Oleh: Rai Yuk
Aku masih ingat betul saat-saat kemarin
kita bersama. Aku masih ingat betul wahai bidadari kecilku. Kau selalu
menghiasi hari-hariku sejak aku mengenalmu. Ya, Cheryl, adik dari kekasihku
Tian. Aku berharap kebahagiaan ini adalah awal dari kebahagiaan selanjutnya.
Aku berharap kaulah yang akan menjadi perekat kami, perekat keindahan cinta
kami wahai adik manis.
Kisah cintaku dengan Tian memang tidak
berjalan semulus yang diinginkan. Ya, jalan yang kami tempuh untuk eksistensi
cinta ini membutuhkan kerja keras dan pengorbanan yang sungguh luar biasa. Atau
paling tidak menguras tenaga dan fikiran. Beruntunglah aku karena Tian adalah
sosok kekasih yang cukup sabar. Di tengah terpaan ketidakpercayaan dan tekanan
orang tuanya, ia tetap bersikeras untuk terus mencintaiku. Ya, dia bilang dia
selalu mencintaiku, bahkan makin mencintaiku walaupun entah sampai kapan ia
akan mampu bertahan. Aku kadang berkhayal bahwa cintanya akan seperti cinta
Dewi Shinta dan cintaku akan seperti cintanya Rama. Ah benarkan cerita itu?
Mungkin saja. Tapi egoku berkata bahwa cinta kami akan lebih kuat daripada itu.
Ayah dan ibu Tian memang sudah
beberapa kali meminta Tian cepat menikah. Ya umurnya memang sudah mencukupi
untuk ukuran seorang wanita. Dia anak pertama pula. Apalagi dia sudah sarjana dan sudah
mendapat pekerjaan yang baik pula sebagai seorang guru di salah satu sekolah.
Tentu saja adalah hal yang tidak berlebihan jika orang tuanya menginginkan ia
segera menikah, apalagi sudah banyak laki-laki dengan berbagai titel dan
pangkat yang datang kepada orangtuanya, hendak memintanya menjadi isteri. Tapi
semua ditolak mentah-mentah oleh Tian. Katanya belum ada yang cocok di hati,
belum ada yang bisa ia cintai. Sehingga jawabanya itu tak jarang membuat
ayahnya bingung adan mamanya marah-marah.
“Tian, kamu itu maunya apa sih?
Lihat tuh Tari anaknya Om Danu, dia umurnya di bawah kamu, baru saja lulus
sarjana bulan kemarin, sekarang sudah nikah. Kamu mau kapan nikah?? Mama sudah
malu sama temen-temen mama, mereka sudah pada gendong cucu, sedangkan mama
menantu pun belum punya”. Mamanya ngomel-ngomel.
Dia hanya terdiam cemberut di depan
tv mendengar omelan mamanya yang hanya dia anggap seperti layaknya radio rusak.
Matanya hanya terfokus melihat tayangan sinetron.
“Tian!!!!”
“Ya, ma….”
“Kamu dengerin mama atau enggak sih?
Nih, Tian, sampai kapan mama harus nunggu punya cucu pertama dari kamu? Sampai
mama mati, iya?!!”, teriak mama kesal.
“Ya ampun mama, sabar, Tian pasti
bawa calon kok”, jawabnya tenang.
“Siapa? Kapan? Teman kamu itu?
siapa, si….euuuu….si Septian itu, iya? Masa kamu mau nikah sama seorang
pengangguran, masih mahasiswa juga. Apa masa depan yang bisa dia berikan sama
kamu, suram!!!”
“Mama!! Bisa enggak sih kalau mama
gak ngehina dia?”, Tia terpancing emosinya.
Setidaknya itu yang aku dengar dari
Tian mengenai penilaian mamanya terhadap aku. Kadang aku pun tak tahan menahan
emosi karena penghinaan itu. Tapi kadang aku fikir lagi memang benar apa yang
dikatakan mamanya. Apa yang bisa aku jaminkan untuk Tian dan masa depannya. AKu
hanya mahasiswa semester akhir tanpa pekerjaan tetap yang bisa dijadikan
jaminan. Mau diberi makan apa Tian dan anak-anakku kelak. Beliau benar, aku
yang salah.
“Aku salah. Ya, aku salah karena aku
mencintai seorang wanita yang segalanya lebih tinggi daripada aku. Dia memang
berusia lebih tua beberapa tahun dari aku, dua atau tiga tahun. Tapi toh aku
dan dia tidak pernah mempermasalahkan itu , bahkan terlanjur indah aku menerima
kasih sayang dari dia. Kedewasaannya berfikir membuatku terkadang harus banyak
belajar dari dia. Tapi justru itu sangat banyak membantuku”.
“Tapi apakah aku terlanjur salah?
Aku rasa tidak juga. Aku yakin dengan cinta ini. Aku yakin bisa mencintanya di
tengah keterbatasanku ini. Aku yakin bahwa aku akan segera lulus dan mendapat
pekerjaan yang baik dan layak untuk menghidupi Tian dan anak-anak kami kelak.
Amin yaa Rabb……kabulkanlah doa-doaku”, begitu bunyi doaku dan pengaduanku pada
Tuhan setiap sehabis shalat malam……
**
Hari-hari tidak terasa berlalu dengan
cepat. Tanggal satu Januari, seharian, agaknya tak cukup untuk menikmati
liburan awal tahun. Hingga tanggal dua Januari ini suasana liburan masih
menyelimuti sebagian besar orang. Aku dengar di televisi, daerah Puncak macet
total karena ledakan pengunjung, begitu pula Ancol di Jakarta. Aku heran
mengapa orang-orang begitu senang berdesakan di tempat wisata padahal mereka
seringkali mengeluh harga-harga melambung naik. Ya, itulah manusia, mungkin
butuh penyegaran diri, berlibur bersama dengan keluarga. Aku juga rasanya
begitu,ingin berlibur bersama orang-orang yang kusayangi.
“Assalamu’alaikum. Halo sayang…..”
“Waalaikumussalam,,,Aa….”
“Ya sayang, nanti kita berangkat
larinya selepas shalat subuh kita berangkat. Aa jemput kamu di bawah yah, ‘gak
ke rumah dulu. Aa bawa motor dan nanti kita simpan di teman Aa yang rumahnya di
dekat tempat wisata Cijulang itu lho”.
“Iya, Tian ngerti A kok. Aa pasti ‘gak ke rumah dulu dan memang seharusnya jangan
dulu. Semalam juga mama ngomel-ngomel. Nanti Tian cerita ya sayang…”, jawab
seseorang di ujung sinyal telepon itu. Dia Tian, kekasihku,
“Hehe…ya sayang. Aa jadi kesindir.
Oh iya, jangan lupa yah ajak Cheryl, si Adik manis itu. Aa sudah kangen lagi
sama dia sayang”.
“Ia sayang, nanti Tian ajak dia. Dia
mulai suka Aa lho, semalam dia cerita ini itu tentang Aa ketika kita sama-sama
tahun baruan kemarin”.
“Oh ya? Senangnya hatiku sayang. Ah,
aku menyayangi dia sudah seperti adikku sendiri. Bisakah dia jadi adikku,
Tian?”
“Bisa, A. Tapi dengan satu syarat…”,
goda Tian.
“Apakah itu, sayang?”
“Aa harus jadi suami tetehnya. Mau kan jadi
suami Tian, A?”
“Hehe…kamu ini, ya tentu saja mau sayang”.
Obrolan kami berlangsung alot.
Walaupun di telfon tak jarang kami saling menggoda. Ah, indahnya dunia ini
ketika aku mendengar suaramu, Tian. Akankah aku miliki dia selamanya??
**
“Cheryl, mau makan bubur dulu gak
sayang?”, tanyaku pada anak kelas empat SD itu.
“Hmm….mau mau Kak! Cheryl kan, belum
makan dulu tadi. Habisnya si teteh buru-buru amat ngajak perginya”, celotehnya
dengan wajah paling manis.
“Iya atuh A, orang dia diajak lari malah pake jeans, hmm….”, goda Tian.
“Ih….teteh, jangan bilang-bilang Kak
Septian dong”, dia cemberut.
“Ya sudah, sekarang kita lari dulu.
Nah nanti di atas ada tukang bubur, kita makan dulu yah. Habis itu kita main ke
tempat wisata Cijulang, ada air terjunnya lho…”
“Iya, Kak? Asyik….aku belum pernah
main ke air terjun”, jawabnya semangat.
Sehabis mengisi perut dengan bubur
ayam, kami menuju tempat wisata itu. Cheryl kelelahan tetapi tetap menunjukkan
keceriaannya. Ah…anak yang sangat manis. Rambutnya yang lembut itu dibiarkan
terurai lepas dengan dihiasi jepit-jepit rambut berwarna merah muda yang
cantik. Wajahnya lucu dan bersih segar. Bola-bola matanya indah dan bersorot
tajam. Dan, giginya yang tersusun rapi juga terawat dengan baik. Nampaknya
mamanya Tian sangat memperhatikan dan telaten merawat anak bungsunya itu.
Cheryl sangat menikmati liburannya
bersama kami. Aku semakin bahagia melihatnya tersenyum. Bagiku, ia sudah
seperti adiku sendiri yang harus kukasihi dan kulindungi. Karenanya tak
kubiarkan ia sendiri. Setiap jalan turunan atau tanjakkan selalu kurekatkan
tangannya di tanganku atau kadang kugendong jika ia mengatakan lelah. Ah,
Cheryl adikku…
“Sayang, adikmu itu lucu yah?”
“Sudah berapa kali kau mengatakan
itu, A. Tapi aku senang kamu menyayangi adikku. Suami seperti kau dambaanku,
yang bukan sayang padaku tapi juga pada keluargaku”.
“Eh, dimana Cheryl…”.
“Dia bermain air disana”, jawab Tian
sambil menunjuk ke arah Cheryl.
“Oh iya, tidak akan apa-apakah dia
disana sendiri?”
“Aku rasa….”
Jawaban Tian tidak sampai sempurna
terpotong oleh teriakan Cheryl dari arah dimana tadi ditunjuk oleh Tian. Tian
menjerit sekeras-kerasnya melihat adiknya terjatuh. Aku segera melompat hendak
merangkulnya. Tapi, itu sudah terjadi…………
**
“Bagaimana ini, Tian?”
“Tian juga tidak tahu, A. Mama pasti
marah besar. Aku takut mama sangkut pautkan ini dengan hubungan kita sayang”,
jawab Tian lemas.
Aku membisu. Jawaban Tian cukup
memebuat hatiku beku. Ya, gigi Cheryl yang cantik sedikit tergores karena
terjatuh. Aku merasa bersalah karena membiarkannya bermain sendiri. Maafkan
kakak, Cheryl….
***
Untuk adikku, Nebil. Maafkan
kakak yah, musibah yang menimpa Nebil adalah salah kakak. Maaf karena kakak
belum bisa jagain Nebil. Moga cepet baikan yah…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar