Sabtu, 26 September 2009

Mutiara-Mutiara Yang Hilang

A. Cahyana



Sehabis shalat Isya adalah waktu luang yang sangat panjang. Bahkan karena panjangnya waktu untuk shalat Isya itu, seringkali kita lalai untuk melaksanakan salah satu kewajiban dari Allah SWT. Perintah yang seyogyanya kita laksanakan di awal waktu agar tercipta suatu nuansa khusuk dalam pertemuan dengan-Nya, seringkali kita sulap menjadi suatu pertemuan yang lalai serta tergesa. Sungguh, salah satu kelemahan manusia dalam mengendalikan nafsu pemberian Allah Yang Esa. Padahal Allah telah memberitahukan dan firmannya yang agung bahwa neraka Well telah diperuntukkan bagi orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Naudzubillah….

Sehabis shalat Isya adalah waktu luang yang indah. Menikmati suasana istirahat setelah menunaikan aktivitas seharian sambil menikmati udara malam yang segar di lingkungan kami yang dekat dengan pesawahan. Menikmati dekorasi alam raya yang indah hasil karya luar biasa dari Allah Yang Maha Kuasa. Sungguh indah alam raya karya-Mu. Sungguh luar biasa Engkau mengatur tata letak bintang-bintang. Sungguh mengagumkan sinar lampu rembulan yang Engkau pancangkan di tiang langit yang tak terlihat. Gaib dan ajaib. Nyata tiangnya langit adalah doa orang-orang yang saleh dan mensyukuri nikmatmu ini.

Kami sekeluarga biasa menikmati moment indah yang diberikan Yang Maha Kuasa setiap hari dan setiap malam itu dengan bercengkerama, berbagi berbagai ilmu Allah, memupuk kasih sayang dengan sesama anggota keluarga. Sungguh terasa amat begitu indah. Ayah, seringkali memberi kami wejangan disela-sela cengkerama. Ibu, tak lelah berkata petuah untuk bekal kami. Ya, kami, aku dan adikku, Rina. Tak bisa diungkapkan dalam untaian kata sepanjang apapun, seluas apapun kertas tempatnya ditulis, sebanyak apapun tinta penanya. Karunia Allah Yang Akbar. Terlalu indah. Sungguh. Terlalu indah petuah kalian ayah, ibu. Terlalu hina kami apabila lalai terhadap apa yang kalian katakan. Sungguh.

Di sela-sela cengkrama keluarga seperti itu, ayah pun tak pernah melarang kami menonton televisi. Ya, ayah memang tidak terlalu mengekang kegiatan anak-anaknya. Semua anaknya diberi kebebasan. Itu sebabnya kami tumbuh menjadi anak yang mandiri dan mudah bergaul. “Tapi ingat, harus bertanggung jawab akan diri sendiri dan masa depan. Kalian boleh menonton televisi asalkan menonton program yang bermanfaat. Belajarlah yang baik, jangan malas! Semua bukan untuk ayah atau pun untuk ibu, semua untuk kalian. Sekarang adalah saat kalian menanam. Esok lusa kalian akan memetik hasilnya. Kalian mengerti bukan akan apa yang ayah katakan?”, begitu ayah selalu berkata. Kami pun mengiyakan. Bukan hanya di mulut kamu berucap iya, melainkan juga diresapi dalam hati sanubari, kami tanamkan dalam-dalam, kami ikatkan dengan tali iman dan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT.

Tapi semua itu dulu, sebelum hari yang menyedihkan datang menjenguk dan memberi kado kabar buruk. Dua tahun yang lalu, sang pemberi nasihat, sang pemberi pepatah dan petuah, pergi. Pergi. Untuk selamanya mereka pergi. Tanpa pamit, walaupun sebenarnya iya. Tapi mereka pamit bukan untuk pergi ke tempat yang jauh seperti itu hingga tak dapat datang kembali ke dalam alam fana ini. Mereka pergi, dengan iringan air mata adikku, dengan lambayan telapak tangan anak lelakinya, aku.

Mereka memang pergi ke rumah Allah. Mereka memang pergi ke tempat-Nya, menunaikan perintah-Nya, menepati jejak rasul-Nya. Mereka pergi di jalan-Nya. Ibadah haji yang mereka cita-citakan semenjak lama, terlaksana walau harus mereka tebus dengan nyawa.

Ya, Dia tak mengijinkan mereka pulang lagi. Dia ingin ayah dan ibu tetap di sana, di rumah-Nya yang permai tak berbanding, tak tertanding, tak berdinding, akibat luasnya, dan juga yang paling nyata adalah tak berbising seperti dunia fana yang kian padat ini.

Malam ini, dua tahun telah berlalu. Ayah maupun ibu tak pernah kembali ke sini. Jenazahnya memang dipulangkan dari Saudi Arabia ke Indonesia dan sampai di kampung kami saat itu juga, seminggu setelah dikabarkan wafat karena tak tahan dengan kondisi cuaca di Makkah. Tapi, walaupun mereka pulang, mereka membisu. Tak ada lagi petuah mereka. Tak ada pula cerita mengenai indahnya rumah Allah yang tersohor keagungannya itu. Mereka membisu dalam rengkuhan kain putih yang bersinar-sinar dan mewangi enak betul.

Waktu itu seperti yang kuingat, dan tak mungkin aku lupa sepanjang hidup, Rina menangis bahkan menjerit tak henti-hentinya. Apalagi ketika ia melihat tubuh kedua orang yang amat kami cintai itu terbujur kaku dalam peti-peti kayu. Kumengerti. Untuk seorang siswi SMP seperti dia, kenyataan hidup yang berat ini akan sulit diterima. Sebetulnya, begitu pula aku. Aku pun tak kalah sedihnya dengan Rina. Hanya saja aku mencoba tegar akan cobaan yang tengah Dia berikan.

Rina terus menjerit kala itu. Tak seorang pun dapat menghentikan tangis dan jeritnya. Aku takut dia khalaf hingga syetan bisa masuk ke tubuhnya dan memanfaatkan situasi yang menguntungkan untuk syetan terlaknat itu. Kubisikan kalimat istigfar padanya seraya berkata “Rin, mengucaplah adikku! Astagfirullahaladzim…..Innalilaahi wainna ilaihi raajiun… Allah sangat menyayangi kedua orang tua kita, Rin. Saking sayangnya Dia pada mereka, ayah dan ibu dipanggil ketika menunaikan perintah-Nya, mencari ridho-Nya. Dia telah memanggil ayah dan ibu ke rumah-Nya dan menetapkan kebahagiaan untuk mereka selamanya di sana, di syurganya. Dia tidak ingin ayah dan ibu jauh lagi dari-Nya. Mereka orang-orang yang disayangi Allah, Adikku. Percayalah, haji mereka adalah mabrur di mata-Nya karena sesungguhnya niat mereka untuk berhaji adalah sangat mantap dan ikhlas. Dan sesungguhnya semua perbuatan adalah sesuai dengan niatnya. Kita memang telah diijinkan untuk memiliki orang tua sebaik mereka, Dik. Tapi tak harus selamanya kita bersama di dunia, ada kalanya kita mesti berpisah. Dan inilah saatnya kita harus melepas mereka. Asalkan kita semua tetap taat pada-Nya, insya Allah kita akan dipertemukan lagi di syurga. Amin… Sudahlah jangan dipikirkan terus! Kakak takut itu akan mengganggu kesehatanmu…..”.
“Tapi mengapa ayah dan ibu tak mengajak kita berkumpul di rumah-Nya sekarang, Kak? Mengapa kita harus berpisah dulu dengan mereka baru nanti bisa bertemu lagi? Aku ingin tetap bersama mereka, dalam kebahagiaan….”, berontaknya.
“Sudahlah, cobalah untuk bersabar menunggu waktu itu….”.

Rontaannya sedikit mereda, lalu ia tertidur. Mungkin dia kelelahan. Aku sedih dan khawatir melihat wajah lugu itu. wajah lugu dihias kerudung putih yang memikat. Adikku, apakah aku bisa menjagamu tanpa ibu dan ayah?

Malam ini, tak! Tak indah. Tak damai. Tak permai. Dulu, aku menonton televisi di waktu luang di tengah kesibukan tugas-tugas kuliahku. Kini dengan televisi yang sama, dengan program yang lebih menarik, tapi tak kusuka. Aku lebih senang berbaring setelah seharian bekerja sebagai buruh rendahan pabrik. Menjadi buruh rendahan memang capek, pergi pagi dan pulang malam, bahkan terkadang sampai larut. Ya, ijazah SMA untuk zaman secanggih ini hanya pantas untuk menjadi kuli rendahan. Kuliahku terhenti di tengah jalan karena aku harus menggantikan ayah dan ibu mencari nafkah, walau hanya untuk aku dan adikku, untuk makan dan keperluan sehari-hari lainnya, dan untuk biaya sekolah dia. Semua aku kerjakan dengan ikhlas. Kurelakan kuliahku berantakan. Habis bagaimana? Sekarang yang paling utama adalah dia, Rina. Adikku tersayang, satu-satunya mutiara yang kupunya saat ini. Mutiara yang hendak aku jaga, aku rawat, dan aku bimbing di tengah dingin dan kesepian hatinya seperti janjiku pada ayah dan ibu ketika mereka hendak pergi.

Namun aku bosan di perbaringan. Setelah shalat Isya, aku keluar menuju ruang keluarga. Hendak mengenang masa yang indah namun tak bisa. Terlalu indah tetapi juga terlalu menyakitkan untuk dikenang. Di sana nampak ibu dan ayah tersenyum kepadaku. Di depan mereka Rina sedang menonton acara kesukaannya sambil memegang buku biologi, pelajaran kesukaannya. Sejenak aku terpikat, tersenyum. Sayang, semua hanya dalah khayalku.

Di sana hanya ada Rina, tanpa ayah, tanpa ibu. Ia sendiri dalam kesepian harinya, dalam kesunyian hatinya. Walaupun ia menyembunyikan rasa sepinya itu di depanku dengan senyuman yang dipaksakan, aku tahu ia begitu merasakan. Sedih. Sepi. Aku sendiri tahu, karena aku juga sama. Aku tahu sejak dua tahun kematian ayah dan ibu, sejak kami yatim piatu, ia terus merasakan derita dalam jiwanya yang lemah tak berdaya.

Kuperhatikan ia yang tengah asyik melamun membelakangiku. Kudekati ia perlahan seolah tak ingin merusak lamunannya itu. langkah demi langkah aku habiskan. Tanganku kini terangkat dan hendak aku letakkan di kepalanya yang berkerudung indah itu. Tapi niatku urung sejenak setelah kudengar isak tangis dari sosok yang sangat aku sayangi itu. Aku tertahan namun kurang sigap menangani keadaan. Alhasil ia terganggu dan segera tahu bahwa aku di belakangnya. Dengan sigap ia mengusap air matanya dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya dengan secepat kilat memasukan lembaran kertas ke dalam saku gamisnya.

“Na, kenapa kamu menangis? Cerita sama kakak ya! Siapa tahu kakak bisa bantu…”, sapaku seolah tak berpura-pura tahu apa-apa. Padahal aku tahu dia memasukkan selembar kertas ke dalam saku gamisnya. Dan pasti itu sumber masalahnya. Apakah itu surat cinta dan ia diputuskan oleh pacarnya melalui surat itu? Apakah ia main pacar-pacaran seperti kaum muda lainnya? Tidak, adikku tak seperti itu. Lalu kertas apa itu?
“Ee…i-itu ta-tak ada apa-apa kok, Kak. Tenang saja lagi. Itu tadi cuma kertas ulangan matematika saja kok, nilainya jelek, Na malu kasih tahu ke Kakak. Tapi Na janji akan perbaiki kok, eh kalau ada umur. Na malu banget sama Kakak yang sudah banting tulang buat biayain biaya sekolah Na kalau nilainya jelek, ya kan? Jadi tadi Na nangis aja….”, jawabnya. Dari sinar matanya dan cara ia bicara aku tahu ia berbohong dan itu adalah pertama kali selama dia menjadi adikku. Artinya seumur hidupnya dia aku anggap berbohong. Ya, kali ini. Walaupun belum tentu prasangkaku itu benar adanya, atau hanya feeling saja.
“Kamu nggak bohong kan?”, selidikku
“Kapan, Na bohong sama Kakak?”, jawabnya ragu.
“Bisa saja kan, sekarang yang pertama kali?he he . Tapi kakak harap tidak, adikku tak akan begitu bukan?”
“Siap bos!”, jawabnya sembari menyembunyikan kesepiannya itu dibalik keceriaan yang kutahu, dibuat-buat!

Aku menyungging senyum, yang juga dibuat-buat. Lalu aku usap kepalanya dan melaju ke teras rumah. Di dalam hatiku tetap bertanya-tanya tentang kebenaran perkataannya. Aku menangkap gelagat tak baik. Sungguh, adikku, jika engkau berbohong, mengapa mesti. Ah, tapi tak mungkin kau berdusta. Kertas, ya kertas itu semoga bukan pertanda hidup dan mati!

Langit malam itu redup. Bintang tak lagi berkelap-kelip bersuka ria dengan teman-temannya seperti malam-malam yang lain. Dewi bulan seolah sedih dalam peraduannya dan menangis tersedu di balik tebalnya awan hitam. Air matanya seolah turun ke bumi berupa rintikkan hujan yang semakin lam semakin menderas. Angin berhembus dingin menusuk seluruh tubuh hingga ke tulang. Daun-daun berguguran mengiringi hilangnya satu lagi mutiara hatiku. Mereka bersedih, ikut berbela sungkawa atas perginya adik tersayang.

Di pekuburan umum, beberapa ratus meter dari pesawahan, dari rumah peninggalan orang tuaku, jenazah Rina terbaring. Ia di sana tengah berkumpul kembali, bersama ayah, bersama ibu seperti apa yang dia selalu inginkan. Mungkin juga ia tengah bercengkrama dan mendengarkan petuah dan pepatah ayah dan ibu.

“Ayah, Ibu, nyatalah anak sulungmu ini tidak dapat menjaga amanah kalian dengan baik. Abi terlalu sibuk mencari bekal dunia untuk Rina sedangkan batinnya serta hari-harinya yang penat dan kesepian tidak Abi ketahui. Hingga Abi tidak tahu bahwa Rina mengidap penyakit mematikan. Ayah, Ibu, kini Rina bukan lagi tanggung jawab Abi. Dia sudah berada bersama kalian di alam sana seperti keinginannya. Semoga kalian bertiga bahagia. Kalian pasti sedang bercengkerama sekarang. Ayah dan ibu mungkin sedang berpetuah pada Rina, aku juga rindu hal itu Ayah, Ibu. Kalian adalah mutiara-mutiara hatiku. Namun, sekarang kalian adalah mutiara-mutiara yang hilang. Aku harap suatu saat ketika aku kembali kepada-Nya nanti, aku akan menemukan kembali mutiara-mutiaraku di sana, di antara rang-orang shaleh lainnya, di syurga-Nya yang agung. Ya Allah, kumpulkanlah aku dan keluargaku di syurga-Mu kelak. Amin….”

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar