Rabu, 13 Februari 2013

Sebuah Kisah Yang Hina, Yang Istimewa


Oleh: Rai Yuk
 
H
ari ini adalah tanggal ketiga di bulan ini. Hari ini matahari bersinar indah sekali seindah hatiku yang sedang merona karena bahagia. Kebahagiaan ini baru aku rasakan saat ini. Tentu saja aku amat bahagia. Siapa yang tak pernah bahagia setelah mendapatkan gaji pertamanya? Siapa pun akan merasakan kebahagiaan itu setengah mati ketika hal itu ia alami, khususnya seperti apa yang aku alami sekarang ini.
            Setidaknya hal itulah yang sedang meraja dalam hatiku saat ini setelah kemarin kuterima gaji pertamaku. Rasanya, semalam tadi tak cukup bagiku untuk memuaskan hati dengan terus memandangi uang gajiku sebulan itu. Mungkin bagi orang lain uang sejumlah iitu tak seberapa. Tapi bagiku, itu amat berharga.
            Aku memang pekerja baru di perusahaan dimana aku bekerja kini. Baru sebulan yang lalu aku diterima kerja di sana. Bukan di bagian yang strategis pula karena aku hanya lulusan STM. Semua orang tentu tahu di bagian apakah seorang lulusan STM ditempatkan. Aku tak harus menjawabnya, yang pasti aku terpaksa menjalaninya walaupun aku kurang puas dengan pekerjaan itu. Semua orang tentu ingin yang lebih, tapi apa daya semua itu butuh waktu dan juga faktor lain, pendidikan misalnya, mungkin.
            Aku juga bukan orang yang terlahir di kota ini. Aku pendatang di sini. Aku perantau. Walau gaji yang aku terima sangatlah pas-pasan namun kupaksakan untuk bertahan sebagai perantau di negeri orang ini. Daripada tidak bekerja sama sekali dan malah menyusahkan orang tua di kampung, pikirku. Belum lagi aku harus mengontrak rumah, oh bukan! Sebetulnya bukan rumah melainkan hanya sebuah kamar kos-kosan ukuran mini, amat mini. Ukurannya tak pantas jika aku sebutkan dalam meter kali meter. Yang pasti adalah bahwa aku hanya dapat membaringkan tubuhku di sebuah kasur dekil tanpa bed cover yang terhampar di lantainya. Juga hanya dapat menyimpan sebuah lemari kayu lapuk tanpa laci yang hanya bisa menampung beberapa stel baju saja di dalamnya. Di dindingnya, dekat pintu, yang lebih pantas dikatakan jendela, tergantung sebuah cermin yang sudah mulai pudar. Cermin itu sudah tak dapat lagi memantulkan bayangan orang yang bercermin secara sempurna. Kadang aku senang juga karena wajahku yang pas-pasan ini terlihat agak mendingan padanya. Tapi kadang, rambutku yang masih kusut terlihat sudah licin sekali padanya, karena buramnya. Setelah aku sadar akan kelemahannya itu dan kena marah manajer karena rambutku masih kusut sesampainya di pabrik, aku malah sering membawa sisir rambut ke pabrik dan memeriksa lagi rambutku di toilet karyawan yang cerminnya beberapa kali lipat mengkilapnya dibanding yang ada di rumah, eh… di kontrakan maksudku. Aku menyadari, tak akan cukup hasil perasan keringatku untuk menyewa kontrakan yang lebih bagus sedikit saja. Itu adalah kontrakkan paling cocok untukku. Bukan, bukan untukku, untuk kondisi keuanganku yang sangat minim maksudku.
            Terkadang aku berfikir, mengapa Tuhan menciptakan manusia sama tapi Dia menetapkan nasib yang berbeda atas manusia? Mengapa direktur di perusahaan tempatku  bekerja mendapat gaji yang besar padahal kerjanya tak sekeras aku? Mengapa jari orang seperti direktur yang hanya menunjuk ini itu dan menandatangani ini itu jauh lebih banyak menghasilkan uang daripada jari tanganku yang sampai kasar karena mengurus mesin setiap hari? Walaupun aku tak tahu berapa gajinya apalagi sampai pernah melihat struk gajinya  tapi aku bisa memperkirakan betapa besar penghasilannya dari mobil yang dikendarainya pulang pergi kantor, dari pakaian bermerk yang dipakainya berganti-ganti setiap hari, dari handphone mentereng yang digenggamnya dan berganti tiap minggu, dan dari perutnya yang buncit karena terlalu banyak makan, mungkin. Berapa ratus kali lipat penghasilanku ya penghasilan direktur itu, suatu hari kutanya diriku dalam hatiku.
Di sela-sela pekerjaanku kadang aku selalu termenung. Lalu aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku bisa seperti direktur itu? Kadang aku pikir, ya mungkin saja. Namun lebih banyak aku berfikir, ah…tidak mungkin! Tak jarang setan dalam hati ini ikut bicara, ikut merajut fikiran yang tak berguna. Tapi, aku masih punya Tuhan. Masya Allah, tak baik aku memikirkan harta milik orang lain dan tak pantas aku iri. Apa mulianya harta dan kedudukan? Siapa yang lebih mulia, aku atau si direktur? Aku tak bisa menjawabnya waktu itu.
Hari ini aku sudah keluar dari pabrik. Aku bekerja pada shift satu hari ini jadi jam dua belas sudah keluar dan digantikan pekerja shift selanjutnya. Aku bergegas.  Belum kudengar suara adzan dzuhur jadi kufikir aku akan pergi ke suatu tempat dulu sebelum shalat. Bank swasta yang ada di perempatan jalan tujuanku. Jaraknya beberapa ratus meter saja dari pabrik.
Aku berjalan makin cepat secepat torpedo melesat. Tas hitam yang kubawa aku pegang erat sekali. Kupastikan tak ada orang yang merebutnya. Maklum, di daerah pabrik banyak sekali penjambret. Aku sangat mewaspadai hal itu. Kujaga tas itu sebaik mungkin. Ia amat berharga. Di dalamnya, sebuah amplop tergolek tak berdaya terombang-ambing oleh gerakan tubuhku yang membawanya. Di dalam amplop itu, uang gajiku yang sebulan yang kuterima kemarin belum aku ganggu gugat. Begitu juga dengan struk gajinya, masih tergeletak dekat amplop itu, di dalam tas hitam yang aku pegang itu. Mungkin memang jumlah uang itu tak seberapa, apalagi sekali lagi apabila dibandingkan gaji sang direktur. Tapi, rupanya bagiku itu amatlah berharga sehingga aku ingin mengabadikannya. Dan jalan satu-satunya adalah dengan menyimpannya di bank walaupun aku tak tahu dari mana akan aku peroleh uang buat makan dan kontrakan sebulan ke depan sampai gaji bulan keduaku aku terima. Kupikir, mungkin hal itu akan aku pikirkan kemudian.
Halaman bank sudah terlihat di kejauhan. Di halaman parkirnya, mobil mewah berbagai merk dan ukuran terlihat berkilauan catnya terkena sinar matahari dari kejauhan. Tanpa harus diberi tahu aku sudah dapat mengira-ngira bahwa harganya pasti mahal-mahal. Semakin dekat aku semakin yakin bahwa harganya tak mungkin sembarangan, tak mungkin terbeli oleh gaji seorang pekerja serabutan sepertiku ini. Jelas, orang yang punya juga tak mungkin orang sembarangan. Ah, dasar orang kaya, pikirku.
Walaupun memerhatikan keadaan demikian, tak gentar hatiku untuk menerobos masuk ke dalam bank melalui orang-orang berdasi walaupun aku hanya mengenakan baju seragam karyawan pabrik. Aku tak gentar dengan mobil mewah berjejer yang menandakan nasabah bank itu semua orang kaya. Aku berfikir, tak mungkin aku ditolak jadi nasabah hanya karena aku ini karyawan biasa. Aku yakinkan hal itu dalam hati. Namun begitu tentu sedikit saja ada perasaan minder dengan penampilan yang agak beda, maksudku lebih sederhana dan tentu jauh lebih dekil dari seluruh orang yang ada di sana.
Aku sedikit gelagapan setelah berada di dalamnya. Baru pertama kali aku masuk ke gedung bank selama hidupku. Hampir semua tulisan yang ada di dalam gedung bank itu bertuliskan bahasa Inggris. Untung saja nilai bahasa Inggrisku ketika sekolah dulu tak terlalu jelek jadi ada beberapa kata yang masih bisa aku mengerti. Aku mengambil nomor antrian costumer service di meja satpam, dekat pintu masuk. Satpam yang kumisnya tebal dan hitam itu hanya tersenyum setengah sinis menatapku. Entah itu memang sifatnya, entah karena pakaianku, ataupun itu hanya perasaanku saja. Lalu aku duduk, nomor antrianku empat puluh tiga. Tak terlalu jelek, pikirku. Hanya saja nomor yang sedang ditampilkan di layar sebuah monitor, yang menandakan nomor nasabah yang sedang dilayani baru nomor dua puluh empat. Ah, masih begitu lama, delapan belas orang lagi sebelumku harus dilayani.
Aku duduk dengan tenang. Aku sedikit menjaga wibawa walau tak mungkin seorang pun memperhatikan gerak-gerikku yang memakai baju karyawan pabrik yang kumal dan bau oli itu. Padahal dalam hatiku masih meracau kata-kata yang sulit dirangkai. Aku belum tahu pasti apa yang harus kulakukan. Apa dengan duduk adalah keputusan terbaik yang dapat menghantarkanku ke meja costumer service. Namun, aku tak berani menegur satpam berwajah sinis untuk menanyakan sesuatu  tentang hal itu.
Perasaan tidak menentu itu segera sirna karena perhatianku lebih terpaku kepada beberapa hal menarik di sana. Televisi adalah salah satunya. Ia memutarkan berbagai acara menarik. Maklum sudah sebulan sejak aku tinggal di kontrakan aku tak pernah melihat layar televisi. Dulu ketika di rumah yang di kampung ada tv walaupun tidak berwarna. Hanya tv koran, begitu ayahku memberinya istilah.
Perhatianku sebagai seorang pemuda juga terpaku pada gerak-gerik teller wanita yang parasnya cantik-cantik. Pantas saja, kupikir, orang kaya senang mampir ke bank. Ternyata karyawati bank itu cantik-cantik rupawan. Pilihanku jatuh pada seorang teller wanita paling ujung. Ia paling menarik di antara semua karyawati yang cantik itu. Ah, ia sungguh cantik, bak dewi khayangan turun dari langit. Tapi bukan hanya karena ia cantik melainkan juga karena ada kemiripan ia dengan kekasihku ketika aku di kampung. Namun aku sudah tak berhubungan lagi dengannya karena ia memilih kawin dengan anak Pak Lurah yang kaya raya. Sempat anganku melayang memikirkan hal yang agak melenceng, namun beberapa saat kemudian sudah dapat kukendalikan. Terlebih ketika kulihat teller itu bangkit dengan agak susah payah. Baru kusadari bahwa ia  tengah hamil tua. Pudar sudah kekagumanku padanya. Bahkan aku sangat malu pada diriku sendiri. Ah betapa aku tak dapat menjaga pandanganku terhadap sesuatu hal yang bukan milikku.
Kini aku harus memperhatikan hal lain pada bank itu. Kulihat ada benda bergelantungan di langit-langit. Seperti kaca lampu, namun kupikir itu bulan lampu. Ukurannya terlalu kecil untuk sebuah lampu. Lagi pula ada lampu yang jelas terpasang di bagian lain di atap itu. Dan, benda itu bergerak seperti mengawasi gerak-gerik setiap orang yang ada di ruangan itu.  Setelah kupikir agak lama, aku mengira-ngira bahwa itu kamera pengawas. Ya, aku pernah mendengar bahwa di bank atau di kantor-kantor besar selalu dipasang kamera pengawas. Ternyata, orang kaya yang ada di sini sangat takut kehilangan uangnya. Selain pengamanan polisi dan satpam yang ketat, kamera pengawas pun sangat mudah di jumpai di setiap sudut langit-langit dan tembok sebagai salah satu alat pengamanan juga. Ini tentu ditujukan untuk memantau keamanan karena bank rentan sekali akan perampokan. Harus kupikir lagi, apakah setakut itukah orang kaya yang banyak uang kehilangan uangnya? Kalau begitu mereka sama sepertiku yang tak rela kehilangan uang gajiku ini. Hal itu tak kupikirkan lebih lanjut karena kudengar panggilan nomor empat puluh satu, kupikir empat puluh tiga. Aku duduk kembali setelah sempat berdiri dengan refleks tadi.
Ternyata menunggu dua nomor berikutnya sangatlah lama. Orang yang sedang dilayani mempunyai beberapa masalah administrasi yang rumit dan memerlukan lebih banyak waktu untuk menyelesaikannya. Aku hanya bisa pasrah.
Pintu kaca yang ada di belakangku terbuka. Satpam bengis membukakan pintu itu sambil membungkuk memberi salam dan senyum ramah kepada orang yang datang. Orang itu diiringi seorang berbadan cukup besar dan menenteng koper berwarna hitam. Aku yakin, di dalamnya pasti uang yang tak sedikit. Ia melirik padaku, aku langsung mengalihkan pandangan karena tak kuasa bertatap mata dengannya. Kusadari, aku tak pantas bertatap mata dengan bosku. Ya, dia adalah direktur yang telah kuceritakan di awal. Ternyata dia juga nasabah di sini.
Aku menunduk berharap dia tidak mengenaliku, setidaknya aku sebagai karyawannya. Namun itu mustahil karena aku mengenakan seragam kerjaku saat itu. Walau ia tahu aku pegawainya, ia tak peduli. Bahkan mungkin ia malu karena bawahannya ada di tempat sebagus ini dengan pakaian kerja pabrik miliknya. Ia segera berlalu, masuk ke ruang pelayanan istimewa. Tebakanku adalah bahwa ia akan menabung dalam jumlah yang tak sedikit atau akan membuat kerjasama antara perusahaan dengan bank itu. Kini aku sudah menjadi penebak sebenarnya.
Entah mengapa, aku terus saja memerhatikan pintu ruangan di mana sang direktur masuk ke dalamnya. Mataku seakan enggan terpejam sedikitpun. Dasar mataku ini, mengapa selalu ingin tahu apa yang dilakukan orang lain? Apa manfaatnya bagiku?
Tak lama kemudian, ia keluar didampingi orang yang kelihatannya sepadan dengannya, dalam hal pakaian, wibawa, dan senyuman khas orang kaya. Mungkin itu direktur bank. Mereka mengobrol-ngobrol sambil berdiri, oh tidak berapa lama mereka duduk. Nampaknya ada soal serius lain yang belum terbahas. Ternyata orang kaya juga pelupa.
Walau aku begitu memperhatikan tingkah laku sang direktur namun aku menyadari bahwa sang satpam dan polisi tak ada di dalam bank. Mungkin mereka berjaga di pos halaman.
Tak lama kemudian aku dibuat tercengang dengan kedatangan seorang kakek pengemis tua ke dalam bank. Dengan pakaian compang-campingnya yang khas aku mengenalinya sebagai pengemis yang biasa mangkal di pintu masuk pabrik. Tapi mengapa hari ini dia masuk ke sini? Dan yang membuat aku heran mengapa ia bisa masuk ke dalam? Tidakkah para petugas keamanan menahannya di luar? Ah, mungkin mereka lengah, pikirku.
“Den, kasih saya uang, berapa saja. Saya belum makan dari kemarin…”, ia meminta dengan memelas. Aku sudah hafal benar apa yang dikatakannya setiap meminta lengkap dengan suaranya yang serak, entah begitu kodratnya, entah benar sedang lapar, atau mungkin hanya dibuat-buat supaya orang menaruh kasihan. Yang pasti aku merogoh saku celanaku dan memberinya selembar uang ribuan.
“Terima kasih juragan, semoga rejekimu bertambah….”, katanya sambil mengenakan uang itu ke dahinya. Mungkin ucapan syukur.
Ia berjalan lagi, sekarang menjauhiku. Orang lain yang ada di sana tak peduli dengannya. Apa mungkin mereka tak melihatnya, pikirku. Kalau saja mereka, orang-orang kaya, sadar ada pengemis di sini, mereka akan jijik sejijik mungkin melihatnya. Tentu akan mengusirnya keluar.
Aku memerhatikan lagi langkah pengemis tua itu. Sekarang ia melangkah ke arah kedua direktur yang sedang asyik mengobrol bisnis di sofa di pojok ruangan. Langkahnya semakin dekat, dekat, dan…..
            Sungguh kau dapat mengira apa yang terjadi ketika pengemis itu bersuara memelas dan kedua direktur menyadari ada pengemis di sana. Cacian, makian, hinaan, serta kata-kata usiran memenuhi ruangan. Semua orang baru tersadar akan keberadaan pengemis itu kini. Wajah pengemis itu menunduk. Aku tahu, betapa ia malu sekali dengan ucapan dari kedua direktur itu walaupun setiap hari memang ia memermalukan dirinya dengan meminta-minta. Tapi ini lain cerita. Ia tampak mengeluarkan air mata. Mungkin ia baru tahu bagaimana orang kaya memperlakukan pengemis. Dia kira dia akan dapat uang lebih besar daripada yang kuberikan, padahal ia salah. Justeru yang ia terima hanyalah cemoohan yang amat menyakitkan.
            Semua orang mulai bersuara dengan nada cemoohan walaupun tak langsung menyemprot ke wajah pengemis itu. Namun dengan berbisik saja, tentu itu tetap hinaan yang menyakitkan. Ruangan mulai penuh dengan bisikan.
            Tiba-tiba kudengar beberapa kali suara letusan dari luar. Orang lain masih saling berbisik hingga terakumulasi menjadi riuh dan tak menghiraukan suara itu. Aku berfikir sendiri, apa yang meletus. Namun, belum juga aku selesai berfikir, sekelompok orang bersenjata masuk dengan paksa ke dalam bank sambil membawa senjata api dan berteriak agar kami yang ada di bank segera mengangkat tangan. Aku gemetar walaupun masih bisa cukup tenang. Si pengemis begitu pula.
            “Jangan ada yang teriak, cepat kemasi semua uang yang ada di sini!”, teriak salah satu penjahat. Aku yakin dia pemimpin kawanan perampok itu. Semua teller langsung mengemasi uang seperti diperintah oleh atasannya sendiri.
            “Jangan rampok kami, saya mohon….”, si direktur bank memelas.
            “Banyak omong! Kamu pengen saya tembak ya?”, kata si penjahat sambil mengarahkan pistolnya ke sang direktur bank.
            Sang direktur bank menunduk. Kukira ia akan diam. Tapi kali ini dugaanku salah. Tak kusangka ia nekat untuk melarikan diri. Ia mencoba berlari. Dan hal itu membuat sang penjahat marah besar. Moncong pistol sudah mengarah ke sang direktur. Platuk sudah ditekan. Tapi….
            Ia roboh…. Sang pengemis tua roboh. Peluru itu tepat mengenai keningnya. Ternyata saat sang direktur dibidik, pengemis itu menghalanginya.
            Saat ia roboh dan bersimbah darah ada suatu kalimat agung yang diucapkannya yakni Laa illaaha ilallah muhammadurrosulullah…… Dan seketika aku merasa ruangan bank itu berseling suara takbir, tahmid, takdim, dan tahlil. Mungkin itu perasaanku tapi mungkin juga itu nyata. Yang pasti adalah suatu keajaiban lain terjadi yakni sesaat setelah sang pengemis mengucapkan kalimah agung itu, para penjahat lari tunggang langgang seperti melihat sesuatu yang besar dan menakutkan.
            Setelah para penjahat itu pergi, aku mendekati pengemis itu. Aku mengusap kedua matanya seolah berkata innalillahi wainnailaihi rajiun…. Kedua direktur dan segenap orang yang ada di sana memerhatikan dan sama-sama terdiam membisu.
            Perampokan itu menelan empat orang korban yakni dua orang satpam, seorang polisi, dan seorang penyelamat yakni si pengemis. Belakangan terdengar kabar bahwa pemakaman si pengemis dilakukan dengan megah dan layak. Biayanya ditanggung oleh sang direktur. Mungkin sekedar balas jasa atas satu nyawa. /seps/2008/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar