian heula”, dia berusaha meyakinkan. Aku tertegun.
“Udah
lah a, ke si aa mah sepuluh ribu saja”, ia menohokku dengan penawaran rendah
ketika bus yang tadi berhenti di halte sebelum tol Padalarang itu mulai
bergerak. Aku yang masih belum sadar benar dengan kualitas jeruk itu tanpa
sadar betul segera merogoh saku celana mengambil selembar uang sepuluh ribuan.
Dia berlalu setengah berlari menuju pintu keluar setelah mengambil uang itu.
Aku tak curiga karena aku tahu dia tidak ingin terbawa mobil itu terlalu jauh
dari tempat ia mangkal berdagang.
***
Malam makin larut. Laju mobil makin
kencang berlari mendekati tanah kelahiran sekencang detak jantungku yang ada
dalam kekesalan dan penyesalan. Kantung
keresek merah yang tadi ada di pangkuanku telah bepindah tempat menjadi di
bawah sepatu kananku yang mulai bekerja menginjak-injaknya dengan geram.
Jeruk-jeruk yang ada di dalamnya mulai mengeluarkan air dan membawa bau busuk.
Ternyata jeruk yang kubeli tadi tak ada yang bagus, semuanya busuk saat aku
berniat mencoba salah satunya beberapa menit yang lalu.
Padalarang, 29 Mei 2010.
1.
“kanggo
ayi mah, lima belas ribu saja dua puluh biji ya, bade?” = buat
adik, lima belas ribu saja dua puluh biji ya, mau?
2.
“Terakhir,
terakhir, lima belas rebu dua puluh biji. Jerukna amis, mangga diraosan heula. Bu Haji bade?” = teraakhir,
terakhir, lima belas ribu untuk 20 biji. Jeruknya manis, silakan dicoba dulu.
Bu Haji mau?
3.
“A,
mangga lima belas rebu….” = Silakan bang, lima belas ribu
4.
“Sabaraha
biji ieu teh Kang?” = Ini berapa biji sih Bang?
5.
“Dua
puluh lima biji a, pinuh sakeresek,
mangga geura cobian heula” = dua puluh biji Bang, sekantung
penuh, silakan dicoba dulu saja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar