Oleh: Rai Yuk
H
|
ari ini adalah tanggal ketiga di bulan ini.
Hari ini matahari bersinar indah sekali seindah hatiku yang sedang merona
karena bahagia. Kebahagiaan ini baru aku rasakan saat ini. Tentu saja aku amat
bahagia. Siapa yang tak pernah bahagia setelah mendapatkan gaji pertamanya?
Siapa pun akan merasakan kebahagiaan itu setengah mati ketika hal itu ia alami,
khususnya seperti apa yang aku alami sekarang ini.
Setidaknya
hal itulah yang sedang meraja dalam hatiku saat ini setelah kemarin kuterima
gaji pertamaku. Rasanya, semalam tadi tak cukup bagiku untuk memuaskan hati
dengan terus memandangi uang gajiku sebulan itu. Mungkin bagi orang lain uang
sejumlah iitu tak seberapa. Tapi bagiku, itu amat berharga.
Aku
memang pekerja baru di perusahaan dimana aku bekerja kini. Baru sebulan yang
lalu aku diterima kerja di sana. Bukan di bagian yang strategis pula karena aku
hanya lulusan STM. Semua orang tentu tahu di bagian apakah seorang lulusan STM
ditempatkan. Aku tak harus menjawabnya, yang pasti aku terpaksa menjalaninya
walaupun aku kurang puas dengan pekerjaan itu. Semua orang tentu ingin yang
lebih, tapi apa daya semua itu butuh waktu dan juga faktor lain, pendidikan
misalnya, mungkin.
Aku
juga bukan orang yang terlahir di kota ini. Aku pendatang di sini. Aku
perantau. Walau gaji yang aku terima sangatlah pas-pasan namun kupaksakan untuk
bertahan sebagai perantau di negeri orang ini. Daripada tidak bekerja sama
sekali dan malah menyusahkan orang tua di kampung, pikirku. Belum lagi aku
harus mengontrak rumah, oh bukan! Sebetulnya bukan rumah melainkan hanya sebuah
kamar kos-kosan ukuran mini, amat mini. Ukurannya tak pantas jika aku sebutkan
dalam meter kali meter. Yang pasti adalah bahwa aku hanya dapat membaringkan tubuhku
di sebuah kasur dekil tanpa bed cover yang terhampar di lantainya. Juga hanya
dapat menyimpan sebuah lemari kayu lapuk tanpa laci yang hanya bisa menampung
beberapa stel baju saja di dalamnya. Di dindingnya, dekat pintu, yang lebih
pantas dikatakan jendela, tergantung sebuah cermin yang sudah mulai pudar.
Cermin itu sudah tak dapat lagi memantulkan bayangan orang yang bercermin
secara sempurna. Kadang aku senang juga karena wajahku yang pas-pasan ini
terlihat agak mendingan padanya. Tapi kadang, rambutku yang masih kusut terlihat
sudah licin sekali padanya, karena buramnya. Setelah aku sadar akan
kelemahannya itu dan kena marah manajer karena rambutku masih kusut sesampainya
di pabrik, aku malah sering membawa sisir rambut ke pabrik dan memeriksa lagi rambutku
di toilet karyawan yang cerminnya beberapa kali lipat mengkilapnya dibanding
yang ada di rumah, eh… di kontrakan maksudku. Aku menyadari, tak akan cukup
hasil perasan keringatku untuk menyewa kontrakan yang lebih bagus sedikit saja.
Itu adalah kontrakkan paling cocok untukku. Bukan, bukan untukku, untuk kondisi
keuanganku yang sangat minim maksudku.
Terkadang
aku berfikir, mengapa Tuhan menciptakan manusia sama tapi Dia menetapkan nasib
yang berbeda atas manusia? Mengapa direktur di perusahaan tempatku bekerja mendapat gaji yang besar padahal
kerjanya tak sekeras aku? Mengapa jari orang seperti direktur yang hanya
menunjuk ini itu dan menandatangani ini itu jauh lebih banyak menghasilkan uang
daripada jari tanganku yang sampai kasar karena mengurus mesin setiap hari?
Walaupun aku tak tahu berapa gajinya apalagi sampai pernah melihat struk
gajinya tapi aku bisa memperkirakan
betapa besar penghasilannya dari mobil yang dikendarainya pulang pergi kantor,
dari pakaian bermerk yang dipakainya berganti-ganti setiap hari, dari handphone
mentereng yang digenggamnya dan berganti tiap minggu, dan dari perutnya yang
buncit karena terlalu banyak makan, mungkin. Berapa ratus kali lipat
penghasilanku ya penghasilan direktur itu, suatu hari kutanya diriku dalam hatiku.
Di sela-sela
pekerjaanku kadang aku selalu termenung. Lalu aku bertanya pada diri sendiri,
apakah aku bisa seperti direktur itu? Kadang aku pikir, ya mungkin saja. Namun
lebih banyak aku berfikir, ah…tidak mungkin! Tak jarang setan dalam hati ini ikut
bicara, ikut merajut fikiran yang tak berguna. Tapi, aku masih punya Tuhan.
Masya Allah, tak baik aku memikirkan harta milik orang lain dan tak pantas aku
iri. Apa mulianya harta dan kedudukan? Siapa yang lebih mulia, aku atau si
direktur? Aku tak bisa menjawabnya waktu itu.
Hari ini aku sudah
keluar dari pabrik. Aku bekerja pada shift satu hari ini jadi jam dua belas
sudah keluar dan digantikan pekerja shift selanjutnya. Aku bergegas. Belum kudengar suara adzan dzuhur jadi
kufikir aku akan pergi ke suatu tempat dulu sebelum shalat. Bank swasta yang
ada di perempatan jalan tujuanku. Jaraknya beberapa ratus meter saja dari
pabrik.
Aku berjalan makin
cepat secepat torpedo melesat. Tas hitam yang kubawa aku pegang erat sekali.
Kupastikan tak ada orang yang merebutnya. Maklum, di daerah pabrik banyak
sekali penjambret. Aku sangat mewaspadai hal itu. Kujaga tas itu sebaik
mungkin. Ia amat berharga. Di dalamnya, sebuah amplop tergolek tak berdaya
terombang-ambing oleh gerakan tubuhku yang membawanya. Di dalam amplop itu,
uang gajiku yang sebulan yang kuterima kemarin belum aku ganggu gugat. Begitu
juga dengan struk gajinya, masih tergeletak dekat amplop itu, di dalam tas hitam
yang aku pegang itu. Mungkin memang jumlah uang itu tak seberapa, apalagi
sekali lagi apabila dibandingkan gaji sang direktur. Tapi, rupanya bagiku itu
amatlah berharga sehingga aku ingin mengabadikannya. Dan jalan satu-satunya
adalah dengan menyimpannya di bank walaupun aku tak tahu dari mana akan aku
peroleh uang buat makan dan kontrakan sebulan ke depan sampai gaji bulan
keduaku aku terima. Kupikir, mungkin hal itu akan aku pikirkan kemudian.
Halaman bank sudah
terlihat di kejauhan. Di halaman parkirnya, mobil mewah berbagai merk dan
ukuran terlihat berkilauan catnya terkena sinar matahari dari kejauhan. Tanpa
harus diberi tahu aku sudah dapat mengira-ngira bahwa harganya pasti mahal-mahal.
Semakin dekat aku semakin yakin bahwa harganya tak mungkin sembarangan, tak
mungkin terbeli oleh gaji seorang pekerja serabutan sepertiku ini. Jelas, orang
yang punya juga tak mungkin orang sembarangan. Ah, dasar orang kaya, pikirku.
Walaupun memerhatikan
keadaan demikian, tak gentar hatiku untuk menerobos masuk ke dalam bank melalui
orang-orang berdasi walaupun aku hanya mengenakan baju seragam karyawan pabrik.
Aku tak gentar dengan mobil mewah berjejer yang menandakan nasabah bank itu
semua orang kaya. Aku berfikir, tak mungkin aku ditolak jadi nasabah hanya
karena aku ini karyawan biasa. Aku yakinkan hal itu dalam hati. Namun begitu
tentu sedikit saja ada perasaan minder dengan penampilan yang agak beda,
maksudku lebih sederhana dan tentu jauh lebih dekil dari seluruh orang yang ada
di sana.
Aku sedikit gelagapan
setelah berada di dalamnya. Baru pertama kali aku masuk ke gedung bank selama
hidupku. Hampir semua tulisan yang ada di dalam gedung bank itu bertuliskan
bahasa Inggris. Untung saja nilai bahasa Inggrisku ketika sekolah dulu tak
terlalu jelek jadi ada beberapa kata yang masih bisa aku mengerti. Aku
mengambil nomor antrian costumer service
di meja satpam, dekat pintu masuk. Satpam yang kumisnya tebal dan hitam itu
hanya tersenyum setengah sinis menatapku. Entah itu memang sifatnya, entah
karena pakaianku, ataupun itu hanya perasaanku saja. Lalu aku duduk, nomor
antrianku empat puluh tiga. Tak terlalu
jelek, pikirku. Hanya saja nomor yang sedang ditampilkan di layar sebuah
monitor, yang menandakan nomor nasabah yang sedang dilayani baru nomor dua puluh empat. Ah, masih begitu lama,
delapan belas orang lagi sebelumku harus dilayani.
Aku duduk dengan
tenang. Aku sedikit menjaga wibawa walau tak mungkin seorang pun memperhatikan
gerak-gerikku yang memakai baju karyawan pabrik yang kumal dan bau oli itu.
Padahal dalam hatiku masih meracau kata-kata yang sulit dirangkai. Aku belum
tahu pasti apa yang harus kulakukan. Apa dengan duduk adalah keputusan terbaik
yang dapat menghantarkanku ke meja costumer
service. Namun, aku tak berani menegur satpam berwajah sinis untuk
menanyakan sesuatu tentang hal itu.
Perasaan tidak
menentu itu segera sirna karena perhatianku lebih terpaku kepada beberapa hal
menarik di sana. Televisi adalah salah satunya. Ia memutarkan berbagai acara
menarik. Maklum sudah sebulan sejak aku tinggal di kontrakan aku tak pernah
melihat layar televisi. Dulu ketika di rumah yang di kampung ada tv walaupun
tidak berwarna. Hanya tv koran, begitu ayahku memberinya istilah.
Perhatianku sebagai
seorang pemuda juga terpaku pada gerak-gerik teller wanita yang parasnya cantik-cantik. Pantas saja, kupikir,
orang kaya senang mampir ke bank. Ternyata karyawati bank itu cantik-cantik
rupawan. Pilihanku jatuh pada seorang teller
wanita paling ujung. Ia paling menarik di antara semua karyawati yang cantik
itu. Ah, ia sungguh cantik, bak dewi khayangan turun dari langit. Tapi bukan
hanya karena ia cantik melainkan juga karena ada kemiripan ia dengan kekasihku
ketika aku di kampung. Namun aku sudah tak berhubungan lagi dengannya karena ia
memilih kawin dengan anak Pak Lurah yang kaya raya. Sempat anganku melayang
memikirkan hal yang agak melenceng, namun beberapa saat kemudian sudah dapat
kukendalikan. Terlebih ketika kulihat teller
itu bangkit dengan agak susah payah. Baru kusadari bahwa ia tengah hamil tua. Pudar sudah kekagumanku
padanya. Bahkan aku sangat malu pada diriku sendiri. Ah betapa aku tak dapat
menjaga pandanganku terhadap sesuatu hal yang bukan milikku.
Kini aku harus
memperhatikan hal lain pada bank itu. Kulihat ada benda bergelantungan di
langit-langit. Seperti kaca lampu, namun kupikir itu bulan lampu. Ukurannya
terlalu kecil untuk sebuah lampu. Lagi pula ada lampu yang jelas terpasang di
bagian lain di atap itu. Dan, benda itu bergerak seperti mengawasi gerak-gerik
setiap orang yang ada di ruangan itu. Setelah kupikir agak lama, aku mengira-ngira
bahwa itu kamera pengawas. Ya, aku pernah mendengar bahwa di bank atau di
kantor-kantor besar selalu dipasang kamera pengawas. Ternyata, orang kaya yang
ada di sini sangat takut kehilangan uangnya. Selain pengamanan polisi dan
satpam yang ketat, kamera pengawas pun sangat mudah di jumpai di setiap sudut
langit-langit dan tembok sebagai salah satu alat pengamanan juga. Ini tentu
ditujukan untuk memantau keamanan karena bank rentan sekali akan perampokan.
Harus kupikir lagi, apakah setakut itukah orang kaya yang banyak uang
kehilangan uangnya? Kalau begitu mereka sama sepertiku yang tak rela kehilangan
uang gajiku ini. Hal itu tak kupikirkan lebih lanjut karena kudengar panggilan
nomor empat puluh satu, kupikir empat
puluh tiga. Aku duduk kembali setelah sempat berdiri dengan refleks tadi.
Ternyata menunggu dua
nomor berikutnya sangatlah lama. Orang yang sedang dilayani mempunyai beberapa
masalah administrasi yang rumit dan memerlukan lebih banyak waktu untuk
menyelesaikannya. Aku hanya bisa pasrah.
Pintu kaca yang ada
di belakangku terbuka. Satpam bengis membukakan pintu itu sambil membungkuk
memberi salam dan senyum ramah kepada orang yang datang. Orang itu diiringi
seorang berbadan cukup besar dan menenteng koper berwarna hitam. Aku yakin, di
dalamnya pasti uang yang tak sedikit. Ia melirik padaku, aku langsung
mengalihkan pandangan karena tak kuasa bertatap mata dengannya. Kusadari, aku
tak pantas bertatap mata dengan bosku. Ya, dia adalah direktur yang telah
kuceritakan di awal. Ternyata dia juga nasabah di sini.
Aku menunduk berharap
dia tidak mengenaliku, setidaknya aku sebagai karyawannya. Namun itu mustahil
karena aku mengenakan seragam kerjaku saat itu. Walau ia tahu aku pegawainya,
ia tak peduli. Bahkan mungkin ia malu karena bawahannya ada di tempat sebagus
ini dengan pakaian kerja pabrik miliknya. Ia segera berlalu, masuk ke ruang
pelayanan istimewa. Tebakanku adalah bahwa ia akan menabung dalam jumlah yang
tak sedikit atau akan membuat kerjasama antara perusahaan dengan bank itu. Kini
aku sudah menjadi penebak sebenarnya.
Entah mengapa, aku terus
saja memerhatikan pintu ruangan di mana sang direktur masuk ke dalamnya. Mataku
seakan enggan terpejam sedikitpun. Dasar mataku ini, mengapa selalu ingin tahu
apa yang dilakukan orang lain? Apa manfaatnya bagiku?
Tak lama kemudian, ia
keluar didampingi orang yang kelihatannya sepadan dengannya, dalam hal pakaian,
wibawa, dan senyuman khas orang kaya. Mungkin itu direktur bank. Mereka
mengobrol-ngobrol sambil berdiri, oh tidak berapa lama mereka duduk. Nampaknya
ada soal serius lain yang belum terbahas. Ternyata orang kaya juga pelupa.
Walau aku begitu
memperhatikan tingkah laku sang direktur namun aku menyadari bahwa sang satpam
dan polisi tak ada di dalam bank. Mungkin mereka berjaga di pos halaman.
Tak lama kemudian aku
dibuat tercengang dengan kedatangan seorang kakek pengemis tua ke dalam bank.
Dengan pakaian compang-campingnya yang khas aku mengenalinya sebagai pengemis
yang biasa mangkal di pintu masuk pabrik. Tapi mengapa hari ini dia masuk ke
sini? Dan yang membuat aku heran mengapa ia bisa masuk ke dalam? Tidakkah para
petugas keamanan menahannya di luar? Ah, mungkin mereka lengah, pikirku.
“Den, kasih saya
uang, berapa saja. Saya belum makan dari kemarin…”, ia meminta dengan memelas.
Aku sudah hafal benar apa yang dikatakannya setiap meminta lengkap dengan
suaranya yang serak, entah begitu kodratnya, entah benar sedang lapar, atau
mungkin hanya dibuat-buat supaya orang menaruh kasihan. Yang pasti aku merogoh
saku celanaku dan memberinya selembar uang ribuan.
“Terima kasih
juragan, semoga rejekimu bertambah….”, katanya sambil mengenakan uang itu ke
dahinya. Mungkin ucapan syukur.
Ia berjalan lagi,
sekarang menjauhiku. Orang lain yang ada di sana tak peduli dengannya. Apa
mungkin mereka tak melihatnya, pikirku. Kalau saja mereka, orang-orang kaya, sadar
ada pengemis di sini, mereka akan jijik sejijik mungkin melihatnya. Tentu akan
mengusirnya keluar.
Aku memerhatikan lagi
langkah pengemis tua itu. Sekarang ia melangkah ke arah kedua direktur yang
sedang asyik mengobrol bisnis di sofa di pojok ruangan. Langkahnya semakin
dekat, dekat, dan…..
Sungguh
kau dapat mengira apa yang terjadi ketika pengemis itu bersuara memelas dan
kedua direktur menyadari ada pengemis di sana. Cacian, makian, hinaan, serta
kata-kata usiran memenuhi ruangan. Semua orang baru tersadar akan keberadaan
pengemis itu kini. Wajah pengemis itu menunduk. Aku tahu, betapa ia malu sekali
dengan ucapan dari kedua direktur itu walaupun setiap hari memang ia
memermalukan dirinya dengan meminta-minta. Tapi ini lain cerita. Ia tampak
mengeluarkan air mata. Mungkin ia baru tahu bagaimana orang kaya memperlakukan
pengemis. Dia kira dia akan dapat uang lebih besar daripada yang kuberikan,
padahal ia salah. Justeru yang ia terima hanyalah cemoohan yang amat
menyakitkan.
Semua
orang mulai bersuara dengan nada cemoohan walaupun tak langsung menyemprot ke
wajah pengemis itu. Namun dengan berbisik saja, tentu itu tetap hinaan yang
menyakitkan. Ruangan mulai penuh dengan bisikan.
Tiba-tiba
kudengar beberapa kali suara letusan dari luar. Orang lain masih saling
berbisik hingga terakumulasi menjadi riuh dan tak menghiraukan suara itu. Aku
berfikir sendiri, apa yang meletus. Namun, belum juga aku selesai berfikir,
sekelompok orang bersenjata masuk dengan paksa ke dalam bank sambil membawa
senjata api dan berteriak agar kami yang ada di bank segera mengangkat tangan.
Aku gemetar walaupun masih bisa cukup tenang. Si pengemis begitu pula.
“Jangan
ada yang teriak, cepat kemasi semua uang yang ada di sini!”, teriak salah satu
penjahat. Aku yakin dia pemimpin kawanan perampok itu. Semua teller langsung
mengemasi uang seperti diperintah oleh atasannya sendiri.
“Jangan
rampok kami, saya mohon….”, si direktur bank memelas.
“Banyak
omong! Kamu pengen saya tembak ya?”, kata si penjahat sambil mengarahkan
pistolnya ke sang direktur bank.
Sang
direktur bank menunduk. Kukira ia akan diam. Tapi kali ini dugaanku salah. Tak
kusangka ia nekat untuk melarikan diri. Ia mencoba berlari. Dan hal itu membuat
sang penjahat marah besar. Moncong pistol sudah mengarah ke sang direktur.
Platuk sudah ditekan. Tapi….
Ia
roboh…. Sang pengemis tua roboh. Peluru itu tepat mengenai keningnya. Ternyata
saat sang direktur dibidik, pengemis itu menghalanginya.
Saat
ia roboh dan bersimbah darah ada suatu kalimat agung yang diucapkannya yakni Laa illaaha ilallah muhammadurrosulullah……
Dan seketika aku merasa ruangan bank itu berseling suara takbir, tahmid,
takdim, dan tahlil. Mungkin itu perasaanku tapi mungkin juga itu nyata. Yang
pasti adalah suatu keajaiban lain terjadi yakni sesaat setelah sang pengemis
mengucapkan kalimah agung itu, para penjahat lari tunggang langgang seperti
melihat sesuatu yang besar dan menakutkan.
Setelah
para penjahat itu pergi, aku mendekati pengemis itu. Aku mengusap kedua matanya
seolah berkata innalillahi wainnailaihi
rajiun…. Kedua direktur dan segenap orang yang ada di sana memerhatikan dan
sama-sama terdiam membisu.
Perampokan
itu menelan empat orang korban yakni dua orang satpam, seorang polisi, dan
seorang penyelamat yakni si pengemis. Belakangan terdengar kabar bahwa
pemakaman si pengemis dilakukan dengan megah dan layak. Biayanya ditanggung
oleh sang direktur. Mungkin sekedar balas jasa atas satu nyawa. /seps/2008/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar