Rabu, 13 Februari 2013

Ratapan Ibu Tiri



Oleh: Rai Yuk

            Malam sudah semakin larut. Adzan Isya sudah berkumandang sekitar tiga jam yang lalu. Kebanyakan penduduk pun sudah masuk ke kamarnya masing-masing untuk beristirahat. Mungkin mereka cukup lelah. Maklum saja, kebanyakan pencaharian yang mereka tekuni adalah petani. Kalau tidak bertani, ya berdagang di pasar. Pekerjaan seperti itu menguras tenaga yang sangat luar biasa. Bayangkan saja, seorang petani harus mengolah tanah garapannya mulai dari pagi datang sampai petang menjelang. Seorang pedagang sayuran di pasar misalnya, harus sudah memulai aktivitasnya sebelum subuh menjelang.
            Malam itu kurang begitu cerah. Langit berawan tanpa hamparan bintang-bintang yang biasanya berarak riang. Dewi Bulan pun nampaknya malu-malu untuk keluar dari peraduannya. Yang ada hanya suara jangkrik yang bersahutan dengan suara kodok di sawah sekitar kampung. Dunia dan seisinya nampak muram. Bagi penduduk yang panennya di musim lalu gagal, hatinya lebih muram lagi. Musim hujan dan kemarau sekarang ini sudah tidak bisa diprediksi. Akibatnya hama penyakit semakin banyak, pun tanaman tidak bisa tumbuh sempurna jika cuacanya selalu berubah drastis setiap harinya. Kata para ilmuwan, ini adalah salah satu akibat dari pemanasan global.
            Mendungnya alam kampung Cimanuk menggambarkan pula keadaan hati seseorang. Ia adalah seorang perempuan paruh baya yang berparas cukup rupawan dalam balutan kerudungnya yang lebar. Begitulah, di usianya yang sudah tidak muda lagi, garis-garis kecantikannya masih terlihat. Kendati demikian, garis kecantikan itu terbaur dengan garis-garis kesedihan, ketakutan, kegamangan, dan bahkan kesengsaraan. Sudah lama ia menghabiskan hari-harinya dengan tangis meratap, memohon petunjuk kepada Allah Swt. Hari-harinya dipenuhi dengan kesedihan yang menyiksa jiwanya. Tak jarang, siksa badan harus dengan terpaksa ia terima.
            Ma Iis, begitulah ia akrab disapa. Dua puluh tahun yang lalu ia memutuskan untuk menerima pinangan seorang duda beranak dua. Dialah Agus, seorang nakhoda kapal pesiar, profesi yang berbeda dengan kebanyakan penduduk kampung Cimanuk tersebut. Saat ia menikahi Iis, ia telah ditinggal oleh isterinya Sa’adah karena penyakit kanker. Saat itu anak-anaknya pun sudah berusia belasan tahun, sehingga mengetahui bahwa ibunya meninggalkan mereka. Karena merasa tidak ada yang mengurus anaknya yang belum cukup dewasa itu, terlebih ia yang sering bepergian untuk waktu yang tak sebentar, Agus memutuskan untuk segera menikah lagi.
            Ia menikahi Iis hanya beberapa bulan setelah Sa’adah meninggal dunia. Ia memilih Iis karena pilihan almarhumah isterinya juga. Iis adalah kawan Sa’adah ketika sekolah dan mengaji dahulu. Kecantikan mereka berdua pun sangat seimbang. Hanya saja Sa’adah berkulit lebih putih daripada Iis. Dengan melakukan istikharah beberapa kali pun Iis menerima pinangan Agus terlebih ia ingat perkataan Sa’adah ketika ia tergulai lemas dalam sakitnya, “Is, jika aku meninggal kelak, aku ingin engkau yang menjadi ibu buat anak-anakku. Aku sudah terlanjur percaya padamu. Cintamu pada anak-anakku akan sama seperti cintaku pada mereka. Aku yakin, walaupun nanti kau ibu tiri mereka, tak akan pernah kau menyakiti mereka. Berjanjilah padaku Is, kau akan menjaga mereka!”, pintanya sambil berlinang air mata. Iis pun sama berlinangnya. Namun, ia pula menyungging senyum untuk memberi sedikit ketegaran pada sahabatnya yang tergolek lemas di atas matras rumah sakit itu.
            Setelah Iis dinikahi Agus dan menjadi ibu tiri untuk Rita dan Doni, ia  berusaha menyayangi suami dan anak-anaknya dengan baik. Ia tidak menganggap anak-anak itu sebagai anak tiri. Ia anggap mereka layaknya anak sendiri. Agus menjadi kagum dibuatnya sehingga ia tidak khawatir lagi meninggalkan keluarganya untuk bekerja berkeliling dunia sebagai nakhoda kapal.
            Hal yang terjadi justru sebaliknya. Sikap anak-anaknya yang tahu bahwa Iis bukanlah ibu kandung mereka mulai bersikap memusuhi. Mereka kadang cemburu yang tidak-tidak akan kasih sayang ayahnya pada ibu baru mereka itu. Air susu dibalas air tuba. Kasih sayang Iis dibalas dengan cercaan, makian, dan hinaan anak-anak tirinya itu.
            Iis memang divonis tidak akan punya anak oleh dokter. Sebabnya, ada kelainan pada dinding rahimnya sehingga tidak memungkinkan janin dapat bertahan hidup disana. Hal itu sangat membuatnya sedih, juga Agus. Namun, Rita dan Doni yang bersekongkol itu menganggap itu sebagai kabar yang sangat baik. Mereka berfikir bahwa mereka tidak aka nada pesaing yang lain atas kasih sayang ayahnya, juga warisannya. Bahkan mereka sampai tega mengolok-olok Iis dengan istilah yang sangat biadab yakni ‘Si Perempuan Mandul’.
            Rita dan Doni, kini dua-duanya sudah menikah namun keduanya pun belum dikaruniai anak. Kehidupan mereka dan keluarganya glamour. Padahal mereka tidak bekerja, begitupun isteri Doni dan suaminya Rita, keduanya pengangguran. Namun pekerjaan mereka setiap hari hura-hura dan jalan-jalan. Mereka semua tinggal di rumah besar milik ayahnya itu, ya rumah yang juga ditinggali oleh Iis. Harta yang digunakan untuk hura-hura pun adalah harta ayahnya.
            Mereka berempat sama jahatnya. Tak jarang mereka memperlakukan Iis seperti pembantu, bahkan seperti binatang. Iis harus menyelesaikan semua urusan rumah tangga. Ia pun ditempatkan di kamar pembantu yang sudah mereka usir. Itulah cara mereka untuk menjadikan Iis mengerjakan pekerjaan pembantu-pembantu itu. Iis sendiri menerima dengan ikhlas dan sabar. Ia anggap ini adalah pemenuhan janjinya pada sahabatnya, Sa’adah.
            Tentang anak-anak yang begitu sifatnya itu, Iis tidak sepenuhnya menyalahkan mereka. Ia bahkan mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa mendidik mereka sepeninggal ibunya. Padahal dari mulai ia menikah dengan Agus, ia sudah terbiasa mengajak mereka mengaji sehabis magrib dan mengajarkan pendidikan moral pada mereka. Tapi mereka hanya mau melakukannya kalau ayahnya sedang ada di rumah saja. Sedangkan ketika ayahnya bertugas, mereka membantahnya dengan keras bahkan dengan caci maki dan hinaan pada Iis.
            Kadang ia merasakan sesal dalam dadanya karena dulu menyanggupi permintaan kawannya, Sa’adah. Ia tidak tahu akan berujung pahit seperti ini. Namun ia berfikir lagi bahwa mungkin dengan cara begini rupa Allah akan memuliakannya di akhirat kelak. Cobaan demi cobaan yang ia harus terima, ia hanya cukup menjawabnya dengan sabar, ikhlas, serta ucapan “Innalillahi wainna ilaihi rajiun…”.
**
            Malam semakin larut. Ia masih menanti kedua anak tirinya beserta suami dan isteri mereka yang sedang pergi keluar rumah dari tadi siang. Sudah larut bahkan hampir pagi begini mereka belum pulang juga. Banyak tetangga yang bilang mereka sering pergi ke club malam di kota. Entah benar entah tidak kabar itu. Tapi ia menepis kabar itu seraya berdoa “Yaa Allah, semoga Engkau selalu melindungi anak-anak hamba dari bujuk dan rayu syaitan”.
            Yang ditunggu masih belum pada pulang. Sang ibu masih belum bisa memejamkan matanya. Sejenak ia merasakan hal yang aneh, firasat buruk. “Ada apa dengan mereka. Semoga Allah melindungi mereka”, desisnya. Lalu ia melangkah menuju kamar mandi, mengambil air wudhu, lantas melaksanakan shalat tahajud dan witir, semuanya sebelas rakaat. Selesai shalat ia berdoa, “Rabbana hamblana min azwazina wadzuriyatina qurrotta ‘ayunim waja’alna lil muttaqina imaman… Ya Allah, ampunkanlah hamba yang tidak bisa mendidik anak-anak hamba. Berikanlah taubat kepada mereka sebelum mereka meninggal dunia. Cukupkanlah bagi mereka kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadikanlah mereka anak-anak yang berbakti pada orangtuanya. Aamiin…”.
            “Kringgggg…kringgggg…”, telfon berbunyi. Ia yang masih tertegun di atas sajadah terhentak kaget.
“Siapa yang nelfon malam-malam begini? Apa anak-anak?”, lirihnya. Lantas ia bangkit menuju pesawat telefon.
“Halo, asslamu’alaikum. Dengan siapa ini?”
“Halo, wa’laikumussalam, benar ini rumahnya Bapak Agus Raindra Gunawan?”, orang di ujung telefon sana berbalik bertanya. Dari suaranya ia laki-laki.
“Iya, Pak, saya isterinya. Anda siapa dan ada apa?”, Tanya Iis lagi.
“Maaf mengganggu malam-malam Bu, kami dari kepolisian. Anak-anak ibu mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat kami temukan, kondisi mereka semua dalam keadaan mabuk. Mereka meninggal di tempat kejadian. Jenazah mereka bisa diambil segera setelah keperluan penyelidikan di RS. Bhayangkara”, terang Pak Polisi panjang lebar.
“Innalillahi wainna’ilaihi rajiun… Apakah Anda tidak keliru Pak? Tidak mungkin!”, ratapnya lemah. Hatinya remuk. Tulang rusuknya seperti dicabuti dari tulang belakangnya. Bagaimanapun jahatnya mereka, ia tetap mencintai mereka layaknya anak sendiri. Setelah Pak Polisi meyakinkan, ia menutup telfonnya.
Dalam sisa-sisa kekuatan, ia bangkit dan segera menuju Rs.Bhayangkara dengan bantuan tetangganya. Empat jenazah berbujur kaku masih bersimbah darah. Sang Ibu menangis bersedu sedan. Dalam haru birunya ia juga bingung  bagaima  menyampaikan tanggung jawabnya pada suaminya yang ia tak tahu dimana sekarang.
***
 Sukabumi, 15 Juli 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar