Rabu, 13 Februari 2013

Salah Memilih Jalan



Rai Yuk

Kau sudah kembali ke kehidupanmu yang dulu. Kini  apalah artinya aku di matamu. Apakah kau ingat saat kau merengek agar aku membantumu dahulu, ketika kau dipaksa kawin oleh orangtuamu karena aku tak kunjung jua melamarmu? Karena satu alasan yang aku katakan. Ya, hanya beberapa kata, “Aku masih ingin mengejar pendidikanku”.
Sebenarnya apa yang aku dapat dengan pendidikanku ini? Gelar S1 dan S2 yang telah terpampang di belakang nama ini tak jua membuat diriku melimpah harta. Sangat berbeda dengan dirimu yang hanya lulusan diploma dengan karir yang menanjak dengan cepat. Ya, kau bekerja di perusahaan swasta milik asing yang menghargai kualitas dan skill seseorang, bukan kedekatan apalagi sogokan. Berbeda dengan aku, pemeran utama lainnya dalam kisah kita ini. Aku, walaupun ijazahku setumpuk, bahkan untuk memberanikan melamarmu dan mengambil resiko pernikahan pun aku belum berani. Ah, apakah aku salah mengambil pilihan hidup dengan memutuskan untuk bekerja di lembaga pemerintah?
Dahulu adalah dahulu. Orang sangat hormat ketika seorang abtenaar1 datang. Seorang menak, seorang priyayi, yang nyatanya adalah pegawai pemerintah (Belanda) sangat dihormati rakyatnya. Selain itu mereka mempunyai jaminan ekonomi yang lebih dibandingkan dengan rakyat sekitarnya. Sebabnya kurang lebih ada dua. Pertama, karena dia mempunyai kewenangan dan kekuasaan untuk memeras rakyatnya sehingga melimpah harta benda hasil rampasan. Ini adalah tindakan biadab. Yang kedua, karena rakyatnya memang lebih sengsara daripada dia. Jadi, seorang abtenaar yang jujur sebenarnya adalah orang yang paling terhormat diantara yang sengsara. Ya, sebenarnya dia juga termasuk yang sengsara.
Bagaimana kini? Pegawai pemerintah yang masih menganggap dirinya priyayi masih sangat banyak sehingga penyalahgunaan wewenang terjadi dimana-mana. Sayangnya masyarakat, rakyat sudah lebih pintar dan mengerti apa yang terjadi. Selain itu masyarakat sudah lebih kaya daripada mereka. Lalu apa yang terjadi dengan sang priyayi ketika moral mereka tak punya, harta pun tiada? Apa yang menjadi alasan untuk mereka dihormati lagi? Mereka berdalih bahwa gaji yang kecil menyebabkan dorongan untuk korupsi lebih besar. Tetapi itu tidak selalu benar, semisal ketika kita mencermati tingkah laku si Gayus Tambunan yang melakukan korupsi sementara penghasilannya sangat cukup untuk kehidupannya.
Ah nampaknya memang kita salah bertemu dan aku dan kamu, salah memilih jalan. Hanya sayangnya kenapa kita harus dipertemukan dan kenapa aku harus menyanggupi permintaamu di tengah kesakitanmu itu. Nampaknya inilah episode yang harus kita jalani.
Aku masih ingat ketika ibuku berkata dalam keangkuhannya sebagai orang miskin yang punya anak berpendidikan tinggi. Beliau mengatakan kepadaku dengan lembut namun menohok bahwa aku telah salah membuat keputusan dan terlalu terburu-buru ketika aku mengatakan bahwa aku siap menikahimu. Lalu kujawab bahwa waktu itu semua sedang dalam keadaan yang serta mendesak. Kau didesak kawin oleh ibumu, sementara kau tidak mau. Akulah pelarianmu bukan? Aku dipaksa, atau lebih pantas diminta, atau lebih pantas lagi dimohon untuk mengakui pada ibumu bahwa kita mempunyai hubungan kasih. Dengan pengakuan itu ibumu sangat senang bukan? Ya, mungkin orang tuamu sama dengan orangtuaku dalam memandang status seseorang, pendidikan! Makanya, walaupun orangtuamu tahu bahwa aku belum punya pekerjaan yang mantap, penghasilan yang masih pas-pasan, tapi mereka percaya seorang berpendidikan, calon priyayi seperti aku akan bisa membahagiakanmu, seorang wanita karier yang penghasilannya jauh berlipat di atasku.
Sayangnya kau sedang tergolek lemas waktu itu. Ya, mungkin kau kuat dalam persaingan di perusahaanmu itu. Tapi kau tetap seorang manusia yang bisa sakit. Hmm, aku pun baru tahu waktu itu bahwa kau mengidap kanker. Dan rasa kasihan itu yang membawaku mengakui pada ibumu bahwa kita menjalin kasih. Aku kasihan, hanya kasihan kepadamu. Aku berharap dengan pengakuan itu, bebanmu akan menjadi ringan. Tapi, itu tak dimengerti oleh ibuku. Dan, memang aku menjadi terbelenggu dalam persoalan asmara yang sebenarnya tak ada ini.
Waktu itu kau berani memohon kepadaku untuk menjadi suamimu karena kau tengah tergolek lemah tak berdaya. Dan begitu pula aku berani mengakui kita menjalin kasih yang berarti aku mengikatkan diri sebagai kekasihmu karena aku tahu bahwa kau bukanlah lagi manajer perusahaan dengan gaji berpuluh lipat gajiku. Waktu itu kau hanyalah orang yang terkulai lemas dan bukan siapa-siapa. Dan itulah dasar keberanianku yang rapuh.
Kini, semua berubah kembali setelah kau kembali ke kursimu di lantai 27 gedung pencakar langit ibu kota. Kau, dengan karier semulamu yang menjulang tinggi di angkasa sulit untuk aku gapai. Kendati kau tetap merendahkan hatimu dan bersedia menerimaku apa adanya bahkan selalu menjunjung nama dan masa depanku serta merendahkan dirimu di telapak kakiku. Namun, aku selalu merasa bahwa aku tak ada apa-apanya di hadapanmu. Aku priyayi yang tak berarti ketika harus bertemu dengan mu.
Sementara cintamu masih membara, aku terkulai lemas dalam putus asa tanpa alasan yang jelas. Tidak! Sebenarnya aku punya alasan. Pertama, ibuku dengan idealismenya bahwa aku tak boleh beristrikan orang yang sakit parah, apalagi dengan penyakitnya beresiko tak dapat memberi keturunan apalagi berumur pendek. Masuk akal memang karena ia menyayangiku dan mengharapkan sekali suatu saat mendapat cucu dariku. Kedua, tak ada jaminan bagiku untuk bisa membahagiakanmu. Hari ini pun kau sudah duduk di lantai 27 gedung menjulang sementara aku masih berkutat dengan buku-buku lusuh, teori-teori umum, yang belum tentu teraplikasikan. Aku jauh tertinggal oleh langkahmu.
Sayang, kita telah memilih jalan berbeda. Kini aku semakin tak percaya akan keberanianku sendiri. Kalaulah aku dan kau masih membuka mata esok hari maka kuharap kita akan bertemu pada jalan yang sama atau mengambil jalan berbeda dan tak akan pernah berjumpa lagi.

Sukabumi, 12 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar