Sabtu, 26 September 2009

Ditikam Bayangan Diri

Asep Cahyana

Acara baru saja usai. Semua hadirin telah setengah jam sebelumnya meninggalkan gedung di mana acara wisuda dilaksanakan. Hanya aku dan beberapa orang kawanku yang masih berada di sana. Kami bercengkrama, menyeruakkan obrolan di antara pengalaman-pengalaman menarik dan paling mengesankan selama kami kuliah. Setelah wisuda ini, entah kami akan bisa bertemu kembali dan berbincang-bincang tentang segala hal. Oleh karenanya kami akan menghabiskan waktu terakhir kebersamaan kami di kampus ini bersama-sama.
Wisuda memang telah usai. Kini namaku bertambah panjang dengan embel-embel gelar S.Ip., sarjana ilmu politik, di belakang namaku. Satu gelar yang amat aku inginkan mengingat cita-citaku untuk menjadi seorang politikus begitu besar. Sekarang ini dan selalu begitu menurut perjalanan sejarah bahwa politikus sangat erat kaitannya dengan kekuasaan dan sikap penguasanya yang banyak korupsi. Tapi aku tak gentar, justeru aku ingin mengubah kesan dari politik itu setelah aku terjun nanti. Aku tahu itu tak akan mudah. Tapi aku mempunyai alasan. Baginda Rasulullah dan para khalifah saja bisa berpolitik dengan selalu memegang amanah rakyat. Lalu, mengapa kita tidak mencontoh suri tauladan yang terbaik sepanjang masa itu.
Tadi, sewaktu wisuda dilaksanakan, ibuku sampai menangis. Terharu. Gelar lulusan terbaik dengan nilai yang “cum laude” diberikan kepadaku. Hal itu membuatnya tak bisa menahan tangis bahagia itu. Tangis bahagia yang selama ini selalu kalah bersaing oleh tangis-tangis kesedihannya selama betahun-tahun oleh kelakuan ayahku.
Aku pun demikian bahagianya karena telah dapat menyelesaikan studiku dengan nilai yang memuaskan. Beberapa petinggi perguruan tinggi menyalamiku dengan bangga seraya berpesan untuk ikut serta membangun bangsa dan negara ini dengan ilmu yang telah aku dapatkan dari lembaga pendidikan ini. Suatu amanat berat yang harus aku pikul bersama sarjana-sarjana lain, bersama generasi muda bangsa Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam ini.
“Mari habiskan hari ini bersama-sama kawan. Belum tentu dalam waktu dekat ini kita bisa bertemu lagi. Nanti, kita akan sama-sama sibuk untuk mengurus negeri, mengurus rakyatnya. Apalagi kau, Fa. Kau akan langsung pulang ke kampung halamanmu bukan?”, Anton memulai pembicaraan sambil membuka sebiji kacang rebus yang biasa kami beli dari Pak Amin, tukang kacang rebus yang selalu mangkal di sana.
“Benar, aku akan langsung pulang. Ya, setelah semuanya beres”, jawabku singkat.
“Memangnya kau akan apakan ijazah politikmu itu di kampung, Fa? Gelarmu itu tak akan berguna bila dibawa ke kampung! Lebih baik kau tinggallah di sini. Tidak akan lama lagi pasti banyak parpol yang mengemis meminta kau jadi kadernya. Kemampuanmu yang luar biasa itu sangat diincar oleh berbagai pihak. Apalagi kita semua tahu sekarang ini banyak partai kecil yang ingin cepat melejit dengan cara merekrut banyak kader-kader muda seperti kita. Katanya kaum muda itu revolusioner begitu…”, sergah Munir seakan menceramahi.
“Aku tak akan dulu menggunakan gelarku ataupun ijazahku itu kawan. Aku belum siap!”, jawabku mantap. Tapi di mata mereka ternyata aku terlihat seperti seorang pengecut. Di kelas, di forum kuliah, aku macannya ilmu politik. Tapi mengapa aku menjadi tak berdaya saat mereka bertanya demikian. Mungkin sekali lagi mereka bilang “dasar Rafa pengecut”.
“Masa iya Kawan? Kau kan cum laude, Fa. Lagi pula kau kan macannya kalau dalam soal debat tentang politik. Kau bisa membuat gentar lawan ketika mereka berani menentangmu berdebat. Sekarang kau bilang demikian, mana kami percaya!”
“Maksudku, aku tak ingin terlebih dahulu aktif di politik praktis. Rasanya aku masih terlalu muda untuk terjun di dunia politik yang hitam kelam dan misterius itu. Lagi pula di negara kita ini lagi menjamur banyak parpol yang baru. Aku ingin meneliti dahulu lebih jauh mengenai visi dan misi parpol baru itu. Siapa tahu visi dan misinya tidak monoton seperti parpol-parpol lama. Siapa tahu mereka punya rancangan kerja yang menguntungkan bagi rakyat dalam arti sesungguhnya. Siapa tahu mereka mempelopori gerakan revolusioner yang akan mengubah nasib politik rakyat negara ini, tidak dikekang seperti sekarang ini. Aku akan lebih tertarik kepada parpol baru yang demikian daripada parpol lama dan besar yang opportunist, diktatoris, pemeras rakyat!”, jelasku diakhiri dengan kata-kata geram kepada penguasa saat itu. semangat kaum muda yang masih meledak-ledak di dadaku. Walaupun sebetulnya tak pernah banyak meledak sampai ke luar di tubuh ini karena jikalau sampai demikian itu tandanya aku cari mati. Tak akan sampai dua jam setelah itu, aku akan sudah berada di balik jeruji besi. Tangan besi, diktator!!!"
Mereka hanya bengong mendengar aku berbicara demikian. Sungguh aku melihat ada kekaguman luar biasa dalam diri mereka dengan perkataanku tadi. Tapi kutangkap pula air muka khawatir dari wajah-wajah mereka yang sama lugunya seperti aku. Tapi justeru tak lugu, bahkan geram, dengan kesewenang-wenangan penguasa yang diktatoris itu.
Lalu kami terhanyut dalam obrolan dan perdebatan panjang dan sengit sesama sarjana ilmu politik. Perdebatan yang panas dan mungkin tak akan pernah berakhir jika tak seorang pun dari kami yang mau mengalah.
Perdebatan itu berakhir, dan kami semua pulang masing-masing.

**
Aku tak tahu sejak kapan ada yang memperhatikan aku. Tapi lambat laun kehadiran penguntit itu kini mulai aku rasakan. Sehabis melepas kerinduan bersama teman-teman kemarin, aku memacu sepeda motorku. Pulang ke tempat kosan. Awalnya aku tak mencurigai mobis hardtop di belakangku itu. Tapi setelah kulihat dari kaca spion mereka amat setia, timbullah kekhawatiranku. Aku menangkap gelagat tidak baik dengan keberadaan mobil itu yang terus menguntit di belakangku. Dag dig dug sudah jantung ini.
Kubelokkan motorku ke sebuah gang sempit yang hanya bisa dimasuki motor. Hah, rasakan kau tak dapat mengerjarku kini. Pengecut, beraninya menguntit dari belakang!
Gang itu menuju ke lingkungan perumahan kumuh Ibu Kota. Kupacu ia sekencang-kencangnya. Kupacu tiger itu. memasuki perkampungan yang tak biasa kulewati ketika berangkat ataupun pulang dari kampus. Saat itu musim hujan. Kondisi jalan yang buruk, tentu saja becek. Ah, ternyata benar, penguasa tidak pernah memperhatikan nasib rakyat miskin. Jalan beraspal, ber-hotmix, hanya milik orang-orang kaya, konglomerat, yang bertempat tinggal di pusat kota. Sedangkan bagi orang pinggiran, orang melarat, najis!!! Pembangunan nasional? Mana, pembangunan yang milik semua rakyat Indonesia, menyentuh semua lapisan, jasmani dan rohaninya. Persetan!!! Pantas saja Aceh berontak. Maluku, Irian Jaya yang berganti nama lagi menjadi Papua itu melakukan gerakan separatis. Itu bukan hanya salah mereka, tapi juga kebodohan pemerintah.
Aku menyadari kini tanggung jawabku memang berat. Tanggung jawabku dan pemuda yang lain untuk memperbaiki kebokbrokan negeri ini. Aku harus meneruskan perjuangan Soekarno, perjuangan Hatta, perjuangan Syahrir, dan berjuta pahlawan-pahlawan lain bangsa ini di tempo hari. Semangat mereka hendaknya tetap berkobar di jiwa setiap manusia Indonesia. Sayang, penguasa kini tak bisa meneladani para pejuang. Mereka hanya mewarisi kekuasaan, bukan tanggung jawab. Lihatlah nanti, generasiku. Lihatlah semangat empat lima yang akan berkobar kembali di seluruh Ibu Pertiwi. Lihatlah penguasa kejam. Lihatlah wahai opportunis, kapitalis, diktatoris!!! Lihatlah, kebangkitan pemimpin muda, bukan penguasa muda. Bersiaplah kalian untuk lengser, dengan terhormat, ataupun dengan mengigit jari, terserah! Kapan? Kau tinggal menunggu waktu itu tiba!

**
Aku sudah sampai di rumah kosan. Ibu yang tadi pulang duluan dari gedung wisuda terlihat tengah menyapu halaman. Kumatikan mesin motor dari derunya yang memenuhi alam sekitar berpacu dengan rasa takut yang menyelimuti sekujur tubuhku akibat yang tadi itu. Wanita setengah baya yang sangat aku sayangi sekaligus selalu kuhormati itu menoleh ke arahku datang seakan terpancing oleh deru mesin motor yang baru saja aku matikan.
“Assalamualaikum, Bu. Lho mengapa ibu menyapu, nanti capek. Biar nanti Rafa saja yang melakukannya. Lagi pula kan sebentar lagi kita pulang, Bu. Biarkan saja begitu, nanti juga dibersihkan sama yang punya rumah…”, tegurku.
“Waalaikumsalam, Nak. Kamu sudah pulang rupanya. Sudah bercengkramanya? Lho, mengapa harus nunggu dibersihkan sama orang lain kalau kita biasa, Nak? Menunda pekerjaan itu bukan kebiasaan yang baik lho! Lagi pula kebersihan itu adalah sebagian dari iman, bukan?”, jawabnya seolah agak kecewa dengan perkataanku.
“Bukannya begitu, Bu. Iya sih, memang benar, kebersihan sebagian dari iman. Tapi, Rafa kan tidak mau ibu sakit karena kecapean”
“Justeru ibu malah pegel-pegel kalau tidak kerja, Fa”.
“Kalau begitu, maukah ibu Rafa pijitin?”, tawarku.
“Tidak usah, Nak. Kamu kan baru pulang, nanti saja. Sekarang, kamu makan dulu ya. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu”.
Ah, aku kagum sekali pada ibu yang selalu bekerja tanpa mengenal lelah. Secerainya dari ayah, ibu mendirikan sebuah warung kelontong dengan modal yang pas-pasan. Usahanya itu berulangkali jatuh-bangun karena para pengutang yang kebanyakan tetangga miskin, sama miskinnya dengan kami. Mereka berhutang tetapi tak mau membayar lantas ibu ikhlaskan saja walaupun harus berpikir banyak lagi untuk memperoleh modal usaha itu. Kini warung kelontong itu sudah menjadi usaha yang maju. Belum begitu besar sih, tapi cukup membuat ibu siap menyekolahkan aku hingga lulus perguruan tinggi seperti saat ini. Penjaga tokonya pun sudah bukan ibu lagi. Pengelolaannya sudah diserahkan kepada beberapa penjaga yang notabene adalah temanku sewaktu SMP yang tak melanjutkan sekolah. Salah seorang namanya Rudi, orang kepercayaanku dan ibu. Ibu dan aku mempercayainya karena selain aku kenal kepribadiannya sejak SMP, ia juga seorang yang rajin, jujur, dan ulet. Tidak heran, sekarang ibu telah menyerahkan pengelolaan keuangan toko pada Rudi setelah sebelumnya beliau pegang sendiri. Tapi setelah aku memaksa agar beliau tak terlalu sibuk bekerja, beliau pasrah. Walaupun setiap harinya tetap saja berada di toko hanya sekedar untuk menonton saja kegiatan jual beli di sana.
Perceraian. Ah, iya kata itu memang sebuah kata yang menyakitkan. Begitu pula dengan apa yang dialami ibu. Perceraian ayah dan ibu lima belas tahun sebelumnya membawa dua sisi berlainan, sisi kebahagiaan dan satu lagi tentu saja kesedihan. Sisi kebahagiaannya adalah karena aku dan ibu terbebas dari perlakuan ayah yang kejam, brutal, pemabuk, dan pemarah pula. Tak jarang ibu terkena pukulan ataupun tamparan jika setan alkohol tengah memenuhi ruang otaknya. Sisi kesedihannya adalah bahwa bagaimana pun dia adalah ayahku. Marwoto adalah ayahku. Bagaimanapun kejamnya ia, aku tetap membutuhkan ayah untuk tumbuh besar. Aku butuh seorang pengayom. Tapi, mana mungkin seorang pemabuk bisa mengayomi anaknya. Tapi satu hal pula yang membuat ibu sedih, teramat sangat, adalah ketika dua minggu setelah mereka bercerai, ayah mengambil Rafi secara paksa. Dia membawanya pergi, entah ke mana.
Setelah bercerai dari ayah, ibu tak menikah lagi. Beliau lebih fokus untuk membesarkan aku dan menyekolahkan aku sampai menjadi orang yang sukses. Diajarinya aku shalat, mengaji, dan berbagai keterampilan lain. Begitu pula nasihat dan keteladanan Rasulullah selalu ia selipkan dalam berbagai cerita petuahnya. Beliau sangat menginginkan agar aku menjadi pemuda yang shaleh.
Sepulangya aku dari kampus tadi, aku langsung ke kamar, berganti pakaian untuk langsung makan masakan ibu yang ia kabarkan tadi. Tak aku ceritakan pegalaman menegangkan yang menimpaku tadi. Aku tak mau, seorang wanita tua yang sangat aku kasihi itu menjadi banyak pikiran mengenai hal itu. padahal aku sendiri bingung dengan pengalaman tadi. Aku tak punya musuh. Lantas siapa ya….

**
Aku masih harus tinggal beberapa hari lagi di kota ini, Ibu Kota negara ini, untuk mengurus beberapa dokumen penting yang belum selesai dibuat di kampusku, almamaterku. Ibu juga belum pulang. Katanya ingin menunggu aku. Aku juga tak akan mengijinkan ibu pulang sendiri. Lagi pula di toko ada Rudi dan beberapa karyawan lain yang bisa diandalkan.
Tak aku sangka, sesampainya di gerbang kampus, kawan-kawanku sudah ada di sana. Mereka masih ngumpul juga.
“Wah….wah…ngumpul nih, selamat pagi Indonesia!!!”, sapaku.
“Ah, ini dia politikus muda kita datang lagi, ha..ha…ha. Selamat pagi, Bung! Bagaimana Indonesia hari ini, indahkah?”, jawabnya Anton sambil bercanda.
“Kau ini bisa saja, Bung Anton. Indonesia yang kita cintai ini selalu indah, dan akan selalu indah sepanjang masa! Oh iya, kalian juga ingin mengurus beberapa dokumen ke kampus ya?”
“Benar, Fa. Kau juga bukan?”, Munir yang bicara.
“Iya”, jawabku singkat.
“Eh iya aku hampir saja lupa. Ngomong-ngomong sejak kapan kau suka pergi ke diskotik, Fa? Sejak kapan pula kau suka bercumbu dengan wanita?”, tanya Anton, agak serius mukanya.
Aku menanggapinya dengan cengir, “Kau ini bicara apa sih? Ngaco…”, kuraba keningnya, “Oh, panas…periksa deh!”
“Lha, harusnya aku yang bilang begitu. Tak biasanya kau ke diskotek, tapi tadi malam kau keluar dari diskotik di mana aku dan Munir lewat di halamannya . Iya kan, Nir?”
“Betul! Aku juga sempat heran, mengapa kau berada di sana. Padahal biasanya kau tak mau kami ajak ke sana, apapun alasannya. Kau juga bersama seorang wanita cantik, bercumbu di parkiran, aduhai indahnya….”, tambah Munir.
“Ah, kalian berdua mengigau ya?”
“Ah, sudah mengaku saja, Fa. Siapa gadis itu, atau mungkin bukan gadis lagi, karena kau curi mahkota keperawanannya semalam, hah, ha ha ha ?”, goda Anton lagi.
“Huss, jangan sembarangan! Semalam aku tak kemana-mana. Aku sudah tidur sejak sehabis shalat Isya, capek!”, sanggahku tegas.
“Bener, Fa?”
“Iya, mengapa aku harus berbohong”.
“Lalu siapa pria semalam? Dia mirip sekali denganmu, Fa. Walaupun memang sedikit aneh sih. Dia berambut agak ikal dan agak panjang”, jelas Munir.
“Jadi kejadian itu benar adanya?”, tanyaku penasaran.
“Iya, kami berani sumpah. Pantas saja, aku juga merasa aneh, ternyata bukan kau. Lalu siapa?”
Aku termenung. Mengapa begitu banyak kejadian aneh akhir-akhir ini. Kemarin aku ada yang mengikuti dari belakang, untung bisa lolos. Sekarang, Anton dan Munir memberi kabar bahwa aku bersama seorang perempuan tadi malam, di diskotik lagi. Ada apa ini sebenarnya? Siapa orang yang mengikutiku? Siapa orang yang mirip denganku?
Aku berfikir lebih lama lagi. Tak kuhiraukan kedua temanku pergi meminta izin pergi untuk sarapan bubur. Kupikirkan jeli-jeli. Lalu kuingat seseorang yang pasti akan mirip denganku, tetapi jika ia memang masih hidup.
Dialah Rafi, adik kembaranku. Tapi benarkah dia masih hidup? Aku tak yakin dia masih hidup. Marwoto telah meyakinkan bahwa dia sudah membunuh Rafi. Ataukah hal itu Marwoto lakukan hanya untuk menyiksa batin ibu? Aku tak tahu. Tapi yang jelas ancaman Marwoto berhasil. Ibu sangat sedih ketika mendengar Rafi akan dibunuh. Mengapa dia membawanya kalau hanya ingin membunuhnya, begitu kata ibu.
Lantas, jika benar itu adalah Rafi dan dia masih hidup, mengapa ia tak mencari kami? Ia malah berkeliaran di jalan salah, main wanita. Padahal orang bisa saja tertipu, menyangka dia adalah aku dan orang akan menjadi tak respek padaku dan rusaklah nama baikku. Ataukah memang itu yang dia inginkan? Untuk apa?

**
Dua tahun telah berlalu. Kini aku sudah berada di kampung halamanku di Bandung. Ijazah S.Ip-ku membawaku menjadi salah satu pengurus partai nasionalis yang kuanggap membawa misi-misi kesejahteraan rakyat. Partai ini dibentuk untuk betul-betul menyampaikan aspirasi rakyat, seluruh rakyat. Sehingga satu hal yang wajib dipegang teguh adalah mengikuti kehendak dan keinginan rakyat.
Nampaknya latar belakang pendidikan telah membawa pengaruh baik dalam perjalanan karirku. Dalam dua tahun keanggotaan, aku telah melejit menjadi salah satu pengurus daerah partai itu. Dengan usia yang masih amat muda, aku sudah dicalonkan menjadi salah satu calon legislatif untuk pemilu yang akan datang. Para pengurus lain mencalonkan aku dengan alasan untuk regenerasi partai. Orang muda harus segera dipercaya. Orang muda lebih cerdas berpikir. Dan berbagai alasan lain yang mendukung, tentu saja karena mereka simpatik kepadaku.
Namun seperti kata pepatah, kepala bisa sama hitam tetapi pendapat selalu banyak berbeda. Tak semua orang setuju dengan dicalonkannya aku. Banyak politisi senior yang tak suka dengan keputusan forum untuk mencalonkan aku menjadi anggota dewan pusat. Tapi bagaimanapun palu sudah diketuk, toh aku tetap dijagokan di pemilu yang akan datang.
Karirku memang berjalan dengan cemerlang. Menginjak tahun ketiga, poster-poster, pamflet-pamflet, dan baliho-baliho bergambar wajahku dan lambang partaiku terpampang di setiap sudut kota. Tertulis “Rafa Burhanuddin, Calon Legislatif Partai A, Pemuda harapan baru bangsa kita!!”.
Tapi kesuksesan ini ternyata tak semulus yang diharapkan. Menginjak pertengahan tahun ketiga, isu tak mengenakkan menyerang. Banyak kejadian kriminal seperti perampokan bank dan penodongan diberitakan melibatkan aku di dalamnya. Bahkan polisi mendapati wajah perampok yang tak bertopeng itu mirip denganku hasil potret seorang wartawan yang menyaksikan kejadian itu tapi mati tertembak.
Tercemarnya nama baikku dimanfaatkan oleh pesaing-pesaing tuaku untuk mengasingkanku dari jajaran pengurus partai. Mereka yang membenciku meminta rapat terbatas untuk mengeluarkan aku dari kepengurusan sekaligus dari partai. Karirku meredup. Dan padam sama sekali. Semua baliho, pamflet, stempel yang bergambarkan aku yang sedianya terpampang di setiap sudut kota, habis. Semuanya hilang, baik yang dicopot oleh kader partai ataupun oleh masyarakat yang mengetahui dari media massa bahwa orang yang di foto itu adalah residivis yang sekarang tengah mendekam di penjara.
Ya, kasus-kasus itu kini mengantarkan aku ke balik dinding berjeruji besi. Atas dasar kesamaan wajah dan ciri-ciri fisik yang tak dapat dibantah, polisi telah menuduh dan menangkapku sebagai bajingan. Mereka menganggapku seorang kriminal. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa pasrah dengan kenyataan menyakitkan ini. Tak hanya karirku yang jatuh tetapi tubuhku kini membusuk di dingin dan lembabnya lantai bui.
Serentetan kejadian yang menimpaku ini awalnya hanya aku anggap sebagai ujian ringan atas iman dan perjalanan karirku sebagai seorang politisi muda. Tapi semuanya menjadi terasa berat ketika kasus-kasus yang dituduhkan kepadaku sampai di telinga ibu. Ia shock berat. Ibu memang sudah semakin tua dan tidak akan kuat menerima kenyataan bahwa anaknya, anak kebanggaanya sekarang berada dalam penjara. Kasihan beliau ketika harus menerima cacian dan makian semua orang. Katanya, pantas saja kalau anaknya jadi penjahat, orang bapaknya Si Rafa itu juga penjahat kok, pemabuk, begitu kata mereka.
Saat beliau menjengukku, yang hanya sekali-kalinya itu, dengan diantar oleh Rudi beliau mengatakan bahwa beliau yakin bukan aku pelakunya. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang jahat itu pasti Rafi. Marwoto pasti mendidiknya menjadi seorang kriminal, begitu katanya. Tapi bagaimana mengatakan pada semua orang bahwa bukan aku pelakunya, bukan Rafa Burhanuddin pelakunya.
Saat itu ibu pingsan ketika sipir penjara menyeret ibu dengan paksa agar segera pergi meninggalkan penjara mengingat jam besuk sudah habis. Aku geram dengan sipir itu, hingga aku membanting kepalanya dengan sebuah kursi. Dan dia mati. Memang tak seharusnya aku membunuhnya. Ia, sipir penjara yang telah bertindak kurang ajar kapada Ibuku itu, tengah menjalankan tugasnya. Sebagai seorang yang mengerti hukum, aku seharusnya tak berbuat demikian. Tapi tak seorang pun yang aku ijinkan menyentuh ibu dengan cara kasar seperti itu. Dan aku menjadi benar-benar kriminal sekarang. Aku seorang pembunuh. Pembunuh sipir penjara. Dan berita itu telah pula memenuhi halaman depan koran-koran nasional. Luar biasanya aku ini di mata kaum pers.
Lama, berbulan-bulan ibu dikabarkan sakit. Mungkin karena terlalu lelah memikirkan aku yang dipenjara atau juga karena tak ada seorang pun yang membeli kelontong ke toko kami. Katanya, sekarang toko sudah itu bangkrut. Bahkan ibu sekarang tinggal di rumahnya Rudi, yang sekarang berpekerjaan mengojeg.
Tapi, aku tak diijinkan menjenguk ibu walau sebentar. Aku bahkan ditempatkan di pembuian khusus, hanya dapat duduk dan berdiri di ruangan ukuran satu kali satu meter dengan tinggi dua meter. Mereka melakukan itu karena aku membunuh sipir brengsek itu tempo hari.
Belum juga luka itu kering. Belum juga aku sempat menjenguk ibu, ibu telah dikabarkan meninggalkan aku untuk selamanya. Ia telah menghadap Sang Pencipta setelah sekian lama menanggung beratnya beban hinaan orang. Hatiku perih menerima kenyataan itu, menerima kenyataan ia telah tiada. Perih tak terhingga menusuk seluruh pori tubuh ini. Di pemakamannya, dengan kawalan ketat polisi dan tangan yang terikat borgol ke belakang aku mencoba bersimpuh di samping gundukan tanah merah yang masih basah itu. Aku yang seorang pembunuh ini memohonkan ampun pada Tuhan agar mengampuni segala dosa ibu. Entah akan diterima atau tidaknya doa pembunuh seperti aku ini. Yang pasti aku berjanji kepada ibu saat itu untuk membuktikan ke semua orang bahwa bukan aku pelaku kejahatan perampokkan itu walaupun ibu sudah tahu itu. Aku hanya pembunuh sipir penjara, bukan perampok.
**
Kini sudah dua puluh tahun aku meringkuk dan terpuruk di busuknya penjara. Semua penjahat yang keluar masuk penjara telah banyak aku kenali tapi tak seorang pun berani menyentuhku. Mereka takut. Mereka selalu bilang bahwa tak ada yang berani membunuh sipir penjara selain Rafa Burhanuddin. Mereka mungkin tak tahu bahwa aku melakukannya karena terpaksa.
Keluar masuknya para kriminal, aku tahu semuanya. Mereka masuk dan beberapa tahun kemudian keluar lagi. Rasanya memang aku yang tertua yang menghuni hotel prodeo ini. Entah kapan semua ini akan berakhir, mungkin sepanjang hayat aku akan membusuk di lantai dingin ini. Jeruji besi yang angkuh ini kuharap akan segera berkarat dan lapuk sehingga dapat segera aku keluar dari dalamnya. Para sipir yang sudah semakin tua itu semoga akan segera mampus sehingga aku bisa keluar dan menangkap bajingan Rafi serta membuktikan kepada semua orang bahwa yang perampok itu dia, bukan aku. Walaupun dia kini telah berlindung di balik punggung politisi pesaingku dulu yang kini telah jadi penguasa, aku tak takut untuk menangkapnya. Tunggu aku bajingan!!!

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar