Senin, 28 September 2009

Anggota DPR yang Glamour

Mei lalu, rakyat Indonesia memilih wakil-wakilnya untuk mewakili mereka dalam manyampaikan hak mereka sebagai rakyat Indonesia untuk ikut serta menentukan masa depannya. Seluruh rakyat Indonesia berharap para wakil rakyat itu dapat membawa aspirasi mereka ke Gedung DPR/MPR yang berdiri megah di senayan itu agar tercipta suatu kesejahteraan yang diinginkan oleh seluruh masyarakat. Mereka mengharapkan para wakil rakyat yang mereka pilih dan mereka beri amanah itu benar-benar menjalankan amanahnya, bukan malah menyelewengkannya seperti anggota-anggota DPR yang sudah-sudah. Korupsi, pemerasan, pelecehan seksual, atau apalah jenis tindakan kriminal dan tidak patut yang lainnya yang dilakukan oleh oknum anggota DPR di masa lalu, diharapkan tidak terulang kembali.
Namun agaknya harapan masyarakat itu sudah agak sedikit buram mengingat apa yang akan terjadi 1 Oktober yang akan datang. Pengambilan sumpah janji anggota DPR yang diawali pula dengan pembekalan materi yang dilakukan dari mulai tanggal 28 September tersebut, menelan dana miliaran rupiah. Bayangkan, jas saja mereka dibelikan, transportasi ditanggung. DAn tak tanggung-tanggung pula, tempat penginapan mereka selama kegiatan adalah di Hotel J.W. marriot, hotel yang elegant dan terkesan terlalu glamor untuk para wakil rakyat yang mewakili pendukungnya yang sekarang terpaksa menginap di emperan stasion dan emperan terminal-terminal kumuh karena hendak berjuang mencari kehidupan di kota-kota.
Apa yang sebetulnya diniatkan oleh para calon anggota DPR ini? Kesejahteraan rakyat Indonesia kah atau kemewahan dan kemudahan fasilitas pribadi? Melihat kenyataan sekarang ini, agaknya telah sedikit memberikan ciri tersendiri bahwa yang mereka inginkan bukanlah melaksankan amanah rakyat yang sesungguhnya melainkan memperjuangakan kepentingan pribadi dan golonganya dengan sebaik-baiknya melalui penguasaan uang rakyat yang bukan haknya. Sudah bukan saatnya para pemimpin negara ini hanya mementingkan urusan perut dirinya dan keluarganya. Saatnya kini mereka memikirkan bagaimana keroncongannya perut rakyat semesta yang tersebar di bumi nusantara ini.

Minggu, 27 September 2009

Bidadari di Ujung Malam

Oleh : Asep Cahyana


Malam-malam terakhir ini selalu melelahkan. Malam-malam terakhir ini selalu membuat badan tak enak, tak nyaman, dan tak sehat kurasa. Malam-malam ini adalah ujian terberat bagiku selama bekerja di tempat yang sekarang. Hampir satu tahun aku bekerja di perusahaan ini, namun aku baru kali ini menghadapi ujian berat seperti yang sedang tengah kurasakan. Hal ini memang banyak faktornya, di antaranya keadaan perekonomian global yang sedang tidak menentu yang mengakibatkan kami harus mengatur ulang planning-planning dan tender-tender yang telah kami tentukan.
Malam-malam terakhir ini adalah pengalaman pertamaku lembur terus menerus. Sudah hampir seminggu, aku harus lembur di kantor mengingat banyak sekali hal yang berhubungan dengan masalah karyawan yang harus segera aku selesaikan penanganannya. Hal ini memaksaku untuk lebih sering pulang terlambat ke rumah.
Ya, rumahku sendiri di kota ini. Aku bersyukur, walaupun kecil namun itu bukanlah kontrakan. Padahal bos menyarankan kepadaku agar aku tinggal di apartemen saja. Kebetulan ada apartemen yang lokasinya dekat dengan kantor. Tapi aku menolak. Aku lebih nyaman tinggal di rumahku sendiri, yang kecil tapi sangat indah. Tinggal tanpa istri, tanpa anak, karena memang aku belum beristri.
Rumah ini, walaupun hanya aku sendiri yang mendiaminya, tetap kupertahankan. Aku tak tahu, mengapa aku harus mempertahankannya. Padahal dulu, aku tak berniat untuk membelinya. Dulu, ketika aku lewat di jalan ini, tengah terjadi suatu hal yang amat mengiris hati. Banyak orang berkumpul di depan rumah itu. Kebanyakan dari mereka menandakan raut muka bersedih hati. Aku bertanya dalam hati, ada apa gerangan dengan mereka. Kala itu aku segera turun dari mobil. Aku menghampiri, khawatir terjadi sesuatu dan aku sekiranya bisa menolong.
Ternyata ada salah seorang penduduk di sana sedang sakit. Katanya sakitnya parah dan harus segera dibawa ke dokter. Tapi keluarga yang sakit tidak bersedia untuk membawanya ke dokter dengan alasan tidak adanya biaya.
Aku membujuknya agar mau membawa si sakit ke dokter. Tapi, mereka tetap bersikeras tidak mau membawanya ke dokter apalagi ke rumah sakit karena biayanya akan terlalu mahal dan mereka tak punya kemampuan untuk membayarnya. Namun, setelah aku berkata bahwa aku yang akan membiayai pengobatan laki-laki tua yang hampir sekarat karena kesakitan itu, akhirnya keluarganya mengerti dan bersedia membawanya ke rumah sakit.
Beberapa bulan dari saat kejadian itu, aku tak bertemu lagi dengan mereka. Biaya pengobatan si Bapak aku yang tanggung tanpa memberi tahu kepada mereka siapa aku sebenarnya. Tapi, menurut salah seorang dokter di rumah sakit di mana si Bapak dirawat, yang juga merupakan salah seorang temanku, si Bapak sudah kunjung membaik kondisinya. Kutekankan pada temanku itu agar jangan sampai mengatakan kepada keluarga itu siapa yang membayar semua biaya pengobatan itu. Ia berjanji tidak akan mengatakannya.
Namun tak lama kemudian, temanku datang ke kantorku. Tak seperti biasanya ia datang tanpa menelfon terlebih dahulu. Ia memberi kabar kurang baik. Si Bapak telah meninggal beberapa jam sebelumnya. Aku terperangah dan bertanya kenapa bisa begitu. Padahal aku sudah menitipkan kepadanya agar merawat bapak itu dengan baik, dan aku yang membiayainya. Dia bilang bapak itu tiba-tiba kambuh dan pihak keluarga terlambat membawanya ke rumah sakit hingga dia dan dokter yang lain tidak bisa menolongnnya seperti apa yang aku inginkan.
Pada saat bapak itu meninggal, kuputuskan untuk ikut mengantarkannya ke pemakaman. Kutinggalkan dahulu semua pekerjaan di kantor. Aku ingin menyempurnakan baktiku pada orang kecil itu.
Pemakaman si mayit telah selesai, aku hendak pulang. Kulihat seorang wanita berkerudung lebar-lebar berjongkok di samping pusara yang baru itu. Kulihat kenyerian yang mendalam di matanya. Kutatap ia matang-matang dan kuperhatikan setiap gerak-geriknya.
"Bapak, mengapa Bapak begitu cepat pergi….. Aku sendirian sekarang, benar-benar sendirian, tanpa
ayah, tanpa ibu dan tanpa sanak saudara. Harus kepada siapa aku mengadu di dunia ini, Bapak? Ya Allah mengapa Kau terlalu cepat memanggil mereka?", rintihnya sembari mengalirkan dua buah sungai bening di pipinya.
Kudekati pusara tempat wanita itu meratap. Ku berdiri di belakangnya seraya berucap, "Mbak, sudah janganlah ditangisi terus. Beliau sudah bahagia di alam sana. Jika Anda menangisinya terus, bukan tidak mungkin almarhum malah akan menjadi bersedih. Yakinlah, almarhum sudah berada di sisi-Nya!".
Ia tergugah dari lamunannya dan melirik seraya berkata," Siapa Anda?"
"Saya bukan siapa-siapa, Mbak. Saya hanya tidak ingin melihat Mbak bersedih terus-menerus. Kematian itu sudah barang tentu akan tiba pada setiap insan bukan? Maaf bukannya saya menasihati".
"Tidak apa-apa, Anda benar. Saya memang tak seharusnya bersedih begini. Saya harus yakin bahwa bapak saya sudah ada di sisi Allah Yang Mempunyainya. Tapi, saya masih khawatir terhadap satu hal".
"Apa yang Anda risaukan?"
"Ketika beliau sakit, ada seseorang yang membiayainya berobat hingga beliau sempat membaik untuk beberapa bulan. Namun, saya tidak tahu orang itu, Tuan. Ketika dia datang ke rumah, saya masih di tempat pekerjaan. Sampai saat ini saya belum tahu siapa orangnya. Dokter juga tidak memberitahukan siapa dia. Saya berhutang atas nama bapak saya padanya. Jika Allah berkenan mempertemukan, saya akan berusaha sekuat tenaga membayar hutang itu. Walaupun saya tahu, biaya pengobatan di rumah sakit yang mewah di mana bapak saya dirawat itu tak murah, saya akan membayarnya dengan bekerja padanya walaupun sampai seumur hidup saya".
Aku terpana dengan apa yang dikatakan oleh si wanita cantik berkerudung lebar itu. Sungguh mulia hatinya. Sungguh meyakinkan baktinya pada orang tua. Aku jadi terpana. Aku menjadi terpesona. Aku menyimpan harapan lain padanya. Ah, apakah itu? Dia telah meluluhkan hati ini dengan sekejap, dengan satu kalimat yang membuat hati menjadi pucat pasi. Inilah wanita yang aku cari untuk menjadi seorang istri, untuk menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Aku malah terdiam, tak bergerak.
Namun begitu aku tak berani berjujur kata. Walaupun bisa kumanfaatkan untuk memilikinya, aku tetap memendam rahasia bahwa akulah orang yang dimaksudnya itu. Padahal aku yakin ia tak akan menolak untuk kumiliki jika ia tahu bahwa akulah yang menolong ayahnya itu. Tapi aku mau memanfaatkan kesempatan itu demi maksud pribadi. Niatku dari awal adalah tulus untuk membantu si bapak itu. Kalau saat ini kumiliki anak gadisnya karena ia merasa berhutang itu sama saja dengan membeli anak gadis orang. Apa bedanya aku dengan petinggi Jahiliyah di zaman dahulu. Buat apa aku mengaku ummat Muhammad jika lakukan hal itu.
**
Sejak saat itu, pikiranku sering melayang. Ketika aku berada di kantor maka pikiranku melayang-layang entah ke mana. Yang dicarinya adalah wajah seorang wanita cantik nan indah karena dihiasi kerudung yang membuatnya sangat berbeda dengan kebanyakan wanita yang aku kenal. Wanita yang beberapa hari sebelumnya baru pertama kali kutemui. Ya, dia Aisyah, gadis yang beberapa hari sebelumnya meratapi kepergian bapaknya.
Aktivitas baru pikiranku itu tak hanya terjadi di kantor. Di rumah, di mobil, di mana saja aku berada, wajahnya terbayang. Dan yang membahayakan adalah selalu membuat wajah yang aku punya ini senyum-senyum sendiri. Jika bawahanku atau orang lain melihatnya, tak ayal akan menjadikan fikiran yang macam-macam. Belum lagi lebih berbahaya ketika aku menyetir mobil. Sampai pernah aku hendak didemo sekelompok supir angkot karena mobilku tak kian jalan ketika lampu hijau di traffic light sudah menyala. Itu semua karena memikirkannya.
Dalam fikiranku menari berbagai macam masalah yang seakan-akan riang melihatku pusing memikirkannya. Banyak dugaan dan prasangka yang ikut menari.
Salah satunya adalah apakah dia aman hidup sendirian. Dulu dia bilang sudah tak punya sanak saudara lagi. Hidupnya sendiri. Aku khawatir akan keselamatannya. Apa dia bisa menjaga diri?
Kedua, apakah jika aku datang menemuinya ke rumah dimana ayahnya dulu tinggal, aku akan dapat menemukannya di sana? Dan ketika aku bertemu dengannya lalu kuungkapkan maksudku untuk menjadikannya isteri, apa dia akan menerimaku? Semua bercampur menjadi sampah-sampah masalah yang berserakkan tak karuan di koridor-koridor ruang otakku.
Akhirnya kuberanikan untuk mencarinya di rumah ayahnya itu, namun tak bisa kutemukan ia. Kata seseorang yang dekat di sana rumahnya, ia sering terlihat pulang ketika senja tiba. Aku mempercayainya, dan mulai menunggu. Tapi beberapa hari aku di sana, ia tak kunjung pulang.
Suatu saat aku menginap di sebuah mushala di dekat sana. Malam telah larut, bahkan menuju pagi. Aku bangun dan mengambil air wudhu. Setelah selesai melaksanakan shalat malam aku membaringkan kembali tubuhku di ruangan mushala yang gelap tak berlampu itu. Sebuah lilin yang kupasang sudah tak berapi, hanya menyisakan sisa lilin yang mencair. Tiba-tiba kudengar seseorang melantunkan ayat Al-Qur'an dengan indahnya. Pelantunnya kukira adalah seorang perempuan. Tapi dengan kondisi gelap gulita seperti itu, malah membuat bulu kuduk ini merinding.
Pagi menjelang subuh, kukenali wajah si pembaca Al-Qur'an itu. Ketika pertama kali melirik, kukenali ia sebagai orang yang selama ini aku cari. Lalu kami berdua larut dalam indahnya percintaan dengan Yang Maha Kuasa. Kami shalat subuh berjamaah dengan aku sebagai imamnya. Dan hari-hari berikutnya, akulah yang menjadi imam dalam hidupnya. Aku beli dia dengan syahadat dan kubeli rumahnya untuk kuberikan kembali sebagai kewajiban suami atas isterinya.

