Oleh: Rai
Yuk
Malam
sudah semakin larut. Adzan Isya sudah berkumandang sekitar tiga jam yang lalu.
Kebanyakan penduduk pun sudah masuk ke kamarnya masing-masing untuk
beristirahat. Mungkin mereka cukup lelah. Maklum saja, kebanyakan pencaharian
yang mereka tekuni adalah petani. Kalau tidak bertani, ya berdagang di pasar.
Pekerjaan seperti itu menguras tenaga yang sangat luar biasa. Bayangkan saja,
seorang petani harus mengolah tanah garapannya mulai dari pagi datang sampai
petang menjelang. Seorang pedagang sayuran di pasar misalnya, harus sudah
memulai aktivitasnya sebelum subuh menjelang.
Malam
itu kurang begitu cerah. Langit berawan tanpa hamparan bintang-bintang yang
biasanya berarak riang. Dewi Bulan pun nampaknya malu-malu untuk keluar dari
peraduannya. Yang ada hanya suara jangkrik yang bersahutan dengan suara kodok
di sawah sekitar kampung. Dunia dan seisinya nampak muram. Bagi penduduk yang
panennya di musim lalu gagal, hatinya lebih muram lagi. Musim hujan dan kemarau
sekarang ini sudah tidak bisa diprediksi. Akibatnya hama penyakit semakin
banyak, pun tanaman tidak bisa tumbuh sempurna jika cuacanya selalu berubah
drastis setiap harinya. Kata para ilmuwan, ini adalah salah satu akibat dari
pemanasan global.
Mendungnya
alam kampung Cimanuk menggambarkan pula keadaan hati seseorang. Ia adalah
seorang perempuan paruh baya yang berparas cukup rupawan dalam balutan
kerudungnya yang lebar. Begitulah, di usianya yang sudah tidak muda lagi,
garis-garis kecantikannya masih terlihat. Kendati demikian, garis kecantikan
itu terbaur dengan garis-garis kesedihan, ketakutan, kegamangan, dan bahkan
kesengsaraan. Sudah lama ia menghabiskan hari-harinya dengan tangis meratap,
memohon petunjuk kepada Allah Swt. Hari-harinya dipenuhi dengan kesedihan yang
menyiksa jiwanya. Tak jarang, siksa badan harus dengan terpaksa ia terima.
Ma
Iis, begitulah ia akrab disapa. Dua puluh tahun yang lalu ia memutuskan untuk
menerima pinangan seorang duda beranak dua. Dialah Agus, seorang nakhoda kapal
pesiar, profesi yang berbeda dengan kebanyakan penduduk kampung Cimanuk
tersebut. Saat ia menikahi Iis, ia telah ditinggal oleh isterinya Sa’adah
karena penyakit kanker. Saat itu anak-anaknya pun sudah berusia belasan tahun,
sehingga mengetahui bahwa ibunya meninggalkan mereka. Karena merasa tidak ada
yang mengurus anaknya yang belum cukup dewasa itu, terlebih ia yang sering
bepergian untuk waktu yang tak sebentar, Agus memutuskan untuk segera menikah
lagi.
Ia
menikahi Iis hanya beberapa bulan setelah Sa’adah meninggal dunia. Ia memilih
Iis karena pilihan almarhumah isterinya juga. Iis adalah kawan Sa’adah ketika
sekolah dan mengaji dahulu. Kecantikan mereka berdua pun sangat seimbang. Hanya
saja Sa’adah berkulit lebih putih daripada Iis. Dengan melakukan istikharah
beberapa kali pun Iis menerima pinangan Agus terlebih ia ingat perkataan
Sa’adah ketika ia tergulai lemas dalam sakitnya, “Is, jika aku meninggal kelak,
aku ingin engkau yang menjadi ibu buat anak-anakku. Aku sudah terlanjur percaya
padamu. Cintamu pada anak-anakku akan sama seperti cintaku pada mereka. Aku
yakin, walaupun nanti kau ibu tiri mereka, tak akan pernah kau menyakiti
mereka. Berjanjilah padaku Is, kau akan menjaga mereka!”, pintanya sambil
berlinang air mata. Iis pun sama berlinangnya. Namun, ia pula menyungging
senyum untuk memberi sedikit ketegaran pada sahabatnya yang tergolek lemas di
atas matras rumah sakit itu.
Setelah
Iis dinikahi Agus dan menjadi ibu tiri untuk Rita dan Doni, ia berusaha menyayangi suami dan anak-anaknya
dengan baik. Ia tidak menganggap anak-anak itu sebagai anak tiri. Ia anggap
mereka layaknya anak sendiri. Agus menjadi kagum dibuatnya sehingga ia tidak
khawatir lagi meninggalkan keluarganya untuk bekerja berkeliling dunia sebagai
nakhoda kapal.
Hal
yang terjadi justru sebaliknya. Sikap anak-anaknya yang tahu bahwa Iis bukanlah
ibu kandung mereka mulai bersikap memusuhi. Mereka kadang cemburu yang
tidak-tidak akan kasih sayang ayahnya pada ibu baru mereka itu. Air susu
dibalas air tuba. Kasih sayang Iis dibalas dengan cercaan, makian, dan hinaan
anak-anak tirinya itu.
Iis
memang divonis tidak akan punya anak oleh dokter. Sebabnya, ada kelainan pada
dinding rahimnya sehingga tidak memungkinkan janin dapat bertahan hidup disana.
Hal itu sangat membuatnya sedih, juga Agus. Namun, Rita dan Doni yang
bersekongkol itu menganggap itu sebagai kabar yang sangat baik. Mereka berfikir
bahwa mereka tidak aka nada pesaing yang lain atas kasih sayang ayahnya, juga
warisannya. Bahkan mereka sampai tega mengolok-olok Iis dengan istilah yang
sangat biadab yakni ‘Si Perempuan Mandul’.
Rita
dan Doni, kini dua-duanya sudah menikah namun keduanya pun belum dikaruniai
anak. Kehidupan mereka dan keluarganya glamour. Padahal mereka tidak bekerja,
begitupun isteri Doni dan suaminya Rita, keduanya pengangguran. Namun pekerjaan
mereka setiap hari hura-hura dan jalan-jalan. Mereka semua tinggal di rumah
besar milik ayahnya itu, ya rumah yang juga ditinggali oleh Iis. Harta yang
digunakan untuk hura-hura pun adalah harta ayahnya.
Mereka
berempat sama jahatnya. Tak jarang mereka memperlakukan Iis seperti pembantu,
bahkan seperti binatang. Iis harus menyelesaikan semua urusan rumah tangga. Ia
pun ditempatkan di kamar pembantu yang sudah mereka usir. Itulah cara mereka
untuk menjadikan Iis mengerjakan pekerjaan pembantu-pembantu itu. Iis sendiri
menerima dengan ikhlas dan sabar. Ia anggap ini adalah pemenuhan janjinya pada
sahabatnya, Sa’adah.
Tentang
anak-anak yang begitu sifatnya itu, Iis tidak sepenuhnya menyalahkan mereka. Ia
bahkan mengutuk dirinya sendiri karena tidak bisa mendidik mereka sepeninggal
ibunya. Padahal dari mulai ia menikah dengan Agus, ia sudah terbiasa mengajak
mereka mengaji sehabis magrib dan mengajarkan pendidikan moral pada mereka.
Tapi mereka hanya mau melakukannya kalau ayahnya sedang ada di rumah saja.
Sedangkan ketika ayahnya bertugas, mereka membantahnya dengan keras bahkan
dengan caci maki dan hinaan pada Iis.
Kadang
ia merasakan sesal dalam dadanya karena dulu menyanggupi permintaan kawannya,
Sa’adah. Ia tidak tahu akan berujung pahit seperti ini. Namun ia berfikir lagi
bahwa mungkin dengan cara begini rupa Allah akan memuliakannya di akhirat
kelak. Cobaan demi cobaan yang ia harus terima, ia hanya cukup menjawabnya
dengan sabar, ikhlas, serta ucapan “Innalillahi wainna ilaihi rajiun…”.
**
Malam
semakin larut. Ia masih menanti kedua anak tirinya beserta suami dan isteri
mereka yang sedang pergi keluar rumah dari tadi siang. Sudah larut bahkan
hampir pagi begini mereka belum pulang juga. Banyak tetangga yang bilang mereka
sering pergi ke club malam di kota. Entah benar entah tidak kabar itu. Tapi ia
menepis kabar itu seraya berdoa “Yaa Allah, semoga Engkau selalu melindungi
anak-anak hamba dari bujuk dan rayu syaitan”.
Yang
ditunggu masih belum pada pulang. Sang ibu masih belum bisa memejamkan matanya.
Sejenak ia merasakan hal yang aneh, firasat buruk. “Ada apa dengan mereka.
Semoga Allah melindungi mereka”, desisnya. Lalu ia melangkah menuju kamar
mandi, mengambil air wudhu, lantas melaksanakan shalat tahajud dan witir, semuanya
sebelas rakaat. Selesai shalat ia berdoa, “Rabbana hamblana min azwazina
wadzuriyatina qurrotta ‘ayunim waja’alna lil muttaqina imaman… Ya Allah,
ampunkanlah hamba yang tidak bisa mendidik anak-anak hamba. Berikanlah taubat
kepada mereka sebelum mereka meninggal dunia. Cukupkanlah bagi mereka
kebahagiaan dunia dan akhirat. Jadikanlah mereka anak-anak yang berbakti pada
orangtuanya. Aamiin…”.
“Kringgggg…kringgggg…”,
telfon berbunyi. Ia yang masih tertegun di atas sajadah terhentak kaget.
“Siapa yang nelfon malam-malam begini?
Apa anak-anak?”, lirihnya. Lantas ia bangkit menuju pesawat telefon.
“Halo, asslamu’alaikum. Dengan siapa
ini?”
“Halo, wa’laikumussalam, benar ini
rumahnya Bapak Agus Raindra Gunawan?”, orang di ujung telefon sana berbalik
bertanya. Dari suaranya ia laki-laki.
“Iya, Pak, saya isterinya. Anda siapa
dan ada apa?”, Tanya Iis lagi.
“Maaf mengganggu malam-malam Bu, kami
dari kepolisian. Anak-anak ibu mengalami kecelakaan lalu lintas. Saat kami
temukan, kondisi mereka semua dalam keadaan mabuk. Mereka meninggal di tempat
kejadian. Jenazah mereka bisa diambil segera setelah keperluan penyelidikan di
RS. Bhayangkara”, terang Pak Polisi panjang lebar.
“Innalillahi wainna’ilaihi rajiun…
Apakah Anda tidak keliru Pak? Tidak mungkin!”, ratapnya lemah. Hatinya remuk.
Tulang rusuknya seperti dicabuti dari tulang belakangnya. Bagaimanapun jahatnya
mereka, ia tetap mencintai mereka layaknya anak sendiri. Setelah Pak Polisi
meyakinkan, ia menutup telfonnya.
Dalam sisa-sisa kekuatan, ia bangkit
dan segera menuju Rs.Bhayangkara dengan bantuan tetangganya. Empat jenazah
berbujur kaku masih bersimbah darah. Sang Ibu menangis bersedu sedan. Dalam
haru birunya ia juga bingung bagaima menyampaikan tanggung jawabnya pada suaminya
yang ia tak tahu dimana sekarang.
***
Sukabumi, 15 Juli 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar