Minggu, 27 September 2009

Bidadari di Ujung Malam

Oleh : Asep Cahyana


Malam-malam terakhir ini selalu melelahkan. Malam-malam terakhir ini selalu membuat badan tak enak, tak nyaman, dan tak sehat kurasa. Malam-malam ini adalah ujian terberat bagiku selama bekerja di tempat yang sekarang. Hampir satu tahun aku bekerja di perusahaan ini, namun aku baru kali ini menghadapi ujian berat seperti yang sedang tengah kurasakan. Hal ini memang banyak faktornya, di antaranya keadaan perekonomian global yang sedang tidak menentu yang mengakibatkan kami harus mengatur ulang planning-planning dan tender-tender yang telah kami tentukan.
Malam-malam terakhir ini adalah pengalaman pertamaku lembur terus menerus. Sudah hampir seminggu, aku harus lembur di kantor mengingat banyak sekali hal yang berhubungan dengan masalah karyawan yang harus segera aku selesaikan penanganannya. Hal ini memaksaku untuk lebih sering pulang terlambat ke rumah.
Ya, rumahku sendiri di kota ini. Aku bersyukur, walaupun kecil namun itu bukanlah kontrakan. Padahal bos menyarankan kepadaku agar aku tinggal di apartemen saja. Kebetulan ada apartemen yang lokasinya dekat dengan kantor. Tapi aku menolak. Aku lebih nyaman tinggal di rumahku sendiri, yang kecil tapi sangat indah. Tinggal tanpa istri, tanpa anak, karena memang aku belum beristri.
Rumah ini, walaupun hanya aku sendiri yang mendiaminya, tetap kupertahankan. Aku tak tahu, mengapa aku harus mempertahankannya. Padahal dulu, aku tak berniat untuk membelinya. Dulu, ketika aku lewat di jalan ini, tengah terjadi suatu hal yang amat mengiris hati. Banyak orang berkumpul di depan rumah itu. Kebanyakan dari mereka menandakan raut muka bersedih hati. Aku bertanya dalam hati, ada apa gerangan dengan mereka. Kala itu aku segera turun dari mobil. Aku menghampiri, khawatir terjadi sesuatu dan aku sekiranya bisa menolong.
Ternyata ada salah seorang penduduk di sana sedang sakit. Katanya sakitnya parah dan harus segera dibawa ke dokter. Tapi keluarga yang sakit tidak bersedia untuk membawanya ke dokter dengan alasan tidak adanya biaya.
Aku membujuknya agar mau membawa si sakit ke dokter. Tapi, mereka tetap bersikeras tidak mau membawanya ke dokter apalagi ke rumah sakit karena biayanya akan terlalu mahal dan mereka tak punya kemampuan untuk membayarnya. Namun, setelah aku berkata bahwa aku yang akan membiayai pengobatan laki-laki tua yang hampir sekarat karena kesakitan itu, akhirnya keluarganya mengerti dan bersedia membawanya ke rumah sakit.
Beberapa bulan dari saat kejadian itu, aku tak bertemu lagi dengan mereka. Biaya pengobatan si Bapak aku yang tanggung tanpa memberi tahu kepada mereka siapa aku sebenarnya. Tapi, menurut salah seorang dokter di rumah sakit di mana si Bapak dirawat, yang juga merupakan salah seorang temanku, si Bapak sudah kunjung membaik kondisinya. Kutekankan pada temanku itu agar jangan sampai mengatakan kepada keluarga itu siapa yang membayar semua biaya pengobatan itu. Ia berjanji tidak akan mengatakannya.
Namun tak lama kemudian, temanku datang ke kantorku. Tak seperti biasanya ia datang tanpa menelfon terlebih dahulu. Ia memberi kabar kurang baik. Si Bapak telah meninggal beberapa jam sebelumnya. Aku terperangah dan bertanya kenapa bisa begitu. Padahal aku sudah menitipkan kepadanya agar merawat bapak itu dengan baik, dan aku yang membiayainya. Dia bilang bapak itu tiba-tiba kambuh dan pihak keluarga terlambat membawanya ke rumah sakit hingga dia dan dokter yang lain tidak bisa menolongnnya seperti apa yang aku inginkan.
Pada saat bapak itu meninggal, kuputuskan untuk ikut mengantarkannya ke pemakaman. Kutinggalkan dahulu semua pekerjaan di kantor. Aku ingin menyempurnakan baktiku pada orang kecil itu.
Pemakaman si mayit telah selesai, aku hendak pulang. Kulihat seorang wanita berkerudung lebar-lebar berjongkok di samping pusara yang baru itu. Kulihat kenyerian yang mendalam di matanya. Kutatap ia matang-matang dan kuperhatikan setiap gerak-geriknya.
"Bapak, mengapa Bapak begitu cepat pergi….. Aku sendirian sekarang, benar-benar sendirian, tanpa
ayah, tanpa ibu dan tanpa sanak saudara. Harus kepada siapa aku mengadu di dunia ini, Bapak? Ya Allah mengapa Kau terlalu cepat memanggil mereka?", rintihnya sembari mengalirkan dua buah sungai bening di pipinya.
Kudekati pusara tempat wanita itu meratap. Ku berdiri di belakangnya seraya berucap, "Mbak, sudah janganlah ditangisi terus. Beliau sudah bahagia di alam sana. Jika Anda menangisinya terus, bukan tidak mungkin almarhum malah akan menjadi bersedih. Yakinlah, almarhum sudah berada di sisi-Nya!".
Ia tergugah dari lamunannya dan melirik seraya berkata," Siapa Anda?"
"Saya bukan siapa-siapa, Mbak. Saya hanya tidak ingin melihat Mbak bersedih terus-menerus. Kematian itu sudah barang tentu akan tiba pada setiap insan bukan? Maaf bukannya saya menasihati".
"Tidak apa-apa, Anda benar. Saya memang tak seharusnya bersedih begini. Saya harus yakin bahwa bapak saya sudah ada di sisi Allah Yang Mempunyainya. Tapi, saya masih khawatir terhadap satu hal".
"Apa yang Anda risaukan?"
"Ketika beliau sakit, ada seseorang yang membiayainya berobat hingga beliau sempat membaik untuk beberapa bulan. Namun, saya tidak tahu orang itu, Tuan. Ketika dia datang ke rumah, saya masih di tempat pekerjaan. Sampai saat ini saya belum tahu siapa orangnya. Dokter juga tidak memberitahukan siapa dia. Saya berhutang atas nama bapak saya padanya. Jika Allah berkenan mempertemukan, saya akan berusaha sekuat tenaga membayar hutang itu. Walaupun saya tahu, biaya pengobatan di rumah sakit yang mewah di mana bapak saya dirawat itu tak murah, saya akan membayarnya dengan bekerja padanya walaupun sampai seumur hidup saya".
Aku terpana dengan apa yang dikatakan oleh si wanita cantik berkerudung lebar itu. Sungguh mulia hatinya. Sungguh meyakinkan baktinya pada orang tua. Aku jadi terpana. Aku menjadi terpesona. Aku menyimpan harapan lain padanya. Ah, apakah itu? Dia telah meluluhkan hati ini dengan sekejap, dengan satu kalimat yang membuat hati menjadi pucat pasi. Inilah wanita yang aku cari untuk menjadi seorang istri, untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Aku malah terdiam, tak bergerak.
Namun begitu aku tak berani berjujur kata. Walaupun bisa kumanfaatkan untuk memilikinya, aku tetap memendam rahasia bahwa akulah orang yang dimaksudnya itu. Padahal aku yakin ia tak akan menolak untuk kumiliki jika ia tahu bahwa akulah yang menolong ayahnya itu. Tapi aku mau memanfaatkan kesempatan itu demi maksud pribadi. Niatku dari awal adalah tulus untuk membantu si bapak itu. Kalau saat ini kumiliki anak gadisnya karena ia merasa berhutang itu sama saja dengan membeli anak gadis orang. Apa bedanya aku dengan petinggi Jahiliyah di zaman dahulu. Buat apa aku mengaku ummat Muhammad jika lakukan hal itu.
**
Sejak saat itu, pikiranku sering melayang. Ketika aku berada di kantor maka pikiranku melayang-layang entah ke mana. Yang dicarinya adalah wajah seorang wanita cantik nan indah karena dihiasi kerudung yang membuatnya sangat berbeda dengan kebanyakan wanita yang aku kenal. Wanita yang beberapa hari sebelumnya baru pertama kali kutemui. Ya, dia Aisyah, gadis yang beberapa hari sebelumnya meratapi kepergian bapaknya.
Aktivitas baru pikiranku itu tak hanya terjadi di kantor. Di rumah, di mobil, di mana saja aku berada, wajahnya terbayang. Dan yang membahayakan adalah selalu membuat wajah yang aku punya ini senyum-senyum sendiri. Jika bawahanku atau orang lain melihatnya, tak ayal akan menjadikan fikiran yang macam-macam. Belum lagi lebih berbahaya ketika aku menyetir mobil. Sampai pernah aku hendak didemo sekelompok supir angkot karena mobilku tak kian jalan ketika lampu hijau di traffic light sudah menyala. Itu semua karena memikirkannya.
Dalam fikiranku menari berbagai macam masalah yang seakan-akan riang melihatku pusing memikirkannya. Banyak dugaan dan prasangka yang ikut menari.
Salah satunya adalah apakah dia aman hidup sendirian. Dulu dia bilang sudah tak punya sanak saudara lagi. Hidupnya sendiri. Aku khawatir akan keselamatannya. Apa dia bisa menjaga diri?
Kedua, apakah jika aku datang menemuinya ke rumah dimana ayahnya dulu tinggal, aku akan dapat menemukannya di sana? Dan ketika aku bertemu dengannya lalu kuungkapkan maksudku untuk menjadikannya isteri, apa dia akan menerimaku? Semua bercampur menjadi sampah-sampah masalah yang berserakkan tak karuan di koridor-koridor ruang otakku.
Akhirnya kuberanikan untuk mencarinya di rumah ayahnya itu, namun tak bisa kutemukan ia. Kata seseorang yang dekat di sana rumahnya, ia sering terlihat pulang ketika senja tiba. Aku mempercayainya, dan mulai menunggu. Tapi beberapa hari aku di sana, ia tak kunjung pulang.
Suatu saat aku menginap di sebuah mushala di dekat sana. Malam telah larut, bahkan menuju pagi. Aku bangun dan mengambil air wudhu. Setelah selesai melaksanakan shalat malam aku membaringkan kembali tubuhku di ruangan mushala yang gelap tak berlampu itu. Sebuah lilin yang kupasang sudah tak berapi, hanya menyisakan sisa lilin yang mencair. Tiba-tiba kudengar seseorang melantunkan ayat Al-Qur'an dengan indahnya. Pelantunnya kukira adalah seorang perempuan. Tapi dengan kondisi gelap gulita seperti itu, malah membuat bulu kuduk ini merinding.
Pagi menjelang subuh, kukenali wajah si pembaca Al-Qur'an itu. Ketika pertama kali melirik, kukenali ia sebagai orang yang selama ini aku cari. Lalu kami berdua larut dalam indahnya percintaan dengan Yang Maha Kuasa. Kami shalat subuh berjamaah dengan aku sebagai imamnya. Dan hari-hari berikutnya, akulah yang menjadi imam dalam hidupnya. Aku beli dia dengan syahadat dan kubeli rumahnya untuk kuberikan kembali sebagai kewajiban suami atas isterinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar