Sabtu, 26 September 2009

Cerpen : Antara Aku, Murni dan Ratna (AAMR)

Asep Cahyana

Aku masih termenung di kursi ruang tamu. Kejadian yang aku alami beberapa hari ini membuatku menjadi seorang penghianat dan pembohong kelas kakap. Ya, aku sungguh bukan laki-laki yang bijak dan baik. Aku telah ingkar pada banyak orang, pada banyak wanita tepatnya. Ah, harus bagaimana aku kini dalam menghadapi itu semua? Itu bukan keinginanku. Semua aku lakukan adalah untuk menyelamatkan kepentingan yang lebih besar.
Semua berawal beberapa malam yang lalu, tepatnya sabtu malam. Seseorang mengirim pesan lewat telefon genggamku. Ternyata dia Ratna. Isinya mengatakan bahwa dia ingin mengajak aku untuk berlari pagi bersama. Aku tak kuasa menolaknya karena selain aku sendiri suka jogging, dia adalah teman sekelasku di tempat aku kuliah. Aku menerima ajakannya, dan berharap bahwa besoknya aku tak akan kesiangan dan mengecewakan dia. Kasihan sekali jika ia kukecewakan.
Ratna, gadis yang cukup menarik. Rambut lurus sebahu, kulit putih bersih, wajah merona bersinar, menggoda setiap laki-laki yang memandangnya. Sungguh akan beruntung sekali laki-laki yang memilikinya kelak. Mungkin si laki-laki itu akan menjadi laki-laki yang sangat beruntung karena mendapatkan istri macam dia.
Bagaimana denganku, apakah aku suka padanya? Aku lelaki, tentu aku ada sedikit perasaan di sebagian ruang hatiku pada wanita secantik ia. Tapi kurasa itu hanya nafsu. Mungkin itu bukan yang dinamakan cinta, itu hanya gairah emosi dan syahwat yang datang karena dia adalah wanita yang sungguh manis. Namun, hatiku, walaupun juga masih samar-samar tengah memendam perhatian pada sesosok wanita berkerudung. Dialah Murni, adik kelasku. Aku memang tak mungkin berani menungkapkannya karena selain ia begitu cantik, ia adalah wanita muslimah yang sangat berhati-hati dan memegang teguh ajaran agama. Aku yakin, dia nggak pernah kenal sama yang namanya pacaran. Aku memang pernah sedikit dekat dengan dia karena kami memiliki hobi yang sama, yaitu menulis. Yang kukenal, dia amat luar biasa. Ibadahnya tingkat tinggi, baca Qur'annya luar biasa indahnya. Akan beruntunglah laki-laki yang menjadi suaminya. Namun sayang, laki-laki itu tak mungkin aku. Mengapa? Karena ku tahu, aku bukan pria handal yang bisa mengimaminya dengan baik dalam mengendalikan biduk rumah tangga. setidaknya yang menjadi suaminya adalah seorang ustadz, yang mengerti betul memimpin anak dan istri sesuai kehendak Rasul dan bukan aku, seorang pengecut yang sekaligus orang awam yang tak tahu menahu bahkan gelap sekali terhadap ilmu agama. Begitulah kira-kira yang ada dalam hatiku, saat aku memutuskan untuk menjauhinya karena kesadaran akan ketidakmampuanku itu.
Pagi sudah tiba. Setelah kuambil air wudhu dan melaksanakan shalat subuh, segera aku bersiap. Kukenakan celana training berwarna putih, baju kaos dan dilapisi jaket kesayanganku. Kukenakan juga sepatu olahraga satu-satunya yang aku punya itu. Dan aku berfikir sejenak mengingat-ingat sekiranya apa yang belum aku pakai dan kubawa.
Aku berbalik ke kamar tidurku. Kuambil beberapa lembar uang kertas lima ribuan di atas meja. Takut pulangnnya harus naik angkot, akan malu sekali jika aku harus diongkosi oleh Ratna. Belum lagi kalau dia mengajakku makan bubur ayam setelah lari-lari, tentu aku yang harus membayarnya. Memang bukan suatu kewajiban buat aku untuk membayarnya. Apalagi dia yang mengajak aku, bukan sebaliknya. Tapi setidaknya, laki-lakilah yang mentraktir wanita dan itu sudah jadi kebiasaan.
Telepon genggam di saku jaketku bergetar lagi, pertanda sebuah pesan singkat masuk ke dalamnya. Kubuka dengan sangat hati-hati. Ternyata Ratna mengabarkan bahwa ia tengah bersiap-siap, sedang memakai sepatu tepatnya. Kami berjanji untuk bertemu di depan sebuah mini market, di perempatan jalan agar sama jaraknya dari rumah-masing masing. Aku segera berangkat karena sudah tak ada yang ketinggalan lagi.
Sudah sekitar sepuluh menit kami berlari-lari kecil di sepanjang jalan kota itu, menuju ke taman kota, tempat dimana setiap hari minggu pagi orang-orang berkumpul dan melakukan berbagai macam kegiatan olahraga. Ada yang melakukan SKJ, yang kebanyakan pesertanya ibu-ibu, ada juga yang bermain bola voli, bermain futsal, badminton, dan berbagai macam olahraga lainnya.
"Gus, kamu nggak terpaksa kan lari bareng sama aku?", Ratna memulai pembicaraan.
Aku menjawab dengan tenang, "mengapa aku harus terpaksa. Aku senang berlari, kok. kan berlari bikin kita sehat. Kalaupun tidak kamu ajak, aku suka berlari sendiri, hampir setiap hari". Aku agak berbohong. Padahal aku berlari paling seminggu sekali. Memang begitulah lelaki, di depan wanita cantik senang sekali berdusta untuk menutupi kekurangan.
"Oh, bagus lah kalau begitu. Eh, kamu masih ingat nggak sama Desi?", Tanya Ratna lagi.
"Desi? Yang dulu pernah kuliah sama kita bukan?"
"Ya, Desi yang itu. Kamu ingat bukan?"
"Kalau yang itu sih aku ingat, hanya saja aku tak tahu sekarang dia dimana. Terakhir aku ingat dia datang ke kampus di semester dua. Tapi kesininya nggak tahu kemana. Kamu tahu dia kemana?"
"Dia udah nikah".
"Apa? Nikah…. Ah, aku nggak percaya. Dia kan masih muda sekali", aku agak kaget.
"Ya, dia nikah karena dijodohkan sama ortunya".
"Oh, begitu ya. Kasihan banget ya. Tapi, nggak apa-apa sih, kalau memamg sudah siap, buat apalagi dilama-lamain. Hanya saja aku kasian kalau masih muda terus dia hamil dan melahirkan, bisa premature, kan? Aku dengar dari bibiku yang seorang bidan itu, katanya hamil muda itu berbahaya dan besar sekali resikonya bagi kesehatan dan keselamatan bayi dan ibunya".
"Kamu hafal banget soal begituan. Jangan-jangan kamu mau buru-buru married juga ya?"
"Ya, enggak lah, pacar juga aku belum punya…."
"Tapi bagus sih, Gus. Kamu bisa jadi ayah yang amat perhatian sama istri dan anaknya. Aku juga mau punya suami yang punya fikiran sama kayak kamu begitu, perhatian sama masalah cewek", pujinya. Hal itu membuat hidungku kembang kempis dan hendak terbang ke angkasa.
"Tapi, Gus", tambahnya, "apa kamu tahu kalau Desi itu…".
"Desi kenapa, Na?"
"Eeee, maaf ya, dulu Desi katanya suka sama kamu".
"Apa?!! Kamu jangan bercanda begitu ah, nggak lucu tau!"
"Bener. Dan sekarang dia lagi hamil".
"Terus apa hubungannya? Kamu enggak lagi nuduh dia hamil sama aku kan? Ya wajar lah dia hamil orang dia udah punya suami!!!", aku agak tersinggung.
"Tenang dulu. Bukan begitu maksudku. Dia lagi hamil, dan dia sekarang ngidam tapi ada hubungannya sama kamu…."
"Emang ngidam apaan? Aku kan nggak jualan rujak".
"Tapi kamu nggak bakalan marah kan kalau aku bilang?"
"Ya, deh, tapi apa?"
"Dia pengen aku ngelempar kamu pake sepatu".
"Apa?!! Wah, benar-benar ibu hamil yang aneh. Kok ngidam pengen ngelempar orang sih…"
"Mau apa enggak? Sebetulnya aku juga ragu bilang sama kamu, takut kamunya marah. Tapi sudah beberapa hari ini dia nanyain terus apakah aku sudah melempar kamu pake sepatu apa belum. Malah dia pengennya pas aku mengempar kamu harus di-shooting karena dia takut aku bohong".
"Ya udah lah, laksanain saja. Kasian kan bayinya? Aku sih, nggak apa-apa. Cuma dilempar pakai sepatu doang. Kalau dilempar dengan granat, baru aku protes".
"Makasih, ya".
"Iya, nggak apa-apa".
"Eh, iya, Gus. Pacar kamu nggak marah aku ngajak kamu jalan begini?"
"Aku kan sudah bilang, aku nggak pacaran. Sejak aku diputusin sama cewek aku dua tahun kebelakang, aku tobat, nggak mau pacaran lagi".
"Tapi, aku dengar kamu deketin Murni, anak semester tiga itu".
"Murni, yang mana?"
"Ah, jangan pura-pura begitu. Itu, Murni yang berkerudung lebar itu. Kamu suka sama dia, kan?"
"Oh, Murni. Aku memang dekat sama dia, tapi itu dulu, ketika dia semester satu. Kebetulan aku kenal saat dia ospek dan aku kakak pembimbingnya. Selain itu kami punya hobi yang sama yaitu menulis. Tapi, sejak aku off dari Pers Kampus, aku nggak deket lagi sama dia. Lagi pula wanita muslimah kayak dia nggak mungkin mau pacaran, dia sangat taat pada aturan agama".
"Oh, begitu ya?! Kayaknya kamu kagum banget sama dia, ya?!"
"Ah, enggak juga…", aku menghindar. Padahal dalam hatiku aku sangat mengagumi Murni sepenuh hati. Hanya saja aku sadar, Murni denganku seperti bumi dan langit. Dia sungguh cantik dan shalihah, sedangkan aku apa…
"Aku juga dulu punya pacar, dulu banget ketika jamannya aku SMA!"
"Terus?"
"Bukan pacar sih, tapi kami saling suka. Kami sama-sama sayang satu sama lain tapi nggak ada yang berani jujur so kami nggak pernah jadian. Sampai akhirnya….".
"Sampai akhirnya apa? Kamu jadian dong sama dia?"
"Sampai akhirnya dia meninggal….", lanjutnya dengan mata nanar. Terlihat ada bening yang mengggantung di sudut-sudut matanya.
"Oh, maaf, aku nggak bermaksud untuk…"
"Nggak apa-apa, aku juga sudah menerimanya. Cuma aku nggak bisa maafin diriku sendiri karena dari mulai ia sakit sampai meninggalnya, aku nggak tahu dan nggak ada yang ngasih tahu. Aku baru tahu seminggu setelah kematiannya. Setelah itu aku stress berat. Aku sampai nggak masuk sekolah hampir tiga bulan. Aku selalu mengurung diri di kamar. Aku menyesal sekali waktu itu. Tapi waktu itu kupikir aku harus tabah menghadapi itu semua".
Aku menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Sungguh perih kisah hidupnya itu. Tentu dia sangat tersiksa. Aku bertekad dalam hati untuk membantunya melepaskan diri dari kepedihan pengalamannya itu. Namun, aku tak tahu harus berbicara apa untuk menenangkannya. Tapi akhirnya terucap juga sepatah kata buah hasil dari fikiranku untuk mengolahnnya selama beberapa menit.
"Aku yakin, itu yang terbaik buat kamu, Na. Mungkin Allah punya yang lebih baik buat kamu".
"Ya, mudah-mudah saja begitu…".
Ternyata semua itu berlanjut. Mulai saat itu ia selalu menghubungi aku melalui telepon, entah itu menelfon ataupun mengirim pesan singkat. Pesan-pesannya kurasakan ada yang asing dan mencurigakan. Aku jadi agak ribet dan kurang suka dengan isinya. Pagi dia meng-SMS, begitu juga siang, begitu pula malam. Padahal isinya hanya menanyakan kabar saja. Sungguh keterlaluan, ucapku dalam hati.
Tapi aku ingat akan ceritanya dan aku telah berjanji untuk menjadikan hari-harinya yang penuh penderitaan lebih ceria. Maka, aku layani ia. Walaupun aku sedang bekerja ataupun sedang mengerjakan sesuatu, kusempatkan untuk membalas semua pesan-pesannya walau agak aneh dan kurang berkenan di hatiku.
Namun suatu malam aku merasakan kejanggalan kata-kata di pesannya semakin menjadi. Dia mengatakan bahwa ia telah melaksanakan shalat istikharah dan mendapati petunjuk bahwa jodohnya dalah seseorang. Seseorang itu menunjuk kepadaku. Aku memang shock berat dibuatnya. Tapi aku harus mengambil suatu keputusan.
Ia menanyakan kepadaku atas kesedianku untuk menerimanya menjadi kekasihku atau tidak. Aku termenung beberapa saat memikirkan hal itu. Ah, amat berat keputusan yang harus aku ambil itu.
Terlihat di mataku sosok Murni yang menjadi dambaan hatiku. Apakah aku tidak berdosa mengabaikan kata hatiku bahwa aku mencintai Murni dan malah menerima cintanya Ratna?
Tapi, aku juga tak mungkin menolak Ratna mentah-mentah. Ia baru saja sembuh dari lukanya. Ia baru saja menemukan kembali kehidupannya. Ia baru saja bangkit dari keterpurukannya setelah ditinggalkan orang yang dikasihinya itu. Sangat berbahaya jika aku lakukan suatu penolakan padanya. Akan sangat berdosanya aku jika dia sampai mengalami hal yang sama seperti ketika seseorang yang dicintainya itu meninggalkan dia untuk selamanya. Apa yang harus aku lakukan?
Otakku berputar kala itu. Mencari berbagai macam ide yang sekiranya dapat menyelesaikan kedua masalah itu tanpa merugikan aku maupun dia. Akhirnya kudapatkan sebuah ide yang kupikir paling bagus.
Aku beralasan bahwa aku belum bisa pacaran samapai aku lulus S2. aku mengatakan bahwa semua itu adalah kehendak dari orang tuaku. Dia mengerti, bahkan mengatakan bahwa apa yang orang tua katakan mesti dituruti karena itu tandanya kita patuh pada mereka.
Aku merasa lega kala itu. Aku berharap dia akan menyerah untuk menjadikanku kekasihnya dan berpaling ke hati yang lain. Namun aku salah. Alih-alih berkata bahwa ia akan menyerah, malah ia mengatakan bahwa sampai kapan pun ia akan bersedia menunggu aku karena hanya akulah yang ia sayangi dan ia berdalih bahwa ia telah mendapatkan ilham dari Tuhan bahwa akulah jodohnya.
Aku menjadi lebih bingung dibuatnya. Alasan yang tadinya aku harapkan akan sangat efektif, ternyata meleset. Malah menjerumuskan aku ke hal yang lebih rumit.
Lalu bagaimanakah aku harus berlaku adil. Aku mencintai Murni walaupun aku tak berani mengatakan kebenarannya. Aku pun tak berani menerima Ratna karena aku tak mencintainya. Aku menjadi pusing dibuatnya.
Hari ini, aku duduk di kursi ini, membuat sebuah cerita tentang aku, Ratna, dan Murni. Aku dan Murni pernah dekat karena kami sama-sama suka menulis. Kini aku telah hasilkan sebuah tulisan. Aku akan berikan tulisan ini padanya supaya dia tahu bagaimana perasaan aku sebenarnya.
Aku pun akan berikan kepada Ratna supaya dia tahu yang sebenarnya bahwa aku bukanlah orang yang pantas dipujanya seperti yang ia pikirkan selama ini. Bahwa aku hanyalah bajingan yang bertopeng pangeran di depannya……

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar