Rabu, 13 Februari 2013

BUAH TANGAN



Oleh : Rai Yuk

Bus yang aku tumpangi mulai melaju perlahan-lahan. Semakin lama lajunya semakin kencang. Aku mulai melihat rumah-rumah di pinggir jalan ikut berlari berlawanan arah dengan bus ini. Itulah barangkali yang disebut gerakan semu seperti yang diajarkan oleh guru fisika ketika SMA dulu. Gerak semu sebagaimana pula yang disangkutpautkan dengan rumus E = m.c2 yang dikatakan Einstein.
Perjalanan Sukabumi-Sumedang akan sangat melelahkan. Waktu yang dibutuhkan sekitar 5-6 jam. Berarti kalau aku berangkat sehabis magrib begini, maka setidaknya akan sampai di Sumedang sekitar jam dua belas malam. Sengaja aku mengambil perjalanan malam karena selain Sabtu siang aku masih harus masuk kantor aku juga lebih senang mengambil perjalanan malam. Enak, sejuk, tidak panas seperti perjalanan siang. Kendati malam ini pun aku naik bus AC.
Bus ini berangkat dengan lima orang penumpang saja termasuk aku. Aku naik di halte pertama dari arah terminal. Jaraknya hanya beberapa ratus meter saja dari terminal. Namun orang kadang lebih banyak menunggu di sana. Oleh karenanya kadang halte itu disebut “halte harapan” oleh para supir dan kondektur. Artinya, mereka selalu berharap penumpang yang akan naik dari halte itu akan banyak kendati mereka membawa penumpang sedikit sekali dari terminal.
Orang memang lebih suka menunggu di halte itu. Katanya menunggu di terminal kadang lebih ribet, mesti beli karcis lah, banyak calo lah, dan berbagai alasan lain yang memberi pembenaran untuk lebih nyaman menunggu di halte saja. Dan begitu pula yang ada dalam pikiranku. Buktinya aku menunggu di halte itu. Namun, sayang seribu sayang, nasib baik belum berfihak kepada sopir dan kondektur bus itu. Ketika bus itu tiba di halte hanya mendapati seorang penumpang saja di halte “harapan” itu, aku.
***
Setengah perjalanan. Sukabumi sudah terlewati, begitu pula Cianjur sudah terlampaui. Bus telah sampai di batas kota Bandung, masuk di Padalarang. Pedagang asongan berbagai jenis penganan dan minuman-minuman energi serta air mineral mulai merangsek masuk melalui dua pintu bus itu. Mereka tidak peduli harus berjejalan baik dengan sesama pedagang asongan maupun dengan penumpang yang tidak mendapat kursi alias berdiri.
Aku menatap tajam-tajam pada mereka yang berteriak-teriak menawarkan dagangan mereka itu. Ada yang menggunakan bahasa Sunda, ada pula yang berbahasa Indonesia. Namun tidak sedikit yang menggunakan bahasa gado-gado, Sunda bercampur Indonesia, lengkap dengan logat khas mereka, khas pedagang asongan yang sedah menawarkan barang dagangannya.
Aku masih menatap tajam mereka yang berbaju dekil dan berwajah kelelahan. Memang selalu kubayangkan setiap aku bertemu mereka betapa kelelahan menyerang mereka setiap waktu. Pekerjaan sebagai pedagang asongan dengan turun naik kendaraan umum tanpa ada jaminan apakah akan ada yang membeli ataukan tidak. Namun tekad mereka baja. Tak perduli akan ada yang membeli ataukan tidak toh setiap hari jualan mereka habis. Tak peduli apakah penganan pagi dijual malam hari, tak peduli pula jika sampai membuat sakit si pembeli.
Ya, kalau sudah menyangkut kebutuhan hidup, orang memang akan dan berani berbuat apa saja. Bekerja, sendiri ataupun dengan orang lain. Berdagang, sendiri ataupun dengan orang lain, jujur ataupun dusta. Meminta, secara memelas, memaksa, ataupun mengancam. Mencuri, dengan kekerasan ataupun sembunyi-sembunyi. Menjadi apa pun dilakukan, pejabat, penjahat, pedagang, pengemis, dan sebagainya.
Aku juga suka berfikir, lebih mulia mana pedagang dibandingan pejabat. Pejabat itu lebih sering dicap penjahat karena katanya suka makan uang rakyat. Tapi apakah semua pejabat seperti itu? Pedagang kecil sering dibela-bela bahkan olehku dan teman-teman sewaktu aku mahasiswa karena dianggap selalu terhina. Mereka selalu jujur dalam bekerja dan menerima penghasilan apa adanya. Tapi apakah begitu semuanya?
Setidaknya profesi sebagai pedagang asongan adalah pekerjaan yang mulia. Nabi Muhammad juga pedagang. Namun, apakah mereka sama dengan Nabi Muhammad? Apakah karena profesinya sama lantas derajat kemuliaannya sama di mata Allah? Wallahu ‘alam, semua tergantung cara mereka berdagang. Jika kebaikan dan kejujuran yang dikedepankan, sebagaimana Rasulullah berdagang, insya Allah barokah. Jika keuntungan semata yang dikejar, ………
Aku menyudahi lamunanku. Seorang pedagang jeruk menyentuh tanganku dengan kantung plastik berisi penuh jeruk dan meletakannya di pangkuanku. Ia masih muda, umur tiga puluhan kukira. Ia tersenyum, seraya berbisik “kanggo ayi mah, lima belas ribu saja dua puluh biji ya, bade?”
Aku masih belum sadar bahwa ia sedang menawarkan jualannya padaku. Aku masih tertegun memandang matanya. Lalu mulai tersadar, dan memberi sedikit senyuman, merendahkan kepala, dan mengangkat tangan dengan telapak tangan dibuka dan dihadapkan ke muka. Ia mengerti bahwa aku menolak dengan halus. Dia pun berlalu, menawarkan dagangannya ke barisan depan.
Rupanya kantung berisi jeruk itu adalah kantung terakhir dari produk yang dijualnya itu. Ia berkata “Terakhir, terakhir, lima belas rebu dua puluh biji. Jerukna amis, mangga  diraosan heula. Bu Haji bade?” Namun tetap saja sampai ia kembali ke barisan tempatku duduk, kantung jeruk itu masih ada di genggaman tangannya.
Aku mulai kasihan. Dalam hatiku aku mulai mencari-cari alasan untuk mendorongku agar tidak merasa rugi membeli jeruk itu kalaupun nanti aku akan membelinya. Hingga akhirnya aku teringat buah tangan yang sangat disukai adikku adalah jeruk. Aku masih ingat saat ayah pulang dari Jakarta dulu, adikku menghabiskan jeruk-jeruk buah tangan ayah kendati tidak cukup manis, asam.
Ia kembali. Dengan memasang wajah memelas ia menaruh lagi kantung itu di pangkuan tanganku. “A, mangga lima belas rebu….”, katanya pelan. Aku hanya tersenyum geli, dia memerlakukanku bak seorang raja. Dan rayuannya berhasil, aku tergoda. “Sabaraha biji ieu teh Kang?”, aku mulai tertarik untuk berbasa-basi. “Dua puluh lima biji a, pinuh sakeresek,  mangga geura cobian heula”, dia berusaha meyakinkan. Aku tertegun.
“Udah lah a, ke si aa mah sepuluh ribu saja”, ia menohokku dengan penawaran rendah ketika bus yang tadi berhenti di halte sebelum tol Padalarang itu mulai bergerak. Aku yang masih belum sadar benar dengan kualitas jeruk itu tanpa sadar betul segera merogoh saku celana mengambil selembar uang sepuluh ribuan. Dia berlalu setengah berlari menuju pintu keluar setelah mengambil uang itu. Aku tak curiga karena aku tahu dia tidak ingin terbawa mobil itu terlalu jauh dari tempat ia mangkal berdagang.
***
Malam makin larut. Laju mobil makin kencang berlari mendekati tanah kelahiran sekencang detak jantungku yang ada dalam kekesalan dan penyesalan.  Kantung keresek merah yang tadi ada di pangkuanku telah bepindah tempat menjadi di bawah sepatu kananku yang mulai bekerja menginjak-injaknya dengan geram. Jeruk-jeruk yang ada di dalamnya mulai mengeluarkan air dan membawa bau busuk. Ternyata jeruk yang kubeli tadi tak ada yang bagus, semuanya busuk saat aku berniat mencoba salah satunya beberapa menit yang lalu.
Padalarang, 29 Mei 2010.

1.     “kanggo ayi mah, lima belas ribu saja dua puluh biji ya, bade?” = buat adik, lima belas ribu saja dua puluh biji ya, mau?
2.     “Terakhir, terakhir, lima belas rebu dua puluh biji. Jerukna amis, mangga  diraosan heula. Bu Haji bade?” = teraakhir, terakhir, lima belas ribu untuk 20 biji. Jeruknya manis, silakan dicoba dulu. Bu Haji mau?
3.     “A, mangga lima belas rebu….” = Silakan bang, lima belas ribu
4.     “Sabaraha biji ieu teh Kang?” = Ini berapa biji sih Bang?
5.     “Dua puluh lima biji a, pinuh sakeresek,  mangga geura cobian heula” = dua puluh biji Bang, sekantung penuh, silakan dicoba dulu saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar