Rabu, 13 Februari 2013

GIGI CHERYL



Oleh: Rai Yuk

Aku masih ingat betul saat-saat kemarin kita bersama. Aku masih ingat betul wahai bidadari kecilku. Kau selalu menghiasi hari-hariku sejak aku mengenalmu. Ya, Cheryl, adik dari kekasihku Tian. Aku berharap kebahagiaan ini adalah awal dari kebahagiaan selanjutnya. Aku berharap kaulah yang akan menjadi perekat kami, perekat keindahan cinta kami wahai adik manis.
            Kisah cintaku dengan Tian memang tidak berjalan semulus yang diinginkan. Ya, jalan yang kami tempuh untuk eksistensi cinta ini membutuhkan kerja keras dan pengorbanan yang sungguh luar biasa. Atau paling tidak menguras tenaga dan fikiran. Beruntunglah aku karena Tian adalah sosok kekasih yang cukup sabar. Di tengah terpaan ketidakpercayaan dan tekanan orang tuanya, ia tetap bersikeras untuk terus mencintaiku. Ya, dia bilang dia selalu mencintaiku, bahkan makin mencintaiku walaupun entah sampai kapan ia akan mampu bertahan. Aku kadang berkhayal bahwa cintanya akan seperti cinta Dewi Shinta dan cintaku akan seperti cintanya Rama. Ah benarkan cerita itu? Mungkin saja. Tapi egoku berkata bahwa cinta kami akan lebih kuat daripada itu.
            Ayah dan ibu Tian memang sudah beberapa kali meminta Tian cepat menikah. Ya umurnya memang sudah mencukupi untuk ukuran seorang wanita. Dia anak pertama  pula. Apalagi dia sudah sarjana dan sudah mendapat pekerjaan yang baik pula sebagai seorang guru di salah satu sekolah. Tentu saja adalah hal yang tidak berlebihan jika orang tuanya menginginkan ia segera menikah, apalagi sudah banyak laki-laki dengan berbagai titel dan pangkat yang datang kepada orangtuanya, hendak memintanya menjadi isteri. Tapi semua ditolak mentah-mentah oleh Tian. Katanya belum ada yang cocok di hati, belum ada yang bisa ia cintai. Sehingga jawabanya itu tak jarang membuat ayahnya bingung adan mamanya marah-marah.
            “Tian, kamu itu maunya apa sih? Lihat tuh Tari anaknya Om Danu, dia umurnya di bawah kamu, baru saja lulus sarjana bulan kemarin, sekarang sudah nikah. Kamu mau kapan nikah?? Mama sudah malu sama temen-temen mama, mereka sudah pada gendong cucu, sedangkan mama menantu pun belum punya”. Mamanya ngomel-ngomel.
            Dia hanya terdiam cemberut di depan tv mendengar omelan mamanya yang hanya dia anggap seperti layaknya radio rusak. Matanya hanya terfokus melihat tayangan sinetron.
            “Tian!!!!”
            “Ya, ma….”
            “Kamu dengerin mama atau enggak sih? Nih, Tian, sampai kapan mama harus nunggu punya cucu pertama dari kamu? Sampai mama mati, iya?!!”, teriak mama kesal.
            “Ya ampun mama, sabar, Tian pasti bawa calon kok”, jawabnya tenang.
            “Siapa? Kapan? Teman kamu itu? siapa, si….euuuu….si Septian itu, iya? Masa kamu mau nikah sama seorang pengangguran, masih mahasiswa juga. Apa masa depan yang bisa dia berikan sama kamu, suram!!!”
            “Mama!! Bisa enggak sih kalau mama gak ngehina dia?”, Tia terpancing emosinya.

            Setidaknya itu yang aku dengar dari Tian mengenai penilaian mamanya terhadap aku. Kadang aku pun tak tahan menahan emosi karena penghinaan itu. Tapi kadang aku fikir lagi memang benar apa yang dikatakan mamanya. Apa yang bisa aku jaminkan untuk Tian dan masa depannya. AKu hanya mahasiswa semester akhir tanpa pekerjaan tetap yang bisa dijadikan jaminan. Mau diberi makan apa Tian dan anak-anakku kelak. Beliau benar, aku yang salah.
            “Aku salah. Ya, aku salah karena aku mencintai seorang wanita yang segalanya lebih tinggi daripada aku. Dia memang berusia lebih tua beberapa tahun dari aku, dua atau tiga tahun. Tapi toh aku dan dia tidak pernah mempermasalahkan itu , bahkan terlanjur indah aku menerima kasih sayang dari dia. Kedewasaannya berfikir membuatku terkadang harus banyak belajar dari dia. Tapi justru itu sangat banyak membantuku”.
            “Tapi apakah aku terlanjur salah? Aku rasa tidak juga. Aku yakin dengan cinta ini. Aku yakin bisa mencintanya di tengah keterbatasanku ini. Aku yakin bahwa aku akan segera lulus dan mendapat pekerjaan yang baik dan layak untuk menghidupi Tian dan anak-anak kami kelak. Amin yaa Rabb……kabulkanlah doa-doaku”, begitu bunyi doaku dan pengaduanku pada Tuhan setiap sehabis shalat malam……
**
Hari-hari tidak terasa berlalu dengan cepat. Tanggal satu Januari, seharian, agaknya tak cukup untuk menikmati liburan awal tahun. Hingga tanggal dua Januari ini suasana liburan masih menyelimuti sebagian besar orang. Aku dengar di televisi, daerah Puncak macet total karena ledakan pengunjung, begitu pula Ancol di Jakarta. Aku heran mengapa orang-orang begitu senang berdesakan di tempat wisata padahal mereka seringkali mengeluh harga-harga melambung naik. Ya, itulah manusia, mungkin butuh penyegaran diri, berlibur bersama dengan keluarga. Aku juga rasanya begitu,ingin berlibur bersama orang-orang yang kusayangi.
“Assalamu’alaikum. Halo sayang…..”
“Waalaikumussalam,,,Aa….”
            “Ya sayang, nanti kita berangkat larinya selepas shalat subuh kita berangkat. Aa jemput kamu di bawah yah, ‘gak ke rumah dulu. Aa bawa motor dan nanti kita simpan di teman Aa yang rumahnya di dekat tempat wisata Cijulang itu lho”.
            “Iya, Tian ngerti A kok. Aa pasti ‘gak  ke rumah dulu dan memang seharusnya jangan dulu. Semalam juga mama ngomel-ngomel. Nanti Tian cerita ya sayang…”, jawab seseorang di ujung sinyal telepon itu. Dia Tian, kekasihku,
            “Hehe…ya sayang. Aa jadi kesindir. Oh iya, jangan lupa yah ajak Cheryl, si Adik manis itu. Aa sudah kangen lagi sama dia sayang”.
            “Ia sayang, nanti Tian ajak dia. Dia mulai suka Aa lho, semalam dia cerita ini itu tentang Aa ketika kita sama-sama tahun baruan kemarin”.
            “Oh ya? Senangnya hatiku sayang. Ah, aku menyayangi dia sudah seperti adikku sendiri. Bisakah dia jadi adikku, Tian?”
            “Bisa, A. Tapi dengan satu syarat…”, goda Tian.
            “Apakah itu, sayang?”
“Aa harus jadi suami tetehnya. Mau kan jadi suami Tian, A?”
            “Hehe…kamu ini, ya tentu saja mau sayang”.
            Obrolan kami berlangsung alot. Walaupun di telfon tak jarang kami saling menggoda. Ah, indahnya dunia ini ketika aku mendengar suaramu, Tian. Akankah aku miliki dia selamanya??
**
            “Cheryl, mau makan bubur dulu gak sayang?”, tanyaku pada anak kelas empat SD itu.
            “Hmm….mau mau Kak! Cheryl kan, belum makan dulu tadi. Habisnya si teteh buru-buru amat ngajak perginya”, celotehnya dengan wajah paling manis.
            “Iya atuh A, orang dia diajak lari malah pake jeans, hmm….”, goda Tian.
            “Ih….teteh, jangan bilang-bilang Kak Septian dong”, dia cemberut.
            “Ya sudah, sekarang kita lari dulu. Nah nanti di atas ada tukang bubur, kita makan dulu yah. Habis itu kita main ke tempat wisata Cijulang, ada air terjunnya lho…”
            “Iya, Kak? Asyik….aku belum pernah main ke air terjun”,  jawabnya semangat.
            Sehabis mengisi perut dengan bubur ayam, kami menuju tempat wisata itu. Cheryl kelelahan tetapi tetap menunjukkan keceriaannya. Ah…anak yang sangat manis. Rambutnya yang lembut itu dibiarkan terurai lepas dengan dihiasi jepit-jepit rambut berwarna merah muda yang cantik. Wajahnya lucu dan bersih segar. Bola-bola matanya indah dan bersorot tajam. Dan, giginya yang tersusun rapi juga terawat dengan baik. Nampaknya mamanya Tian sangat memperhatikan dan telaten merawat anak bungsunya itu.
            Cheryl sangat menikmati liburannya bersama kami. Aku semakin bahagia melihatnya tersenyum. Bagiku, ia sudah seperti adiku sendiri yang harus kukasihi dan kulindungi. Karenanya tak kubiarkan ia sendiri. Setiap jalan turunan atau tanjakkan selalu kurekatkan tangannya di tanganku atau kadang kugendong jika ia mengatakan lelah. Ah, Cheryl adikku…
            “Sayang, adikmu itu lucu yah?”
            “Sudah berapa kali kau mengatakan itu, A. Tapi aku senang kamu menyayangi adikku. Suami seperti kau dambaanku, yang bukan sayang padaku tapi juga pada keluargaku”.
            “Eh, dimana Cheryl…”.
            “Dia bermain air disana”, jawab Tian sambil menunjuk ke arah Cheryl.
            “Oh iya, tidak akan apa-apakah dia disana sendiri?”
            “Aku rasa….”
            Jawaban Tian tidak sampai sempurna terpotong oleh teriakan Cheryl dari arah dimana tadi ditunjuk oleh Tian. Tian menjerit sekeras-kerasnya melihat adiknya terjatuh. Aku segera melompat hendak merangkulnya. Tapi, itu sudah terjadi…………
**
            “Bagaimana ini, Tian?”
            “Tian juga tidak tahu, A. Mama pasti marah besar. Aku takut mama sangkut pautkan ini dengan hubungan kita sayang”, jawab Tian lemas.
            Aku membisu. Jawaban Tian cukup memebuat hatiku beku. Ya, gigi Cheryl yang cantik sedikit tergores karena terjatuh. Aku merasa bersalah karena membiarkannya bermain sendiri. Maafkan kakak, Cheryl….
***
Untuk adikku, Nebil. Maafkan kakak yah, musibah yang menimpa Nebil adalah salah kakak. Maaf karena kakak belum bisa jagain Nebil. Moga cepet baikan yah…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar