Rai
Yuk
Kau sudah kembali ke
kehidupanmu yang dulu. Kini apalah
artinya aku di matamu. Apakah kau ingat saat kau merengek agar aku membantumu
dahulu, ketika kau dipaksa kawin oleh orangtuamu karena aku tak kunjung jua
melamarmu? Karena satu alasan yang aku katakan. Ya, hanya beberapa kata, “Aku
masih ingin mengejar pendidikanku”.
Sebenarnya apa yang aku
dapat dengan pendidikanku ini? Gelar S1 dan S2 yang telah terpampang di
belakang nama ini tak jua membuat diriku melimpah harta. Sangat berbeda dengan
dirimu yang hanya lulusan diploma dengan karir yang menanjak dengan cepat. Ya,
kau bekerja di perusahaan swasta milik asing yang menghargai kualitas dan skill
seseorang, bukan kedekatan apalagi sogokan. Berbeda dengan aku, pemeran utama
lainnya dalam kisah kita ini. Aku, walaupun ijazahku setumpuk, bahkan untuk
memberanikan melamarmu dan mengambil resiko pernikahan pun aku belum berani.
Ah, apakah aku salah mengambil pilihan hidup dengan memutuskan untuk bekerja di
lembaga pemerintah?
Dahulu adalah dahulu. Orang
sangat hormat ketika seorang abtenaar1
datang. Seorang menak, seorang priyayi, yang nyatanya adalah pegawai pemerintah
(Belanda) sangat dihormati rakyatnya. Selain itu mereka mempunyai jaminan
ekonomi yang lebih dibandingkan dengan rakyat sekitarnya. Sebabnya kurang lebih
ada dua. Pertama, karena dia mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk memeras
rakyatnya sehingga melimpah harta benda hasil rampasan. Ini adalah tindakan
biadab. Yang kedua, karena rakyatnya memang lebih sengsara daripada dia. Jadi,
seorang abtenaar yang jujur
sebenarnya adalah orang yang paling terhormat diantara yang sengsara. Ya, sebenarnya
dia juga termasuk yang sengsara.
Bagaimana kini? Pegawai
pemerintah yang masih menganggap dirinya priyayi masih sangat banyak sehingga
penyalahgunaan wewenang terjadi dimana-mana. Sayangnya masyarakat, rakyat sudah
lebih pintar dan mengerti apa yang terjadi. Selain itu masyarakat sudah lebih
kaya daripada mereka. Lalu apa yang terjadi dengan sang priyayi ketika moral
mereka tak punya, harta pun tiada? Apa yang menjadi alasan untuk mereka
dihormati lagi? Mereka berdalih bahwa gaji yang kecil menyebabkan dorongan
untuk korupsi lebih besar. Tetapi itu tidak selalu benar, semisal ketika kita
mencermati tingkah laku si Gayus Tambunan yang melakukan korupsi sementara
penghasilannya sangat cukup untuk kehidupannya.
Ah nampaknya memang kita
salah bertemu dan aku dan kamu, salah memilih jalan. Hanya sayangnya kenapa
kita harus dipertemukan dan kenapa aku harus menyanggupi permintaamu di tengah
kesakitanmu itu. Nampaknya inilah episode yang harus kita jalani.
Aku masih ingat ketika ibuku
berkata dalam keangkuhannya sebagai orang miskin yang punya anak berpendidikan
tinggi. Beliau mengatakan kepadaku dengan lembut namun menohok bahwa aku telah
salah membuat keputusan dan terlalu terburu-buru ketika aku mengatakan bahwa
aku siap menikahimu. Lalu kujawab bahwa waktu itu semua sedang dalam keadaan
yang serta mendesak. Kau didesak kawin oleh ibumu, sementara kau tidak mau.
Akulah pelarianmu bukan? Aku dipaksa, atau lebih pantas diminta, atau lebih
pantas lagi dimohon untuk mengakui pada ibumu bahwa kita mempunyai hubungan
kasih. Dengan pengakuan itu ibumu sangat senang bukan? Ya, mungkin orang tuamu
sama dengan orangtuaku dalam memandang status seseorang, pendidikan! Makanya,
walaupun orangtuamu tahu bahwa aku belum punya pekerjaan yang mantap,
penghasilan yang masih pas-pasan, tapi mereka percaya seorang berpendidikan,
calon priyayi seperti aku akan bisa membahagiakanmu, seorang wanita karier yang
penghasilannya jauh berlipat di atasku.
Sayangnya kau sedang
tergolek lemas waktu itu. Ya, mungkin kau kuat dalam persaingan di perusahaanmu
itu. Tapi kau tetap seorang manusia yang bisa sakit. Hmm, aku pun baru tahu
waktu itu bahwa kau mengidap kanker. Dan rasa kasihan itu yang membawaku
mengakui pada ibumu bahwa kita menjalin kasih. Aku kasihan, hanya kasihan
kepadamu. Aku berharap dengan pengakuan itu, bebanmu akan menjadi ringan. Tapi,
itu tak dimengerti oleh ibuku. Dan, memang aku menjadi terbelenggu dalam
persoalan asmara yang sebenarnya tak ada ini.
Waktu itu kau berani memohon
kepadaku untuk menjadi suamimu karena kau tengah tergolek lemah tak berdaya.
Dan begitu pula aku berani mengakui kita menjalin kasih yang berarti aku
mengikatkan diri sebagai kekasihmu karena aku tahu bahwa kau bukanlah lagi
manajer perusahaan dengan gaji berpuluh lipat gajiku. Waktu itu kau hanyalah
orang yang terkulai lemas dan bukan siapa-siapa. Dan itulah dasar keberanianku
yang rapuh.
Kini, semua berubah kembali
setelah kau kembali ke kursimu di lantai 27 gedung pencakar langit ibu kota.
Kau, dengan karier semulamu yang menjulang tinggi di angkasa sulit untuk aku
gapai. Kendati kau tetap merendahkan hatimu dan bersedia menerimaku apa adanya
bahkan selalu menjunjung nama dan masa depanku serta merendahkan dirimu di
telapak kakiku. Namun, aku selalu merasa bahwa aku tak ada apa-apanya di
hadapanmu. Aku priyayi yang tak berarti ketika harus bertemu dengan mu.
Sementara cintamu masih
membara, aku terkulai lemas dalam putus asa tanpa alasan yang jelas. Tidak! Sebenarnya
aku punya alasan. Pertama, ibuku dengan idealismenya bahwa aku tak boleh
beristrikan orang yang sakit parah, apalagi dengan penyakitnya beresiko tak
dapat memberi keturunan apalagi berumur pendek. Masuk akal memang karena ia
menyayangiku dan mengharapkan sekali suatu saat mendapat cucu dariku. Kedua,
tak ada jaminan bagiku untuk bisa membahagiakanmu. Hari ini pun kau sudah duduk
di lantai 27 gedung menjulang sementara aku masih berkutat dengan buku-buku
lusuh, teori-teori umum, yang belum tentu teraplikasikan. Aku jauh tertinggal
oleh langkahmu.
Sayang, kita telah memilih
jalan berbeda. Kini aku semakin tak percaya akan keberanianku sendiri. Kalaulah
aku dan kau masih membuka mata esok hari maka kuharap kita akan bertemu pada
jalan yang sama atau mengambil jalan berbeda dan tak akan pernah berjumpa lagi.
Sukabumi, 12 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar