Rabu, 17 Maret 2010

Satu Pesan Dari Citra Oleh : Asep Cahyana

Entah mengapa ada suatu keengganan yang merayap dalam dada untuk membaca pesan singkat itu. Telepon genggam itu masih berdering. Belum juga kupijit satu tombolnya pun. Aku hanya dapat membaca dari layarnya “satu pesan dari citra”.
Kumasukan kembali alat komunikasi itu ke dalam saku celanaku. Kulanjutkan perjalanan pulangku dari kantor itu. Memang berbahaya menyetir sambil memainkan hand phone. Bahkan hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran lalu lintas. Bisa membahayakan diri sendiri juga orang lain.
Namun sebetulnya bukan itu saja yang menjadi alasan yang membuat aku tidak membuka pesan singkat itu. Ada hal lain yang membuatku enggan membukanya. Ya, beberapa waktu belakangan ini aku enggan menerima telfon juga membuka pesan dari wanita bernama Citra itu.
Ya Citra, namanya memang cantik, secantik paras wanita berdarah Sunda itu. Entah mengapa aku mengenalnya. Apakah karena kebetulan saja ataukah Tuhan memang punya rencana. Atau Dia salah skenario hidupku ini?? Ah tak mungkin Dia salah.
Aku hanyalah seorang pedagang. Tepatnya aku membuka usahaku sendiri. Sejak dua tahun lalu, aku bersama Iwan kawanku membuka sebuah restoran di kawasan Buah Batu. Cukup ramai memang. Itu berkat kerja keras dan pembagian tugas yang kami lakukan.
Iwan bertugas dalam hal teknis dan cita rasa produk kami, termasuk pelayanan. Tak heran, ia adalah lulusan sebuah akademi pariwisata jurusan perhotelan. Ia lulus setahun yang lalu.
Sedangkan aku sendiri bertugas dalam hal pemasaran, termasuk administrasi dan menajerial. Memang, beberapa bulan sebelum Iwan lulus, aku lebih dahulu menyandang gelar Sarjana Ekonomi dari sebuah universitas negeri ternama di Bandung.
Duet maut kami ternyata berbuah hasil yang lumayan. Restoran milik berdua itu kami beri nama “WAROENG DJAWA”. Nama itu kami ambil dari singkatan nama kami, aku Dani Jakaria” dan temanku “Iwan Ardiana”.
Beberapa bulan setelah pembukaan restoran itu, kami mendapat sebuah pesanan. Order yang dimaksudkan adalah untuk sebuah acara pesta ulang tahun. Yang berulang tahun adalah seorang gadis tajir putri seorang juragan tekstil Indonesia, Tuan Broto Sutedjo. Lumayan, dengan telah mulai dikenalnya restoran kami oleh kalangan atas seperti itu, makin terbuka kesempatan bagi warung makan kami itu untuk dikenal oleh kalangan atas.
Entah apa dan bagaimana awalnya, tiba-tiba aku mengenal seorang gadis dari pesta tersebut. walaupun aku tidak ikut dalam pesta itu sebagai undangan namun sebagai pemilik restoran, aku dan Iwan mendapat kehormatan untuk berbincang dengan orang tua si gadis yang berulang tahun, Tuan Broto berserta Nyonya Broto.
Selain Cuma ngobrol ngalor ngidul, Tuan Broto juga meminta beberapa buah kartu namaku. Dan dengan senang hati, ia membagikannya kepada tamu-tamu yang hadir di pestanya itu, terutama kepada rekanan bisnisnya. Dia mengatakan puas sekali dengan pelayanan kami, dan mengatakannya pula pada konco-konco bisnisnya yang ada di sana. Baik nian konglomerat ini berniat mempromosikan restoran kami yang belum cukup dikenal ini. Kami bersyukur.
Ternyata resep Tuan Broto itu bekerja dan manjur pula. Sejak saat itu ada puluhan terfon masuk ke handphone ku untuk memesan tempat, baik untuk acara pesta, meeting, atau sekedar acara keluarga yang kecil dan tidak memerlukan seluruh sudut ruang restoran.
Namun telfon terakhir yang aku angkat agak janggal dan berbeda dengan yang lainnya. Telfon itu kuangkat pada malam selasa sehabis shalat Isya.
“Hallo”.
“Halo. Selamat malam!”, jawabnya.
“Malam. Dengan siapa ya?”, tanyaku.
“A..aku Citra”, jawabnya agak gugup.
“Citra? Citra yang mana ya? Saya tidak mempunyai kenalan bernama Cita”, Tanya ku lagi.
“Eu..euu..aku temannya Linda”, jawabnya.
“Linda? Siapa pula itu?”, aku malah balik bertanya.
“Linda anaknya Tuan Broto”.
Baru aku ingat ketika mendengar kata Tuan Broto itu. Bagaimana pun dia adalah salah satu penunjang kesuksesan restoranku.
“Oooh…maaf saya tidak tahu tadi. Oh iya, ada yang bisa saya bantu untuk anda Citra?”.
“Emm…formal amat. Jangan bilang Anda dong Mas. Bilang Citra aja ya!”, pintanya.
“Em..ok. maaf! Jadi ada perlu apa Citra? Apakah kamu juga mau pesan tempat untuk ulang tahunmu di restoran saya?” jiwa pengusaha ku mulai merayap.
“Ti..tidak!”.
“Lalu?”
“Aku hanya ingin kenalan saja. Tidak boleh ya? Ya sudah, tidak apa-apa. Maaf aku sudah mengganggu Mas Dani”, godanya.
“Eh…jangan bilang begitu. Siapa bilang nggak boleh. Boleh-boleh saja kok”, jawabku. Entah mengapa, aku merasa mulai jumawa, meras punya fans.
“Bener nih?”
“Ya!”, jawabku singkat.
Lalu perkenalan kami berlanjut. Namanya Citra Utami Puteri. Ternyata rumahnya tak jauh dari restoranku, sekitar 500 meter saja. Dia anak ketiga dari tiga bersaudara, berarti dia anak bungsu.
Dia juga pernah mengatakan bahwa ayahnya telah meningal. Dengan tidak sengaja kuketahui itu ketika aku menanyakan bagaimana kabar ayah dan ibunya. Ibunya seorang ibu rumah tangga sedangkan ayahnya seorang tentara yang gugur di Timtim dalam opereasi Seroja silam. Mereka tidak mendapatkan kembali suami dan ayah mereka, walaupun hanya jasadnya. Ia terkubur di bumi penuh huru-hara itu. Tanah Leste yang sekarang menjadi negeri orang. Terlebih sang ayah gugur sebelum bisa melihat dan menggendong bayi Citra yang masih dalam kandungan sang ibu.
Keprihatinannya itu membuatku tak kuasa menolak untuk menjadi tempat curhatnya baik lewat telfon ataupun SMS. Dalam hatiku terrenyuh ikut merasakan kesedihan ditinggal ayah yang belum sempat dikenali. Bagaimana jika aku adalah dia dan dia adalah aku. Maka aku ladeni saja curhatnya itu walau di tengah kesibukannku.
Lama kelamaan curhatnya mulai menyentuh hal-hal yang lebih pribadi. Dia mentakan bahwa ia dijodohkan dengan anak seorang Jenderal atasan ayahnya dahulu. Ia tidak menyanggupinya karena ia merasa masih ingin kuliah. Begitulah menurut pengakuannya.
“Lalu rencanamu apa?’, tanyaku pada suatu saat.
Ia hanya terdiam tak bicara apapun
“Citra??”.
“Aku tidak tahu Mas”.
“Lho kok begitu? Apa kau tidak mencintainya sehingga kau tidak mau menerima lamarannya?”, selidikku.
“Bukan. Aku rasa aku masih kecil, belum siap”.
“Begitukah? Bukannya kau sudah semester enam sekarang ini?”.
“Iya memang kenapa?”.
“Artinya kau sudah cukup dewasa untuk menikah untuk ukuran wanita. Sekarang ini bayak cewek yang baru lulus SMA langsung menikah”.
“Tapi aku aku bukan mereka kan? Aku ingin menyelesaikan dulu S1 ku”.
“Bagus juga kalau kau maunya begitu”.
“Dan…”
“Apa?”
“Eeuu…”
“Citra…?? Dan apa??”
“Aku juga sebetulnya sudah mempunyai pilihanku sendiri”.
“Oh begitu. Baguslah kalau begitu. Teruslah perjuangkan cinta kalian. Kalau boleh tahu, siapakah dia? Apakah mungkin aku mengenalnya?”.
“Tidak, belum saatnya Mas tahu tentang hal itu. Tapi aku yakin Mas pasti tahu sekali orang itu”.
Namun ada keganjilan setelah itu. Aku merasa mulai ada hal-hal yang aneh dengannya, dengan perilakunya. Ia mulai sering menelfomku tak tahu waktu. Pagi, siang, sore, malam, dini hari, ia tak henti menelfon, mengirimi aku pesan singkat. Sampai aku tak bisa membaca semua pesan singkatnya. Aku bahkan tak mengerti mengapa dia menjadi seperti itu. Padahal isi pesan yang dikirimkannya bukanla hal-hal yang penting. ‘Mas, udah pulang belum?’, ‘Mas,sholat belum’, ‘Met siang, Mas. Ganggu gak?’, ‘kok gak bls, ngambek ya?’, dan sebagainya.
Yang lebih membuatku aneh lagi dia selalu marah-marah ketika SMS-nya tidak dibalas. Dan dia akan mengirimi aku pesan :
“Ya sudah kalau Mas gak mau lagi SMS-an sama aku, aku gak akan SMS Mas lagi. Bete!”
Satu dua kali aku balas lagi walaupun hatiku mulai jengkel bahkan muak. Aku mulai berfikit “perempuan ini dikasih hati malah minta jantung”. Apalagi pekerjaanku mulai banyak yang terbengkalai karenanya. Aku tambah jengkel saja. Namun karena rasa kassihanku pada keadaan keluarganya, aku tetap bertahan. Tak mungkin kubuat lebih sedih lagi, gadis ABG polos yang kurang perhatian dan perlindungan orang tuanya, khususnya ayahnya itu.
Ulahnya itu semakin menjadi. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk tidak mempedulikannya lagi. Telfonnya tidak aku angkat sama sekali. Pesan-pesan singkat yang ia kirim pun tak pernah aku balas lagi satu pun. Aku benar-benar kewalahan menghadapinya. Ia terlalu mengjengkelkan, memuakkan…
Namun, aku luluh lagi. Kali ini dua buah SMS terakhir yang emmbuatku menjadi luluh kembali. Pesan yang diterima sekitar jam satu siang namun baru kubaca selepas magrib.
Isi SMS yang pertama : “Mas, aku tunggu kau di Mall Aryasuna jam 3 ya. Mas datang ataupun tidak, aku tetap akan menunggu”.
Isi SMS yang kedua : “Mas tega. Aku dating dan menunggu Mas tepat jam 3 sore tadi di Aryasuna. Aku menunggu sampai jam 5. Ya sudah moga Mas bahagia udah giniin aku. Mas tega!!!”
Apa maksudnya, ungkapku dalam hati. Aku tak ada hubungan khusus dengannya. Lalu mengapa dia berkata macam begitu. Hanya karena aku sering menjadi teman curhatnya dan aku merasa kasihan dengan keadaannya lantas ia berfikir macam-macam. Aku hanya berfikir bahwa ia pasti tertekan sekali dengan keadaan yang menghimpitnya itu. Ia hidup tanpa pernah mengenal wajah seorang ayah. Ia memang lahir sesaat setelah ayahnya dikabarkan gugur di medan tempur, daerah operasi militer di Timtim beberapa tahun silam. Begitu yang aku tahu yang memang menurut ceritanya pula.
Selepas Isya kubaringkan tubuh di atas sofa. Di tangan kananku remote TV siap diberi perintah. Mataku terfokus pada acara TV favoritku, berita ekonomi dan bisnis. Sedangkan tangan kiriku masih memegang hand phone. HP itu berdering lagi. SMS.

“Assalamualaikum. Nak Dani, ini ibunya Citra. Maafkan jika ada kesalahan Citra ya. Dia sekarang terbaring di RS, belum juga siuman”.

Kutanggapi biasa saja, layaknya hal yang penting dan lewat begitu saja. Tanpa sadar aku telah menyepelekan hidup mati seseorang. Bahkan aku tak peduli sama sekali dengan nyawa seorang yang kukenal itu. Lalu aku berucap :
“Citra…Citra…keterlaluan sekali kau berulah, bercanda tiada batas. Basi sekali teknik seperti ini kau pakai. Sudah kampungan”, gerutuku sambil membetulkan posisi bantal di kepalaku.
Lalu aku tertidur pulas.
Besok paginya aku masih belum memutuskan apakah aku percaya atau tidak. Aku hendak percaya namun hati kecilku berkaata tidak. Dia tetap mengatakan bahwa ini hanya akal-akalan si Citra itu untuk menarik perhatianku lagi. Dan aku sudah tidak mau lagi berhubungan banyak dengan dia. Orang yang sangat menyedihkan tetapi menjengkelkan sekali.
Namun, bagaimana pula kalau hal itu benar? Apakah pantas aku hanya membiarkan dia terbaring lemah di Rumah Sakit? Apakah aku bisa dikatakan orang baik, saat teman sendiri terbaring sakit dan aku tak peduli sedikit pun? Ah…bagaimanakah ini. Apa yang musti aku lakukan.

***
Sudah beberapa minggu Citra tidak menghubungi aku lagi. Mungkin dia kapok. Atau mungkin dia sudah menyadari kesalahannya. Semoga Tuhan mengampuni segala kesalahannya, kataku dalah hati kecil.
Selain itu memang aku disibukkan dengan order yang semakin hari semakin banyak. Semakin hari pelanggan yang dating semakin banyak.
Tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya, masuk ke restoranku dengan terburu-buru. Ia membawa kabar duka.

“Mas. Maafkan aku telah melibatkan Mas dalam urusan pribadiku. Mas juga pernah berkata kita tidak aka ada apa-apa. Ya memang begitu. Walaupun sebetulnya harus Mas ketahui, aku tidak hanya menganggap Mas sebagai seorang teman curhat atau seorang kakak saja. Aku ingin lebih dari itu. Namun aku sadar, waktuku tak akan lama lagi. Mas, periharalah pesanku yang terakhir ini. Kadang wanita tidak bisa jujur padamu atas perasaannya”

Itulah pesan terahir yang ia tulis dalam selembar kertas. Aku membacanya di samping jasadnya yang sudah terbungkus kain putih.

JUJUR ITU BOHONG Karya : Asep Cahyana

Jujur itu kebohongan
Karena jujur telah tiada lagi
Telah mati ditelan bumi
Jujur itu adalah paksaan
Karena manusia telah hilang budaya
Maka jujur didapat dengan rekayasa
Jujur itu hina
Karena orang jujur kini kalah, dan hampir selalu
Kalah oleh kemurkaan
Kalah oleh ketidakadilan
Kalah oleh rasa takut
Kalah oleh kehormatan, harta-jabatan
Maka ia akan hina jika berkata yang sebenarnya
Jujur itu bohong
Jujur itu terpaksa
Jujur itu hina
Jujur itu….sengsara!!!

DUIT BEUNANG KURUPSI

‘Moal kahakan ku tujuh turunan
Harta aing meunang usaha
Lain meunang menta-menta
Lain meunang ngajual warisan
Tapi meunang usaha….usaha!!!!’

Kitu babasaanana
Hiji jalma urut pajabat
Jalma nu tadina menak
Manusa nu ngarasa boga
Sagala asa nu manehna

Eta jalma urut pajabat
Nangtang majar harta nu anjeunna
Majar meunang usaha
Hulu dina suku
Suku dina hulu

Bohong!!!
Inyana boga duit beunang maling
Duit benang kurupsi
Boga harta beunang ngagasab
Duit jalma leutik
Harta nagara nu saenyana harta rakyat

Memang meureun henteu sadar
Eta banda hak na rahayat
Asa anu boga sorangan
Dicokot teu era-era
Henteu menta, teu ngumaha
Da puguh ngarasa menak
Teu euih daek ngumaha

Ayeuna karasa
Majar harta nu manehna, mana?!
Majar moal seep tujuh turunan, beak!!!
Saprak manehna katohyan
Nyokotan duit nagara
Ngarampok harta rahayat
Karasa ku manehna
Kamar beusi dua ka tilu
Ranjang karatan
Kasur tumbilaan
……………….

BALUENG Karya : Asep Cahyana

Duh..diri nu dibalung ku kabingung
Awak anu ditimpah ku kasusah
Rumasa diri teh hina
Loba lamokot ku dosa
Loba ngohongan batur
Nyarita teu bari jujur
Antukna teu nyaho syukur
Malah mandar jadi kufur
Gusti
Mana hina ieu hamba
Mana teuing awak ragrag kana dosa
Hina dina
Poe ngan dieusian ku dusta
Caang ngan dibaur ku sompral
Duh Gusti..tuduhkeun
Rusiah hirup bagjaning awak
Sangkan jujur henteu ngarumpak
Gusti…pangnyingkahkeun ieu balueng

AKI

Ari umur tunggang gunung
Ari raga rosa geus ruksak
Tapi sumanget jiwa sinatria
Leber keneh minuhan dada
Ngagugudag ngebebela

Ari umur geus cueut ka hareup
Ari badan geus anggang ti buta tulang
Malah mandar meh ragrag kana liang
Meh diurug ku taneuh beureum
Rek diarak ku kulawarga, balarea
Tumpak kandaraan nu supirna opat jalma
Pasaran tea pingaraneunana

Najan raga kapayahan
Jiwa meh kapaehan
Rasa meh kapiuhan
Tapi tekad dina jero dada
Jiwa joang minuhan ati sanubari
Hayang keneh aub ngarojong ngabela bangsa
Aya keneh malah leber
Masing nyampak malah kabina-bina

Aki, baju sapari anu geus geus belel kapanasan
Kopeah koneng anuh meh ipis kaibunan
Tapi lain eta cirina

Sumanget anjeun minuhan jagat
Jasa anjeun ieu nagara
Kesang anjeun nu mawa bagja
Getih anjeun bibit walagri

Harta raga nu jadi ganti
Jiwa nyawa dipake tandonna
Hiji bukti asih ka nagri
Bumela ka bangsa nagara

Aki, baju satria nu meh saumur jeung jaman
Tekad anjeun heug tepakeun
Sumanget anjeun heug wariskeun
Seneu teuneung heug sundutkeun
Perjoangan anjeun heug turunkeun
Ka pamuda jaman ayeuna
Ka pamudi wanci kiwari

Nuhun Aki
Nagri sugri
Nagara merdika
Sok sanajan tacan walatra
Sumawona kana raharja
Eta tugas kuring sabalad-balad
Nyukcruk perjoangan aki
Ngeuyeuk dayeuh ngolah nagara
Dina cara anu geus beda

Tapi kuring janji aki
Bumela ka lemah cai
Siga anjeun
Teu miharep jasa imbalan
Atawa sagala rupa
Estu ning ikhlas
Ngabakti ka Ibu Pertiwi