ORANG GILA

Orang gila
Lagi lagi lagi lagi
Gila gila gila gila
Lagi gila lagi gila
Gila lagi gila lagi
Lagi, lagi, lagi gila
Gila gila gila lagi
Gi gi gi gi gi gi gi gi gi
La la la la la la la la
Orang gila “la…la…la…la…”
Orang gila unjuk gigi
Orang gila lagi gila

NENEK PENJUAL KAPUK

Kapuk…Kapuk…!!!
Suara serak bersaing dengan deru berbagai mesin kendaraan
Mengharap gaung gedung-gedung tinggi menjulang
Di tengahan perumahan gedean
Yang kamar tidurnya berlengkapkan spring bed
Bantal guling dari busa exlusive
Di tegah kota Metropolitan
Yang panas, yang kotor, yang mahal, yang kejam

Kapuk….Kapuk….!!!
Nenek berpakaian bertambal
Berjalan sempoyongan dengan karung bawaan
Di punggungnya yang bungkuk
Makin bengkok bekas beban
Segenggam, kapuk ringan
Sekarung, menjadi beban bawaan

Kapuk….kapuk….!!!
Karung bawaan isi kapuk
Niat untuk dijajakan
Mengisi kasur, bantal, guling
Untuk tidur anak orang
Orang lain

Kapuk….Kapuk….!!!
Nenek tua mengukur jalan
Dengan langkah telapak kaki tak beralaskan
Menjual kapuk, pengisi benda-benda empuk
Bantal empuk, kasur empuk, guling empuk

Kapuk….kapuk…!!!
Kupandang asal suara dari sebuah kedai minuman
Turun naik tenggorokannya memandang segelas teh manis dingin
Memar bibir tua kehausan
Getir, merasakan bumbu pahit kehidupan

Terima kasih
Ucapan tulus yang terucap dari lidah nenek budiman
Saat kujamu ia
Kutraktir segelas minuman

“Setiap hari aku tinggalkan
Pekumuhan
Meninggalkan cucu kesayangan
Yang tak berayah dan tak beribu
Kutinggalkan
Pada dipan
Belahan bambu berjajaran
Tanpa bantal, tanpa kasur, tanpa empuk
Tanpa kehangatan belaian
Seperti anak-anak orang”

BUKIT TULANG

Tak berselimutkan salju yang membeku
Tak bertumpuk bongkahan es membatu
Jika pun ada
Itu khayal, mungkin itu mimpi
Sebuah bukit kecil
Gunung Tulang
Itulah namanya
Dengan panas seterik ini
Dengan angin sekencang ini
Dedaunan berguguran
Pepohonan mengering
Di tebing sana
Api kembali menyala, membakar, menghabiskan
Tanpa sisa-sisa
Tak ada beda
Seperti tahun kemarin

PANTAI LAUT JAWA

Di sini….
Di gundukkan batu dermaga pantai utara Laut Jawa
Di sini tempat para pelancong duduk bersinggah
Bersuka ria
Seiring deburan obak yang kian sore kian menjadi
Seiring sejalan air laut yang berebut masuk ke sela-sela batu
Ah….
Air laut menjiprat membuat bajuku basah, kuyup
Kameraku terikut basah pula, rusak.
Hingga tak dapat kuambil kenangan ini lewat foto
Pantai yang luas yang hanya dibatasi pasir putih yang terhampar
Laut yang luas yang hanya dibatasi garis pemisah laut dan langit
Di ujung nan jauh di sana
Tak apa kameraku tak berguna
Lebih baik begitu
Hingga keindahanmu dapat kuluahkan lewat puisi

BUMBU CINTA

Terkadang pilu terpikirkan
Kenangan bersamamu
Terkadang ingin kulupakan
Tak sampai niat berkenan
Aku bukan kesatria
Hari berganti wanita memuja
Aku bukan pejantan
Surya beralih, gadis merintih ingin dipilih
Kucicipi sejarah asmara
Kukecap bumbu-bumbu cinta
Manis, lezat, asin, asam, pahit, getir
Pahit, pahit, pahit akhirnya……

SEDETIK

Detik, sekian detik ia bersamaku di sini
Di relungan hati ini
Detik sekian seberapa detik
Kurasakan ketentraman bersamamu
Bidadari, dewi surga kahyangan, siapa pun dirimu itu
Meraih tanganku, membangunkan aku dari tidurku
Hanya sedetik mengusap wajah ini
Walau sedetik kurasakan betul manisnya hidup
…………………
Detik-detik hilang
Terbang bersama awan
Detik-detik pergi
Bersama rerintik hujan bulan April
Sedetik
Rerintik
Menggelitik hati…….

Berita : Badan Narkotika Kabupaten Sukabumi Siap Berkarya di Awal Pelantikan

Sukabumi, Mediasi Indonesia
Merebaknya penyalahgunaan Narkoba khususnya di kalangan generasi muda bangsa kita sangat memprihatinkan. Oleh karenanya belum lama ini tepatnya pada tanggal Pemerintah Kabupaten Sukabumi telah meresmikan sebuah Badan baru di lingkungan Pemerintah Kabupaten Sukabumi yaitu Badan Narkotika Kabupaten Sukabumi atau disingkat BNK Sukabumi. Seseuai namanya badan ini bertugas terutama melakukan tiindakan-tindakan preventif untuk mencegah penyalahgunaan Narkoba yang semakin merajalela. Sedangkan Ketua BNK itu sendiri adalah Drs. H. Marwan Hamami, M.M., Wakil Bupati Kabupaten Sukabumi.
“Sebetulnya adanya Badan Narkotika Kabupaten Sukabumi ini telah diatur dalam Perda Kabupaten Sukabumi No. 32 Tahun 2008, namun peresmian dan pelantikannya baru dilaksanakan tanggal 24 Juni kemarin”, ujar Drs. Muhammad Yusuf, Kepala Pelaksana Harian BNK Sukabumi tersebut.
Ketika disinggung mengenai jumlah kasus narkoba yang ada di Kabupaten Sukabumi sampai dengan saat ini, beliau mengatakan bahwa sampai dengan saat ini telah terjadi sekitar 125 kasus. Dan ternyata yang paling banyak terjadi adalah pada tingkatan SMA diikuti dnegan SMP, SD, baru perguruan tinggi.
Sampai saat ini, yang paling banyak terlibat kasus narkoba di kalangan pelajar adalah pelajar SMA. Sedangkan jenis narkoba yang paling banyak digunakan di Kabupaten Sukabumi adalah ganja/mariuwana (60%), putaw (30%), dan selebihnya sebanyak 10% adalah berbagai macam jenis narkoba lainnya. Maka dari itu saat ini pihaknya tengah gencar melakukan sosialisasi kepada anak sekolah dan mahasiswa, seperti yang telah dilakukan di Poltekes Sukabumi, kepada anggota Pramuka se-Kwarcab Kab. Sukabumi pada peringatan Hari Ulang Tahun Pramuka bulan Agustus lalu, dan juga akan dilaksanakan pada acara Pengenalan Kehidupan Kampus STISIP Widyapuri Mandiri, tambahnya.
Menurut penuturan Drs. Ayep Harsono, Sekretaris BNK Sukabumi ini, Sukabumi adalah lokasi yang sangat strategis dalam distribusi narkoba di Indonesia. Jalur darat distribusi obat-obatan terlarang ini adalah dari Jakarta menuju Bali, melewati Puncak. Dikarenakan lokasi Sukabumi yang dekat dengan Puncak, maka Sukabumi dijadikan jalur alternatif distribusi barang haram tersebut. Oleh karenanya adalah suatu keputusan yang sangat tepat untuk menempatkan kantor BNK Sukabumi di Jalan Siliwangi No.143 Cibadak, dekat pertigaan ke arah Pelabuhan Ratu.

Sabtu, 26 September 2009

Ditikam Bayangan Diri

Asep Cahyana

Acara baru saja usai. Semua hadirin telah setengah jam sebelumnya meninggalkan gedung di mana acara wisuda dilaksanakan. Hanya aku dan beberapa orang kawanku yang masih berada di sana. Kami bercengkrama, menyeruakkan obrolan di antara pengalaman-pengalaman menarik dan paling mengesankan selama kami kuliah. Setelah wisuda ini, entah kami akan bisa bertemu kembali dan berbincang-bincang tentang segala hal. Oleh karenanya kami akan menghabiskan waktu terakhir kebersamaan kami di kampus ini bersama-sama.
Wisuda memang telah usai. Kini namaku bertambah panjang dengan embel-embel gelar S.Ip., sarjana ilmu politik, di belakang namaku. Satu gelar yang amat aku inginkan mengingat cita-citaku untuk menjadi seorang politikus begitu besar. Sekarang ini dan selalu begitu menurut perjalanan sejarah bahwa politikus sangat erat kaitannya dengan kekuasaan dan sikap penguasanya yang banyak korupsi. Tapi aku tak gentar, justeru aku ingin mengubah kesan dari politik itu setelah aku terjun nanti. Aku tahu itu tak akan mudah. Tapi aku mempunyai alasan. Baginda Rasulullah dan para khalifah saja bisa berpolitik dengan selalu memegang amanah rakyat. Lalu, mengapa kita tidak mencontoh suri tauladan yang terbaik sepanjang masa itu.
Tadi, sewaktu wisuda dilaksanakan, ibuku sampai menangis. Terharu. Gelar lulusan terbaik dengan nilai yang “cum laude” diberikan kepadaku. Hal itu membuatnya tak bisa menahan tangis bahagia itu. Tangis bahagia yang selama ini selalu kalah bersaing oleh tangis-tangis kesedihannya selama betahun-tahun oleh kelakuan ayahku.
Aku pun demikian bahagianya karena telah dapat menyelesaikan studiku dengan nilai yang memuaskan. Beberapa petinggi perguruan tinggi menyalamiku dengan bangga seraya berpesan untuk ikut serta membangun bangsa dan negara ini dengan ilmu yang telah aku dapatkan dari lembaga pendidikan ini. Suatu amanat berat yang harus aku pikul bersama sarjana-sarjana lain, bersama generasi muda bangsa Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam ini.
“Mari habiskan hari ini bersama-sama kawan. Belum tentu dalam waktu dekat ini kita bisa bertemu lagi. Nanti, kita akan sama-sama sibuk untuk mengurus negeri, mengurus rakyatnya. Apalagi kau, Fa. Kau akan langsung pulang ke kampung halamanmu bukan?”, Anton memulai pembicaraan sambil membuka sebiji kacang rebus yang biasa kami beli dari Pak Amin, tukang kacang rebus yang selalu mangkal di sana.
“Benar, aku akan langsung pulang. Ya, setelah semuanya beres”, jawabku singkat.
“Memangnya kau akan apakan ijazah politikmu itu di kampung, Fa? Gelarmu itu tak akan berguna bila dibawa ke kampung! Lebih baik kau tinggallah di sini. Tidak akan lama lagi pasti banyak parpol yang mengemis meminta kau jadi kadernya. Kemampuanmu yang luar biasa itu sangat diincar oleh berbagai pihak. Apalagi kita semua tahu sekarang ini banyak partai kecil yang ingin cepat melejit dengan cara merekrut banyak kader-kader muda seperti kita. Katanya kaum muda itu revolusioner begitu…”, sergah Munir seakan menceramahi.
“Aku tak akan dulu menggunakan gelarku ataupun ijazahku itu kawan. Aku belum siap!”, jawabku mantap. Tapi di mata mereka ternyata aku terlihat seperti seorang pengecut. Di kelas, di forum kuliah, aku macannya ilmu politik. Tapi mengapa aku menjadi tak berdaya saat mereka bertanya demikian. Mungkin sekali lagi mereka bilang “dasar Rafa pengecut”.
“Masa iya Kawan? Kau kan cum laude, Fa. Lagi pula kau kan macannya kalau dalam soal debat tentang politik. Kau bisa membuat gentar lawan ketika mereka berani menentangmu berdebat. Sekarang kau bilang demikian, mana kami percaya!”
“Maksudku, aku tak ingin terlebih dahulu aktif di politik praktis. Rasanya aku masih terlalu muda untuk terjun di dunia politik yang hitam kelam dan misterius itu. Lagi pula di negara kita ini lagi menjamur banyak parpol yang baru. Aku ingin meneliti dahulu lebih jauh mengenai visi dan misi parpol baru itu. Siapa tahu visi dan misinya tidak monoton seperti parpol-parpol lama. Siapa tahu mereka punya rancangan kerja yang menguntungkan bagi rakyat dalam arti sesungguhnya. Siapa tahu mereka mempelopori gerakan revolusioner yang akan mengubah nasib politik rakyat negara ini, tidak dikekang seperti sekarang ini. Aku akan lebih tertarik kepada parpol baru yang demikian daripada parpol lama dan besar yang opportunist, diktatoris, pemeras rakyat!”, jelasku diakhiri dengan kata-kata geram kepada penguasa saat itu. semangat kaum muda yang masih meledak-ledak di dadaku. Walaupun sebetulnya tak pernah banyak meledak sampai ke luar di tubuh ini karena jikalau sampai demikian itu tandanya aku cari mati. Tak akan sampai dua jam setelah itu, aku akan sudah berada di balik jeruji besi. Tangan besi, diktator!!!"
Mereka hanya bengong mendengar aku berbicara demikian. Sungguh aku melihat ada kekaguman luar biasa dalam diri mereka dengan perkataanku tadi. Tapi kutangkap pula air muka khawatir dari wajah-wajah mereka yang sama lugunya seperti aku. Tapi justeru tak lugu, bahkan geram, dengan kesewenang-wenangan penguasa yang diktatoris itu.
Lalu kami terhanyut dalam obrolan dan perdebatan panjang dan sengit sesama sarjana ilmu politik. Perdebatan yang panas dan mungkin tak akan pernah berakhir jika tak seorang pun dari kami yang mau mengalah.
Perdebatan itu berakhir, dan kami semua pulang masing-masing.

**
Aku tak tahu sejak kapan ada yang memperhatikan aku. Tapi lambat laun kehadiran penguntit itu kini mulai aku rasakan. Sehabis melepas kerinduan bersama teman-teman kemarin, aku memacu sepeda motorku. Pulang ke tempat kosan. Awalnya aku tak mencurigai mobis hardtop di belakangku itu. Tapi setelah kulihat dari kaca spion mereka amat setia, timbullah kekhawatiranku. Aku menangkap gelagat tidak baik dengan keberadaan mobil itu yang terus menguntit di belakangku. Dag dig dug sudah jantung ini.
Kubelokkan motorku ke sebuah gang sempit yang hanya bisa dimasuki motor. Hah, rasakan kau tak dapat mengerjarku kini. Pengecut, beraninya menguntit dari belakang!
Gang itu menuju ke lingkungan perumahan kumuh Ibu Kota. Kupacu ia sekencang-kencangnya. Kupacu tiger itu. memasuki perkampungan yang tak biasa kulewati ketika berangkat ataupun pulang dari kampus. Saat itu musim hujan. Kondisi jalan yang buruk, tentu saja becek. Ah, ternyata benar, penguasa tidak pernah memperhatikan nasib rakyat miskin. Jalan beraspal, ber-hotmix, hanya milik orang-orang kaya, konglomerat, yang bertempat tinggal di pusat kota. Sedangkan bagi orang pinggiran, orang melarat, najis!!! Pembangunan nasional? Mana, pembangunan yang milik semua rakyat Indonesia, menyentuh semua lapisan, jasmani dan rohaninya. Persetan!!! Pantas saja Aceh berontak. Maluku, Irian Jaya yang berganti nama lagi menjadi Papua itu melakukan gerakan separatis. Itu bukan hanya salah mereka, tapi juga kebodohan pemerintah.
Aku menyadari kini tanggung jawabku memang berat. Tanggung jawabku dan pemuda yang lain untuk memperbaiki kebokbrokan negeri ini. Aku harus meneruskan perjuangan Soekarno, perjuangan Hatta, perjuangan Syahrir, dan berjuta pahlawan-pahlawan lain bangsa ini di tempo hari. Semangat mereka hendaknya tetap berkobar di jiwa setiap manusia Indonesia. Sayang, penguasa kini tak bisa meneladani para pejuang. Mereka hanya mewarisi kekuasaan, bukan tanggung jawab. Lihatlah nanti, generasiku. Lihatlah semangat empat lima yang akan berkobar kembali di seluruh Ibu Pertiwi. Lihatlah penguasa kejam. Lihatlah wahai opportunis, kapitalis, diktatoris!!! Lihatlah, kebangkitan pemimpin muda, bukan penguasa muda. Bersiaplah kalian untuk lengser, dengan terhormat, ataupun dengan mengigit jari, terserah! Kapan? Kau tinggal menunggu waktu itu tiba!

**
Aku sudah sampai di rumah kosan. Ibu yang tadi pulang duluan dari gedung wisuda terlihat tengah menyapu halaman. Kumatikan mesin motor dari derunya yang memenuhi alam sekitar berpacu dengan rasa takut yang menyelimuti sekujur tubuhku akibat yang tadi itu. Wanita setengah baya yang sangat aku sayangi sekaligus selalu kuhormati itu menoleh ke arahku datang seakan terpancing oleh deru mesin motor yang baru saja aku matikan.
“Assalamualaikum, Bu. Lho mengapa ibu menyapu, nanti capek. Biar nanti Rafa saja yang melakukannya. Lagi pula kan sebentar lagi kita pulang, Bu. Biarkan saja begitu, nanti juga dibersihkan sama yang punya rumah…”, tegurku.
“Waalaikumsalam, Nak. Kamu sudah pulang rupanya. Sudah bercengkramanya? Lho, mengapa harus nunggu dibersihkan sama orang lain kalau kita biasa, Nak? Menunda pekerjaan itu bukan kebiasaan yang baik lho! Lagi pula kebersihan itu adalah sebagian dari iman, bukan?”, jawabnya seolah agak kecewa dengan perkataanku.
“Bukannya begitu, Bu. Iya sih, memang benar, kebersihan sebagian dari iman. Tapi, Rafa kan tidak mau ibu sakit karena kecapean”
“Justeru ibu malah pegel-pegel kalau tidak kerja, Fa”.
“Kalau begitu, maukah ibu Rafa pijitin?”, tawarku.
“Tidak usah, Nak. Kamu kan baru pulang, nanti saja. Sekarang, kamu makan dulu ya. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu”.
Ah, aku kagum sekali pada ibu yang selalu bekerja tanpa mengenal lelah. Secerainya dari ayah, ibu mendirikan sebuah warung kelontong dengan modal yang pas-pasan. Usahanya itu berulangkali jatuh-bangun karena para pengutang yang kebanyakan tetangga miskin, sama miskinnya dengan kami. Mereka berhutang tetapi tak mau membayar lantas ibu ikhlaskan saja walaupun harus berpikir banyak lagi untuk memperoleh modal usaha itu. Kini warung kelontong itu sudah menjadi usaha yang maju. Belum begitu besar sih, tapi cukup membuat ibu siap menyekolahkan aku hingga lulus perguruan tinggi seperti saat ini. Penjaga tokonya pun sudah bukan ibu lagi. Pengelolaannya sudah diserahkan kepada beberapa penjaga yang notabene adalah temanku sewaktu SMP yang tak melanjutkan sekolah. Salah seorang namanya Rudi, orang kepercayaanku dan ibu. Ibu dan aku mempercayainya karena selain aku kenal kepribadiannya sejak SMP, ia juga seorang yang rajin, jujur, dan ulet. Tidak heran, sekarang ibu telah menyerahkan pengelolaan keuangan toko pada Rudi setelah sebelumnya beliau pegang sendiri. Tapi setelah aku memaksa agar beliau tak terlalu sibuk bekerja, beliau pasrah. Walaupun setiap harinya tetap saja berada di toko hanya sekedar untuk menonton saja kegiatan jual beli di sana.
Perceraian. Ah, iya kata itu memang sebuah kata yang menyakitkan. Begitu pula dengan apa yang dialami ibu. Perceraian ayah dan ibu lima belas tahun sebelumnya membawa dua sisi berlainan, sisi kebahagiaan dan satu lagi tentu saja kesedihan. Sisi kebahagiaannya adalah karena aku dan ibu terbebas dari perlakuan ayah yang kejam, brutal, pemabuk, dan pemarah pula. Tak jarang ibu terkena pukulan ataupun tamparan jika setan alkohol tengah memenuhi ruang otaknya. Sisi kesedihannya adalah bahwa bagaimana pun dia adalah ayahku. Marwoto adalah ayahku. Bagaimanapun kejamnya ia, aku tetap membutuhkan ayah untuk tumbuh besar. Aku butuh seorang pengayom. Tapi, mana mungkin seorang pemabuk bisa mengayomi anaknya. Tapi satu hal pula yang membuat ibu sedih, teramat sangat, adalah ketika dua minggu setelah mereka bercerai, ayah mengambil Rafi secara paksa. Dia membawanya pergi, entah ke mana.
Setelah bercerai dari ayah, ibu tak menikah lagi. Beliau lebih fokus untuk membesarkan aku dan menyekolahkan aku sampai menjadi orang yang sukses. Diajarinya aku shalat, mengaji, dan berbagai keterampilan lain. Begitu pula nasihat dan keteladanan Rasulullah selalu ia selipkan dalam berbagai cerita petuahnya. Beliau sangat menginginkan agar aku menjadi pemuda yang shaleh.
Sepulangya aku dari kampus tadi, aku langsung ke kamar, berganti pakaian untuk langsung makan masakan ibu yang ia kabarkan tadi. Tak aku ceritakan pegalaman menegangkan yang menimpaku tadi. Aku tak mau, seorang wanita tua yang sangat aku kasihi itu menjadi banyak pikiran mengenai hal itu. padahal aku sendiri bingung dengan pengalaman tadi. Aku tak punya musuh. Lantas siapa ya….

**
Aku masih harus tinggal beberapa hari lagi di kota ini, Ibu Kota negara ini, untuk mengurus beberapa dokumen penting yang belum selesai dibuat di kampusku, almamaterku. Ibu juga belum pulang. Katanya ingin menunggu aku. Aku juga tak akan mengijinkan ibu pulang sendiri. Lagi pula di toko ada Rudi dan beberapa karyawan lain yang bisa diandalkan.
Tak aku sangka, sesampainya di gerbang kampus, kawan-kawanku sudah ada di sana. Mereka masih ngumpul juga.
“Wah….wah…ngumpul nih, selamat pagi Indonesia!!!”, sapaku.
“Ah, ini dia politikus muda kita datang lagi, ha..ha…ha. Selamat pagi, Bung! Bagaimana Indonesia hari ini, indahkah?”, jawabnya Anton sambil bercanda.
“Kau ini bisa saja, Bung Anton. Indonesia yang kita cintai ini selalu indah, dan akan selalu indah sepanjang masa! Oh iya, kalian juga ingin mengurus beberapa dokumen ke kampus ya?”
“Benar, Fa. Kau juga bukan?”, Munir yang bicara.
“Iya”, jawabku singkat.
“Eh iya aku hampir saja lupa. Ngomong-ngomong sejak kapan kau suka pergi ke diskotik, Fa? Sejak kapan pula kau suka bercumbu dengan wanita?”, tanya Anton, agak serius mukanya.
Aku menanggapinya dengan cengir, “Kau ini bicara apa sih? Ngaco…”, kuraba keningnya, “Oh, panas…periksa deh!”
“Lha, harusnya aku yang bilang begitu. Tak biasanya kau ke diskotek, tapi tadi malam kau keluar dari diskotik di mana aku dan Munir lewat di halamannya . Iya kan, Nir?”
“Betul! Aku juga sempat heran, mengapa kau berada di sana. Padahal biasanya kau tak mau kami ajak ke sana, apapun alasannya. Kau juga bersama seorang wanita cantik, bercumbu di parkiran, aduhai indahnya….”, tambah Munir.
“Ah, kalian berdua mengigau ya?”
“Ah, sudah mengaku saja, Fa. Siapa gadis itu, atau mungkin bukan gadis lagi, karena kau curi mahkota keperawanannya semalam, hah, ha ha ha ?”, goda Anton lagi.
“Huss, jangan sembarangan! Semalam aku tak kemana-mana. Aku sudah tidur sejak sehabis shalat Isya, capek!”, sanggahku tegas.
“Bener, Fa?”
“Iya, mengapa aku harus berbohong”.
“Lalu siapa pria semalam? Dia mirip sekali denganmu, Fa. Walaupun memang sedikit aneh sih. Dia berambut agak ikal dan agak panjang”, jelas Munir.
“Jadi kejadian itu benar adanya?”, tanyaku penasaran.
“Iya, kami berani sumpah. Pantas saja, aku juga merasa aneh, ternyata bukan kau. Lalu siapa?”
Aku termenung. Mengapa begitu banyak kejadian aneh akhir-akhir ini. Kemarin aku ada yang mengikuti dari belakang, untung bisa lolos. Sekarang, Anton dan Munir memberi kabar bahwa aku bersama seorang perempuan tadi malam, di diskotik lagi. Ada apa ini sebenarnya? Siapa orang yang mengikutiku? Siapa orang yang mirip denganku?
Aku berfikir lebih lama lagi. Tak kuhiraukan kedua temanku pergi meminta izin pergi untuk sarapan bubur. Kupikirkan jeli-jeli. Lalu kuingat seseorang yang pasti akan mirip denganku, tetapi jika ia memang masih hidup.
Dialah Rafi, adik kembaranku. Tapi benarkah dia masih hidup? Aku tak yakin dia masih hidup. Marwoto telah meyakinkan bahwa dia sudah membunuh Rafi. Ataukah hal itu Marwoto lakukan hanya untuk menyiksa batin ibu? Aku tak tahu. Tapi yang jelas ancaman Marwoto berhasil. Ibu sangat sedih ketika mendengar Rafi akan dibunuh. Mengapa dia membawanya kalau hanya ingin membunuhnya, begitu kata ibu.
Lantas, jika benar itu adalah Rafi dan dia masih hidup, mengapa ia tak mencari kami? Ia malah berkeliaran di jalan salah, main wanita. Padahal orang bisa saja tertipu, menyangka dia adalah aku dan orang akan menjadi tak respek padaku dan rusaklah nama baikku. Ataukah memang itu yang dia inginkan? Untuk apa?

**
Dua tahun telah berlalu. Kini aku sudah berada di kampung halamanku di Bandung. Ijazah S.Ip-ku membawaku menjadi salah satu pengurus partai nasionalis yang kuanggap membawa misi-misi kesejahteraan rakyat. Partai ini dibentuk untuk betul-betul menyampaikan aspirasi rakyat, seluruh rakyat. Sehingga satu hal yang wajib dipegang teguh adalah mengikuti kehendak dan keinginan rakyat.
Nampaknya latar belakang pendidikan telah membawa pengaruh baik dalam perjalanan karirku. Dalam dua tahun keanggotaan, aku telah melejit menjadi salah satu pengurus daerah partai itu. Dengan usia yang masih amat muda, aku sudah dicalonkan menjadi salah satu calon legislatif untuk pemilu yang akan datang. Para pengurus lain mencalonkan aku dengan alasan untuk regenerasi partai. Orang muda harus segera dipercaya. Orang muda lebih cerdas berpikir. Dan berbagai alasan lain yang mendukung, tentu saja karena mereka simpatik kepadaku.
Namun seperti kata pepatah, kepala bisa sama hitam tetapi pendapat selalu banyak berbeda. Tak semua orang setuju dengan dicalonkannya aku. Banyak politisi senior yang tak suka dengan keputusan forum untuk mencalonkan aku menjadi anggota dewan pusat. Tapi bagaimanapun palu sudah diketuk, toh aku tetap dijagokan di pemilu yang akan datang.
Karirku memang berjalan dengan cemerlang. Menginjak tahun ketiga, poster-poster, pamflet-pamflet, dan baliho-baliho bergambar wajahku dan lambang partaiku terpampang di setiap sudut kota. Tertulis “Rafa Burhanuddin, Calon Legislatif Partai A, Pemuda harapan baru bangsa kita!!”.
Tapi kesuksesan ini ternyata tak semulus yang diharapkan. Menginjak pertengahan tahun ketiga, isu tak mengenakkan menyerang. Banyak kejadian kriminal seperti perampokan bank dan penodongan diberitakan melibatkan aku di dalamnya. Bahkan polisi mendapati wajah perampok yang tak bertopeng itu mirip denganku hasil potret seorang wartawan yang menyaksikan kejadian itu tapi mati tertembak.
Tercemarnya nama baikku dimanfaatkan oleh pesaing-pesaing tuaku untuk mengasingkanku dari jajaran pengurus partai. Mereka yang membenciku meminta rapat terbatas untuk mengeluarkan aku dari kepengurusan sekaligus dari partai. Karirku meredup. Dan padam sama sekali. Semua baliho, pamflet, stempel yang bergambarkan aku yang sedianya terpampang di setiap sudut kota, habis. Semuanya hilang, baik yang dicopot oleh kader partai ataupun oleh masyarakat yang mengetahui dari media massa bahwa orang yang di foto itu adalah residivis yang sekarang tengah mendekam di penjara.
Ya, kasus-kasus itu kini mengantarkan aku ke balik dinding berjeruji besi. Atas dasar kesamaan wajah dan ciri-ciri fisik yang tak dapat dibantah, polisi telah menuduh dan menangkapku sebagai bajingan. Mereka menganggapku seorang kriminal. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa pasrah dengan kenyataan menyakitkan ini. Tak hanya karirku yang jatuh tetapi tubuhku kini membusuk di dingin dan lembabnya lantai bui.
Serentetan kejadian yang menimpaku ini awalnya hanya aku anggap sebagai ujian ringan atas iman dan perjalanan karirku sebagai seorang politisi muda. Tapi semuanya menjadi terasa berat ketika kasus-kasus yang dituduhkan kepadaku sampai di telinga ibu. Ia shock berat. Ibu memang sudah semakin tua dan tidak akan kuat menerima kenyataan bahwa anaknya, anak kebanggaanya sekarang berada dalam penjara. Kasihan beliau ketika harus menerima cacian dan makian semua orang. Katanya, pantas saja kalau anaknya jadi penjahat, orang bapaknya Si Rafa itu juga penjahat kok, pemabuk, begitu kata mereka.
Saat beliau menjengukku, yang hanya sekali-kalinya itu, dengan diantar oleh Rudi beliau mengatakan bahwa beliau yakin bukan aku pelakunya. Beliau juga mengatakan bahwa orang yang jahat itu pasti Rafi. Marwoto pasti mendidiknya menjadi seorang kriminal, begitu katanya. Tapi bagaimana mengatakan pada semua orang bahwa bukan aku pelakunya, bukan Rafa Burhanuddin pelakunya.
Saat itu ibu pingsan ketika sipir penjara menyeret ibu dengan paksa agar segera pergi meninggalkan penjara mengingat jam besuk sudah habis. Aku geram dengan sipir itu, hingga aku membanting kepalanya dengan sebuah kursi. Dan dia mati. Memang tak seharusnya aku membunuhnya. Ia, sipir penjara yang telah bertindak kurang ajar kapada Ibuku itu, tengah menjalankan tugasnya. Sebagai seorang yang mengerti hukum, aku seharusnya tak berbuat demikian. Tapi tak seorang pun yang aku ijinkan menyentuh ibu dengan cara kasar seperti itu. Dan aku menjadi benar-benar kriminal sekarang. Aku seorang pembunuh. Pembunuh sipir penjara. Dan berita itu telah pula memenuhi halaman depan koran-koran nasional. Luar biasanya aku ini di mata kaum pers.
Lama, berbulan-bulan ibu dikabarkan sakit. Mungkin karena terlalu lelah memikirkan aku yang dipenjara atau juga karena tak ada seorang pun yang membeli kelontong ke toko kami. Katanya, sekarang toko sudah itu bangkrut. Bahkan ibu sekarang tinggal di rumahnya Rudi, yang sekarang berpekerjaan mengojeg.
Tapi, aku tak diijinkan menjenguk ibu walau sebentar. Aku bahkan ditempatkan di pembuian khusus, hanya dapat duduk dan berdiri di ruangan ukuran satu kali satu meter dengan tinggi dua meter. Mereka melakukan itu karena aku membunuh sipir brengsek itu tempo hari.
Belum juga luka itu kering. Belum juga aku sempat menjenguk ibu, ibu telah dikabarkan meninggalkan aku untuk selamanya. Ia telah menghadap Sang Pencipta setelah sekian lama menanggung beratnya beban hinaan orang. Hatiku perih menerima kenyataan itu, menerima kenyataan ia telah tiada. Perih tak terhingga menusuk seluruh pori tubuh ini. Di pemakamannya, dengan kawalan ketat polisi dan tangan yang terikat borgol ke belakang aku mencoba bersimpuh di samping gundukan tanah merah yang masih basah itu. Aku yang seorang pembunuh ini memohonkan ampun pada Tuhan agar mengampuni segala dosa ibu. Entah akan diterima atau tidaknya doa pembunuh seperti aku ini. Yang pasti aku berjanji kepada ibu saat itu untuk membuktikan ke semua orang bahwa bukan aku pelaku kejahatan perampokkan itu walaupun ibu sudah tahu itu. Aku hanya pembunuh sipir penjara, bukan perampok.
**
Kini sudah dua puluh tahun aku meringkuk dan terpuruk di busuknya penjara. Semua penjahat yang keluar masuk penjara telah banyak aku kenali tapi tak seorang pun berani menyentuhku. Mereka takut. Mereka selalu bilang bahwa tak ada yang berani membunuh sipir penjara selain Rafa Burhanuddin. Mereka mungkin tak tahu bahwa aku melakukannya karena terpaksa.
Keluar masuknya para kriminal, aku tahu semuanya. Mereka masuk dan beberapa tahun kemudian keluar lagi. Rasanya memang aku yang tertua yang menghuni hotel prodeo ini. Entah kapan semua ini akan berakhir, mungkin sepanjang hayat aku akan membusuk di lantai dingin ini. Jeruji besi yang angkuh ini kuharap akan segera berkarat dan lapuk sehingga dapat segera aku keluar dari dalamnya. Para sipir yang sudah semakin tua itu semoga akan segera mampus sehingga aku bisa keluar dan menangkap bajingan Rafi serta membuktikan kepada semua orang bahwa yang perampok itu dia, bukan aku. Walaupun dia kini telah berlindung di balik punggung politisi pesaingku dulu yang kini telah jadi penguasa, aku tak takut untuk menangkapnya. Tunggu aku bajingan!!!

***

Puisi-Puisi Religi

PERANG

Genderang telah ditabuh
Sya’ban telah berakhir
Hari panas telah tiba
Perang segera dimulai
Perang paling besar, amat besar
Genderang telah ditabuh
Perang segera berkecamuk
Tapi anehnya
Muslim bersuka cita
Apakah akan menang perang?
Apakah yakin musuh dapat ditaklukan?
Seribu bulan, derajat ketakwaan
Imbalan dalam kecamuk perang
Harta rampasan tiada tara
Diperebutkan setiap orang
Hari kemenangan
Menandai akhir perang
Tak semua muslim menang
Yang berperang, yang menang
Yang pengecut?
………………

JATUH CINTA 1

Aku harus mengenali
Aku sedang jatuh cinta
Jatuh cinta kepada-Nya
Setiap kusebut nama-Nya Yang Agung itu
Nyata dadaku berdebar
Berdetak sekencang mungkin
Allahu akbar
Saat aku berdiri
Ingin segera kutemui
Kadang tak bisa kutahan
Ingin menemui-Mu
Subhanallah
Setelah ku bertemu
Susah hati berpisah
Betah aku di rumahmu
Ingin kuberikan yang terbaik
Untukmu dari hambamu
Tapi apa?
Kadang pula aku cemburu
Jika kulihat mereka
Mengenalmu
Melebihi aku
SAAT

Saat hati gelisah
Saat iman mulai goyah
Saat nafsu mewabah ke seluruh badan rohaniah
Naudzubillah….
Saat hati senonoh
Saat takwa kian kokoh
Saat iman memenuhi urat tubuh
Alhamdulillah….
Selalu kuingat Allah
Tuhanku
Bila engkau berpaling
Tak berarti hamba sedikit pun
Bila Engkau tak cinta
Celaka hamba sebatang kara
Hamba ini lemah
Amat tak berdaya
Tanpa pertolongan
Tanpa peringatan
Dari-Mu, Tuhanku



JATUH CINTA 2

Mengapa cinta ini tak dapat dibendung lagi?
Mengapa kasih ini tak dapat tertahan lagi?
Aku ingin bertemu
Dengan segera
Dengan lama berduaan
Aku mencintai-Mu
Namun aku malu
Karena kau selalu berikan lebih dari itu
Aku juga mau
Selalu dekat
Bahkan bersama setiap waktu
Tapi aku kotor
Kau kadang mungkin enggan dekat denganku
Yang banyak dosa
Yang kotor hatinya
Aku memohon
Cintailah aku
Setiap waktu
Sepanjang masa
Aku rindu merasakannya
Telah lama
Aku tak merasa


JANJI BERTEMU

Ini adalah cinta
Mengingatnya setiap waktu
tak membuat kalbu jemu
Mengucap-Nya setiap waktu
tak membuat lisah lelah
Menemui-Nya di pagi hari,
menyejukan hati
Menjumpai-Nya di senja remang,
menjauhkan hati dari gamang
Meratap di hadapannya-Nya di malam buta,
Membuat mata hati terbuka
Ini cinta
Sungguh, ini nyata
Kau harus percaya
Kau harus pula melakukannya
Bertemu dengannya
Di waktu-waktu istimewa




PERTANDA

Ulama di dalam penjara
Celaka karena umatnya
Pengkhianat di belakang meja
Berkeliaran begitu saja
Mentertawakan ulama
“Tuhanmu tak melindungimu”, katanya

Ulama di dalam penjara
Sedang pengkhianat di meja kerja
Adanya
Apa ini nyata?
Apa kau memperhatikannya?

Ulama di dalam penjara
Ulama di dalam bui


Ulama di balik dinding bui, jeruji besi karatan
Koruptor liburan di bali

Bulan tergantung di kedalaman laut
Mentari terbit dari Barat
Bumi kian senang muntah
Ini pertanda dari-Nya



CATATAN AKHIR RAMADHAN I

Setelah sekian hari kurindukan
Tiba pula hari ini, malam ini
Ada gembira dalam hati
Pula kecewa di lain rasa
Gema takbir berkumandang
Bedug bertalu-talu
Ketupat melambai
Daun nyiur yang dirangkai
Tapi
Sesal datang dalam riang
Sebulan ini, oh Ramadhan ini
Yang terbaik tak kulaksana
Yang malam, yang sempurna
Lailatul qodar
Aku mungkin tak mendapatkannya
Aku lalai tahun ini
Aku lengah dengan nikmat-Nya
Aku takut
Tahun depan Aku tak lagi bertemu
Dengannya


CATATAN AKHIR RAMADHAN II

Sudah saatnya dia pergi
Setelah sebulan menemani
Hari-hari
Yang panas
Yang haus, yang dahaga
Yang lapar, menganga
Saatnya dia pergi
Setahun ke depan, dan akan kurindukan
Dia pergi perlahan-lahan
Ditandai berlalunya malam-malam indah
Diiringi sorak sorai kemenangan
Lailatul qodar, malam seribu bulan
Dia pergi dengan kesan mendalam
Ditandai gema takbir berkumandang
Bedug bertalu-talu bersahutan
Diiringi bunyi petasan
Dia pergi entah akan kembali
Dalam kitab hidupku
Dalam lembaran pengalamanku
Ada sesal dalam dada
Selama ia ada, tak kujamu ia
Sesal, akankah lagi bertemu?

SEMERAWUT

Tak lebih dari sebesar ujung kuku
Hanya separuh waktuku
Rumus untuk mencari ilmu
Hingga maju
Hingga habis semua buku-buku

Tak susah untuk bercita
Mudah sekali
Terlampau mudah
Asa berharap banyak
Cita merasa bisa

Tangan cita melambai
Kudekati tebing ia berdiri
Kuremehkan
Yakin dapat kutaklukan
Ia tertawa, tersenyum
Masih melambai, melempar harapan semu

Mungkin ia berteriak dalam sunyi suaranya
Tak mungkin dapat kau gapai
Dengan begitu sikapmu

Hingga kadang aku tertahan
Kadang jatuh lagi
Kadang naik lebih tinggi
Aku sadari kini
Tak mudah mencapai dan mencari
Budi pekerti

Cerpen : Hand Phone

A. Cahyana


Keadaan SMA Karya Bhakti sore itu, hari Sabtu, hening. Rasanya sangat berbeda dari biasanya. Biasanya setiap hari selalu saja orang di sekolah yang termasuk salah satu sekolah favorit di kota itu. Walaupun itu sekolah swasta tapi kualitas lulusannya siap diadu dengan lulusan sekolah negeri sekalipun. Orang-orang yang biasanya datang sore hari kesana bisa siswa yang mengikuti kegiatan ektrakulikuler yang seabrek jumlahnya ataupun hanya warga umum yang mau nebeng bermain basket di lapangan basket sekolah. Pihak sekolah tak melarang hal itu asalkan mereka yang bermain di sana tak merusak fasilitas sekolah dan tak mengganggu keamanan, keindahan dan kebersihan sekolah.
Di satu sudut sekolah itu tepatnya di sudut dekat ruangan tata usaha berdiri sebuah bangunan. Di pintu ruangan itu tertulis “KOPERASI SEKOLAH”. Terlihat seorang siswa yang masih berpakain seragam sekolah sibuk membereskan kardus bekas makanan dan minuman yang jumlahnya lumayan. Koperasi siswa itu memang menyediakan berbagai macam kebutuhan siswa sekolah mulai dari alat tulis, seragam, topi siswa, sampai dengan makanan dan minuman ringan yang bisa dibeli siswa setiap jam istirahat tiba.
Orang yang sedang sibuk beres-beres itu adalah Andri, salah seorang pengurus koperasi siswa di sekolah itu, tepatnya sekretaris koperasi siswa. Ia giliran piket di koperasi itu hari ini. Salah satu tugas petugas piket adalah membereskan ruangan koperasi sepulang sekolah sehingga layak dipakai lagi keesokan harinya setelah bertaburan sampah di setiap sudutnya akibat kegiatan jual beli setiap harinya.
Seharusnya ia tidak piket sendiri hari ini. Setiap hari memang petugas piket terdiri dari dua orang. Tapi hari ini, Viany, teman sekelasnya, yang seharusnya menemani ia piket dikabarkan sakit. Ia juga belum mengetahui pasti akan kebenaran berita itu karena belum menghubunginya.
“Ah, aku malas sebetulnya bekerja sendirian seperti ini, sendiri, tak ada teman mengobrol. Ah, Viany….Viany….kenapa sih kenapa kamu mesti sakit segala…. Mana hand phone aku lagi disita lagi sama ayah gara-gara nilai raportku semester kemarin turun drastis”, sesal Andri dalam hati.
Setelah semuanya beres ia duduk-duduk di kursi panjang di depan kantin sekolah itu, tempat di mana para pembeli duduk menikmati penganan yang mereka beli di koperasi itu. Di kursi itu Andri memutar otak, bagaimana caranya agar bisa menghubungi temannya yang sekaligus seorang wanita yang telah lama ia dambakan. Sebenarnya Andri menyukainya sejak kelas satu dulu. Tapi tak berani ia mengatakan hal itu, selain ia tak mau merusak persahabatannya dengan Viany, mereka juga sama-sama anak Rohis yang memang sama-sama tahu hukum pacaran menurut Islam.
Mau menelfon ke wartel tidak mungkin. Ia sudah tidak punya uang lagi hari ini, maklumlah akhir minggu. Buat anak kos yang pulang seminggu sekali ke rumah, hari Sabtu adalah hari yang amat mengerikan. Boro-boro ada uang untuk malam mingguan. Kalau mau malam mingguan dengan uang di tangan, dari hari Senin sampai hari Jumatnya harus menghemat sebisa mungkin. Itu yang tidak dilakukan Andri minggu ini. Ia tak menghemat uang jajannya seminggu ini. Sehingga, boro-boro buat hal yang lain, pulang ke rumah saja ia menunggu jemputan ayahnya.
“Kringgg….kringg….kring…..”.
Sejenak Andri tertegun dengan suara itu. Suara itu mengganggu lamunannya. Ia pun dengan gerak refleks yang tak ia sadari sepenuhnya merabai setiap kantung yang ada pada seragag yang ia kenakan. Tapi.
“Astagfirullah…..mengapa aku begitu bodoh, aku sampai lupa. Aku kan nggak punya hape sekarang ini. Terus….tadi itu bunyi apa ya? Jangan-jangan hantu penunggu sekolah lagi. Ini kan sudah sore. Dia nggak suka kali aku di sini. Ih serem juga”,. Bulu kuduk Andri naik merespon terkaannya tentang hal mistis itu dalam hatinya.
“Kriing…kringgg….kring…..”. suara itu terdengar lagi.
Andri yang tadi sudah memutuskan segera pulang karena rasa takut kembali tersentak.
“Ah…rasanya itu suara hape. Ya, benar-benar suara hape. Tapi dari mana ya suara itu berasal? Apa dari ruang TU? Ataukah dari ruang kepala sekolah? Ah, tapi kedengarannya suaranya dari dalam sini. Tapi setahuku, koperasi siswa ini tidak menjual hape….”, selidiknya dalam hati. Lalu, karena rasa penasarannya, ia membuka pintu koperasi yang dari tadi sudah dikunci. Matanya mulai mencari-cari setiap sudut dalam ruangan ukuran empat kali dua meter itu. Tak lama, ia melihat sebuah benda tergeletak di meja kasir. Karena hari sudah senja dan setiap jendela sudah ditutup serta lampu sudah dimatikan, tak jelas benda itu terlihat. Hanya bentuknya saja berbentuk seperti hape.
Andri menekan stop kontak. Nampak benda yang belum jelas terlihat tadi. Ternyata benar, sebuah hand phone berwarna merah tergeletak di meja kasir seolah sedang menunggu seseorang menemukannya.
“Lho, kok ada hape di dalam sini sih? Hape siapa ya?”, pikirnya sambil mendekati meja kasir itu. Ia ambil benda ia perlahan seperti masih belum percaya ada benda itu di dalam ruangan koperasi siswa. Ia tekan salah satu tombolnya. Nampak pada hape itu ‘Dua panggilan tak terjawab’ yang ketika ia tekan nampak nama penelfon, My mom. ia tekan lagi salah satu tombolnya dan tampil menu kalkulator di layarnya”.
Sejenak ia berfikir.
“Oh, mungkin ia hape miliknya Resha, dia kan kasir. Ya…ya…ya…mungkin karena menghitung harga barang yang datang tadi siang dia gunakan hapenya. Lalu karena terburu-buru pulang, hapenya ketinggalan. Tapi dia kan nggak bakalan tahu bahwa aku yang menemukannya. Lagi pula aku kan nggak punya hand phone sekarang….”, setan mulai masuk ke dalam urat syarafnya dan mempengaruhi akal sehatnya.
“Astagfirullah….tidak! Aku tak boleh mengambil milik orang lain”, pikirnya lagi menepis pikiran jahat yang datang tadi.
“Sudah jam setengah enam. Sudah sore. Gimana ya ngembaliinya? Emh, rumahnya kan cukup jauh. Ah, aku SMS saja”, sejenak ia mengetik seseatu di hape itu. Ia kirimkan apa yang telah ia ketik itu kepada nomor pemanggil tadi, My Mom. Ia pikir mungkin Resha bingung mencari-cari hapenya dan meminjam hape ibunya miss call hape dia, aktif atau tidaknya.
“Sudah setengah enam nih. Lebih baik aku pulang dan mengembalikannya esok hari sebelum pulang ke rumah”, pikirnya sambil mengunci pintu ruang koperasi itu dan segera melangkah pulang.
Setibanya di rumah, Andri duduk di balai-balai, di sebuah kursi rotan di kosan yang sederhana itu. Hand phone itu berbunyi lagi bahkan sekarang dengan nada yang berbeda dengan tadi ketika ia mendengar hape itu berdering di ruang koperasi sekolah.
Ia membuka hand phone yang terkunci itu dan mendapati sebuah pesan. Ia beranikan membaca apa yang tertulis di pesan itu. Bagaimanapun ia harus membukanya, siapa tahu kabar dari pemiliknya. Ia benar-benar membukanya.
Didapati isinya…
“Alhamdulillah…...kalau begitu terima kasih ya Andri. Bawa saja dahulu olehmu hape itu. Besok sebelum kamu pulang ke rumahmu tolong antarkan ke sekolah, aku akan mengambilnya ke sana. Ok?!”, begitu isi dari SMS itu.
Suara puji-pujian menunggu waktu adzan magrib yang dibawakan anak-anak di mesjid dekat kosan, membawanya hanyut dalam kelelahan yang sangat karena aktivitas hari itu. Sedikit demi sedikit tubuhnya lunglai, kalah dengan rasa kantuk. Puji-pujian itu seolah telah menjadi lagu yang menina bobokannya.
“Begitu ya, kalau begitu aku mungkin bisa meminta beberapa SMS saja untuk menghubungi Viany”, pikirnya berniat memanfaatkan barang orang lain tengah ada padanya.
Tapi baru saja ia mulai mengetik, terdengar suara seseorang memanggilnya.
“Andri, Andri…….”. Suara itu terdengar sayup-sayp.
Ia keluar dan melirik ke arah halaman rumah kos yang cukup luas itu. Kini matanya melirik ke arah pintu pagar masuk. Ia tersentak kaget ketika didapatinya seseorang yang tak ia duga datang dan kini tengah berada di dalam pandangan kedua matanya.
“Viany….mengapa dia ke sini?!”, pikirnya dalam hari.
“Ternyata kamu, Viany. Mengapa kamu ke sini? Aku baru saja mau nge-SMS kamu, tapi kamu datang duluan”, tegurnya dengan nada yang aneh tetapi senang pula dengan kedatangan wanita yang ia sukai itu.
Tetapi belum juga teguran itu terbalas, Viany telah ambruk, mejatuhkan tubuhnya di tengah halaman rumah kosan itu. Andri yang jaraknya sudah dekat dengan Viany segera memburu. Perasaan cemas segera merasuki seluruh tubuhnya manakala remaja perempuan cantik itu tergeletak tak sadarkan diri dalam pangkuannya.
“Ya Allah, bagaimana ini. Seandainya aku membawanya ke tempat kosan, bagaimana kata tetangga nanti. Bagaimana kalau mereka menuduh yang tidak-tidak, bisa-bisa aku disangka akan berbuat yang tidak senonoh dengan Viany.”, pikirnya bingung dengan apa yang harus ia perbuat.
“Allahu akbar Allahu akbar……….”, suara adzan telah bergema di seantero jagat raya sore itu menandakan waktu magrib telah tiba. Saatnya semua orang menghentikan aktivitasnya dan melaksanakan perintah Yang Maha Kuasa untuk semua orang yang beriman.
Andri tersentak oleh suara adzan yang mengisi seluruh kepalanya melalui kedua telinganya.
“Astagfirullah, mengapa aku malah melamun. Ini sudah magrib, baiknya kubawa saja Viany ke rumah, mungkin sebentar lagi siuman. Aku akan laporkan saja kepada ibu kos supaya tak dituduh yang macam-macam”
Tak lama kemudian dengan susah payah ia mengangkat tubuh remaja cantik itu. Ia tak berfikir bahwa ia menikmati dekapannya terhadap perempuan yang ia sukai itu. Ia hanya berfikir bahwa ia sedang menolong seseorang, bukan memanfaatkan situasi. Setelah sampai di kamar dan mengabarkan semua yang terjadi kepada ibu kos, dia termenung mengamati paras cantik di kasur kamar tidurnya itu. Ibu kos mengerti akan semua yang terjadi dan mengijinkan Viany tidur di rumahnya, tepatnya di kamar Andri, sampai ia siuman dan bisa pulang ke rumahnya.
Gadis yang tengah dihadapinya itu memang cantik. Tak akan menjadi suatu kerugian apabila ia bisa memilikinya. Justeru akan jadi suatu kerugian bila ia tak bisa memiliki gadis manis berkerudung lebar itu. Tapi itu tak mungkin, tak mungkin ia berkhianat akan kesucian persahabatannya dengan gadis itu. Lagi pula tak mungkin Viany menerimanya sebagai kekasih karena ia sama dengannya mengetahui bagaimana seharusnya hubungan gadis dengan pemuda menurut pandangan Islam, bagaimana seharusnya seorang akhwat ataupun seorang ikhwan bisa menjaga harga dirinya. Itu tak mungkin terjadi, dia tak mungkin mau menjalani kisah pacaran seperti selama ini dibencinya. Dalam lamunan itu, Andri terus menatap wajah ayu di hadapannya itu.
“A…Aku di mana ini?”, suara serak itu keluar dari bibir-bibir tipis wanita cantik dalam pembaringan itu.
Andri yang dari tadi memperhatikan Viany dengan kedua bola matanya tersentak kaget ketika tiba-tiba Viany sadar dan sudah menatapnya dalam-dalam.
“Ka…kamu di rumahku. Iya, kamu di kosanku. Tadi kamu pingsan di halaman kosan aku. Kamu minum dulu ya!”, kata Andri sambil mengambil segelas air putih di meja dekat kasur itu yang sejak tadi sudah diambilkan oleh ibu kos. Viany yang merasakan tenggorokannya begitu kering segera bangkit tanpa membantah. Diteguknya seluruh isi gelas itu. Nampak sekali bahwa ia sedang kehausan.
Andri bangkit seolah memberi isyarat untuk mengambil air minum lebih banyak setelah melihat Viany begitu kuat meneguk semua air dalam gelas tadi. Tapi langkahnya tertahan ketika Viany meraih tangannya. Ia setengah tak percaya dengan apa yang Viany lakukan.
“Mengapa ia lakukan ini? Mengapa ia berani-beraninya memegang tanganku? Mengapa ia tidak seperti Viany biasanya yang sangat hati-hati berhadapan dengan laki-laki. Mengapa sekarang justeru ia berani memegang tangan seorang laki-laki seperti aku walaupun aku adalah sahabat karibnya?” pikir Andri dalam hati. Ia berbalik.
“Ada apa?’, tanyanya.
Viany tak menjawab sepatah kata pun terhadap pertanyaan singkat Andri. Setelah beberapa menit pun tak ada sedikit pun perkataan yang keluar dari bibir tipis itu. hanya air mata saja yang sedikit demi sedikit mengalir seperti sebuah sungai kecil di kedua pipi putih gadis itu.
Amir terheran, dan bahkan semakin khawatir. Ada apa sebenarnya?
“Baik kalau kamu belum bisa cerita. Aku tak akan memaksamu. Kamu tiduran saja sekarang. Jangan khawatir, ibu kos sudah tahu kalau kamu ada di sini dan beliau mengerti. Kalau kamu mau, bermalam saja di sini, biar nanti aku tidur di sofa. Tapi kalau kamu mau pulang, nanti setelah shalat Magrib kuantar kamu ke rumah”, ucapnya seolah menenangkan perempuan yang terlihat bingung itu. padahal ia tak punya uang sedikit pun di kantongnya. Pikirnya, jika memang nanti ia harus sampai mengantar Viany pulang, ia akan meminjam uang kepada Deni, teman kosnya.
“Aku mandi dulu ya, mau shalat maghrib, hampir habis waktunya”, katanya sambil meletakan hape milik Resha yang ia temukan di koperasi tadi di atas meja belajarnya.
Viany tak memberi respon. Andri berlalu masih dengan perasaan khawatir dengan kondisi Viany.
Setelah ia mengambil handuk, ia mandi. Agak tergesa juga melakukannya karena takut waktu magrib keburu habis. Setelah mengambil air wudhu, ia segera kembali ke kamar.
Betapa terkejut ia ketika sesampainya di kamar, Viany sudah tak ada di tempat tidur. Ia lebih terkejut ketika didapatinya hape yang tadi ia letakan di meja belajarnya juga raib. Rasa bingung dan khawatir kini merasuki seluruh urat nadinya lebih kuat daripada sebelumnya. Jika tadi ia hanya mengkhawatirkan keadaan Viany yang lain dari biasanya, kini ia juga mengkhawatirkan hape milik orang lain dan juga Viany yang hilang.
Segera ia bergegas ke ruang keluarga, tempat di mana ibu kos yang hidup menjanda dan tanpa anak itu suka duduk-duduk sendiri. Tapi tak didapatinya Viany di sana, hanya ibu kos saja yang terlihat sedang duduk dan mengalunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Betapa shalehahnya ibu kos itu. Ia tak pernah terlihat bersedih walaupun hidupnya selalu sendiri setiap waktu, tanpa anak, tanpa suami. Tak sampai berani Andri mengganggu ibu kos-nya untuk menanyakan Viany. Ia bergegas mencari Viany ke seluruh sudut rumah itu. Tapi hasilnya nihil.
Ia pikir mungkin Viany sudah pergi keluar. Tanpa pikir panjang lagi, setelah berpakaian, dan bahkan tanpa menyisir rambut, ia bergegas ke luar rumah, berharap Viany belum pergi begitu jauh.
Belum begitu jauh ia melangkah, didapatinya seorang perempuan beberapa ratus meter di depannya sedang mencoba berlari menjauhi rumah kosannya. Ia perhatikan sosok berkerudung beberapa ratus meter di depannya itu. Viany, ya Viany. Langkahnya nampak agak tergusur.
“Viany….tunggu….!! Tunggu aku, mau kemana kamu? Mengapa tak bilang kalau kamu mau pulang, aku kan bisa mengantarmu”, teriak Andri dari kejauhan. Hal itu mengundang beberapa orang yang ada di sekitar sana melirik sinis padanya. Orang lain sedang shalat maghrib kok malah teriak -teriak.
Viany menoleh, mungkin ia mendengar teriakan itu. Tapi bukannya ia berhenti dan menunggu orang yang memanggilnya itu, ia malah terlihat kaget dan terlihat berusaha mempercepat langkahnya. Kini ia mencoba untuk berlari walaupun perasaan lemah dan letih tak dapat disembunyikan dari gerakan tubuhnya.
“Ada apa dengannya, mengapa ia terlihat takut sekali kepadaku? Jangan-jangan….ah tak mungkin ia mengambil hape itu”, pikir Andri semakin bingung. Walau begitu ia terus berlari mengejar perempuan berkerudung lebar yang justeru semakin menjauhinya itu.
Viany terus berlari tanpa melihat jalan yang ia lalui. Perhatiannya hanya ditujukan kepada bagaimana ia menghindari Andri. Sesekali ia melirik ke belakang dan terlihat Andri yang masih setia mengikutinya. Sampai satu saat ia mencoba untuk menyebrang jalan raya.
Tiba-tiba dari arah utara , sebuah bus berkecepatan tinggi melaju dengan sombongnya. Supirnya yang tak menyadari ada seseorang yang menyebrang di depannya tak sempat menginjak rem, sehingga…..
“Bukk!!!”, tubuh Viany terpental sejauh beberapa meter. Ia tertabrak bus itu. Tabrakan maut yang tak dapat dihindarkan lagi.
“Tidak!!!!”, Andri yang menyaksikan kejadian itu dari jarak yang tak begitu jauh berteriak histeris.
Ia berlari sekencang mungkin untuk dapat menggapai tubuh Viany. Orang orang pun segera datang bergerombol mengerumuni dia dan Viany. Namun semua sudah terlambat. Bus dengan kecepatan tinggi itu telah menghantam tubuh Viany dan menyebabkan ia tak dapat bernafas lagi, meninggal dunia. Innalilahi wainna ilaihi rajiun…..
Andri mendekap tubuh yang berlumuran darah segar itu. ia mengusap lembut kepala gadis itu. Kerudung putih yang dikenakannya kini merah dan basah oleh darah. Betapa nyerinya hati Andri menerima kenyataan bahwa Viany sudah tak ada. Ia mencoba tegar untuk mengusap wajah gadis itu, yang juga bersimbah darah.
Tanpa sengaja Amir meraba saku rok wanita itu.
Potongan benda elektronik itu kini nampak di hadapannya, dalam genggaman tangannya. Viany, mengapa kau melakukannya?

KEMBANG SAKOLA

Hanas hate kagembang, Juli 2005
Sukma asa kakalayangan
Meh ngapak-ngapak mega bodas
Raga leuleus, epes meer
Munggaran kapetik ati, kaarah kabineksaan

Ros bodas anyar kembangan
Nyorangan, pojok kidul tatamanan sakolaan
Teu aya deui….
Ngan hiji-hijina
Mapaesan taman hate
Anu manjing karembangan

Hanjakal….
Ana barang bangbara datang
Dadak sakala getih ngagolak
Dada, taktak, asa peunglak
Asa dicacag diwalang-walang
Manglebarkeun akang
Bisi kembang beunang ku kumbang

Najan nyeri ieu ati
Najan luka ieu manah
Teu kumawantun sisinglar

Naha????!!!
Rumasa diri laleu leutik
Ukur pagulung jeung runtah
Ngarasa diri hina
“Teu ngaji diri, hirup tambarakan oge”

Tapi najan kieu ayana raga anu dibabawa
Najan kieu rupa anu dipiboga
Ros bodas teu burung kaala
Kapimilik………
Duka salawasna atawa saharita
Najan loba beda di antarana
Muga jadi bahan sampurna

Sebuah Kisah Yang Hina, Yang Istimewa

A.Cahyana




Hari ini adalah tanggal ketiga di bulan ini. Hari ini matahari bersinar indah sekali seindah hatiku yang sedang merona karena bahagia. Kebahagiaan ini baru aku rasakan saat ini. Tentu saja aku amat bahagia. Siapa yang tak pernah bahagia setelah mendapatkan gaji pertamanya? Siapa pun akan merasakan kebahagiaan itu setengah mati ketika hal itu ia alami, khususnya seperti apa yang aku alami sekarang ini.
Setidaknya hal itulah yang sedang meraja dalam hatiku saat ini setelah kemarin kuterima gaji pertamaku. Rasanya, semalam tadi tak cukup bagiku untuk memuaskan hati dengan terus memandangi uang gajiku sebulan itu. Mungkin bagi orang lain uang sejumlah iitu tak seberapa. Tapi bagiku, itu amat berharga.
Aku memang pekerja baru di perusahaan dimana aku bekerja kini. Baru sebulan yang lalu aku diterima kerja di sana. Bukan di bagian yang strategis pula karena aku hanya lulusan STM. Semua orang tentu tahu di bagian apakah seorang lulusan STM ditempatkan. Aku tak harus menjawabnya, yang pasti aku terpaksa menjalaninya walaupun aku kurang puas dengan pekerjaan itu. Semua orang tentu ingin yang lebih, tapi apa daya semua itu butuh waktu dan juga faktor lain, pendidikan misalnya, mungkin.
Aku juga bukan orang yang terlahir di kota ini. Aku pendatang di sini. Aku perantau. Walau gaji yang aku terima sangatlah pas-pasan namun kupaksakan untuk bertahan sebagai perantau di negeri orang ini. Daripada tidak bekerja sama sekali dan malah menyusahkan orang tua di kampung, pikirku. Belum lagi aku harus mengontrak rumah, oh bukan! Sebetulnya bukan rumah melainkan hanya sebuah kamar kos-kosan ukuran mini, amat mini. Ukurannya tak pantas jika aku sebutkan dalam meter kali meter. Yang pasti adalah bahwa aku hanya dapat membaringkan tubuhku di sebuah kasur dekil tanpa bed cover yang terhampar di lantainya. Juga hanya dapat menyimpan sebuah lemari kayu lapuk tanpa laci yang hanya bisa menampung beberapa stel baju saja di dalamnya. Di dindingnya, dekat pintu, yang lebih pantas dikatakan jendela, tergantung sebuah cermin yang sudah mulai pudar. Cermin itu sudah tak dapat lagi memantulkan bayangan orang yang bercermin secara sempurna. Kadang aku senang juga karena wajahku yang pas-pasan ini terlihat agak mendingan padanya. Tapi kadang, rambutku yang masih kusut terlihat sudah licin sekali padanya, karena buramnya. Setelah aku sadar akan kelemahannya itu dan kena marah manajer karena rambutku masih kusut sesampainya di pabrik, aku malah sering membawa sisir rambut ke pabrik dan memeriksa lagi rambutku di toilet karyawan yang cerminnya beberapa kali lipat mengkilapnya dibanding yang ada di rumah, eh… di kontrakan maksudku. Aku menyadari, tak akan cukup hasil perasan keringatku untuk menyewa kontrakan yang lebih bagus sedikit saja. Itu adalah kontrakkan paling cocok untukku. Bukan, bukan untukku, untuk kondisi keuanganku yang sangat minim maksudku.
Terkadang aku berfikir, mengapa Tuhan menciptakan manusia sama tapi Dia menetapkan nasib yang berbeda atas manusia? Mengapa direktur di perusahaan tempatku bekerja mendapat gaji yang besar padahal kerjanya tak sekeras aku? Mengapa jari orang seperti direktur yang hanya menunjuk ini itu dan menandatangani ini itu jauh lebih banyak menghasilkan uang daripada jari tanganku yang sampai kasar karena mengurus mesin setiap hari? Walaupun aku tak tahu berapa gajinya apalagi sampai pernah melihat struk gajinya tapi aku bisa memperkirakan betapa besar penghasilannya dari mobil yang dikendarainya pulang pergi kantor, dari pakaian bermerk yang dipakainya berganti-ganti setiap hari, dari handphone mentereng yang digenggamnya dan berganti tiap minggu, dan dari perutnya yang buncit karena terlalu banyak makan, mungkin. Berapa ratus kali lipat penghasilanku ya penghasilan direktur itu, suatu hari kutanya diriku dalam hatiku.
Di sela-sela pekerjaanku kadang aku selalu termenung. Lalu aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku bisa seperti direktur itu? Kadang aku pikir, ya mungkin saja. Namun lebih banyak aku berfikir, ah…tidak mungkin! Tak jarang setan dalam hati ini ikut bicara, ikut merajut fikiran yang tak berguna. Tapi, aku masih punya Tuhan. Masya Allah, tak baik aku memikirkan harta milik orang lain dan tak pantas aku iri. Apa mulianya harta dan kedudukan? Siapa yang lebih mulia, aku atau si direktur? Aku tak bisa menjawabnya waktu itu.
Hari ini aku sudah keluar dari pabrik. Aku bekerja pada shift satu hari ini jadi jam dua belas sudah keluar dan digantikan pekerja shift selanjutnya. Aku bergegas. Belum kudengar suara adzan dzuhur jadi kufikir aku akan pergi ke suatu tempat dulu sebelum shalat. Bank swasta yang ada di perempatan jalan tujuanku. Jaraknya beberapa ratus meter saja dari pabrik.
Aku berjalan makin cepat secepat torpedo melesat. Tas hitam yang kubawa aku pegang erat sekali. Kupastikan tak ada orang yang merebutnya. Maklum, di daerah pabrik banyak sekali penjambret. Aku sangat mewaspadai hal itu. Kujaga tas itu sebaik mungkin. Ia amat berharga. Di dalamnya, sebuah amplop tergolek tak berdaya terombang-ambing oleh gerakan tubuhku yang membawanya. Di dalam amplop itu, uang gajiku yang sebulan yang kuterima kemarin belum aku ganggu gugat. Begitu juga dengan struk gajinya, masih tergeletak dekat amplop itu, di dalam tas hitam yang aku pegang itu. Mungkin memang jumlah uang itu tak seberapa, apalagi sekali lagi apabila dibandingkan gaji sang direktur. Tapi, rupanya bagiku itu amatlah berharga sehingga aku ingin mengabadikannya. Dan jalan satu-satunya adalah dengan menyimpannya di bank walaupun aku tak tahu dari mana akan aku peroleh uang buat makan dan kontrakan sebulan ke depan sampai gaji bulan keduaku aku terima. Kupikir, mungkin hal itu akan aku pikirkan kemudian.
Halaman bank sudah terlihat di kejauhan. Di halaman parkirnya, mobil mewah berbagai merk dan ukuran terlihat berkilauan catnya terkena sinar matahari dari kejauhan. Tanpa harus diberi tahu aku sudah dapat mengira-ngira bahwa harganya pasti mahal-mahal. Semakin dekat aku semakin yakin bahwa harganya tak mungkin sembarangan, tak mungkin terbeli oleh gaji seorang pekerja serabutan sepertiku ini. Jelas, orang yang punya juga tak mungkin orang sembarangan. Ah, dasar orang kaya, pikirku.
Walaupun memerhatikan keadaan demikian, tak gentar hatiku untuk menerobos masuk ke dalam bank melalui orang-orang berdasi walaupun aku hanya mengenakan baju seragam karyawan pabrik. Aku tak gentar dengan mobil mewah berjejer yang menandakan nasabah bank itu semua orang kaya. Aku berfikir, tak mungkin aku ditolak jadi nasabah hanya karena aku ini karyawan biasa. Aku yakinkan hal itu dalam hati. Namun begitu tentu sedikit saja ada perasaan minder dengan penampilan yang agak beda, maksudku lebih sederhana dan tentu jauh lebih dekil dari seluruh orang yang ada di sana.
Aku sedikit gelagapan setelah berada di dalamnya. Baru pertama kali aku masuk ke gedung bank selama hidupku. Hampir semua tulisan yang ada di dalam gedung bank itu bertuliskan bahasa Inggris. Untung saja nilai bahasa Inggrisku ketika sekolah dulu tak terlalu jelek jadi ada beberapa kata yang masih bisa aku mengerti. Aku mengambil nomor antrian costumer service di meja satpam, dekat pintu masuk. Satpam yang kumisnya tebal dan hitam itu hanya tersenyum setengah sinis menatapku. Entah itu memang sifatnya, entah karena pakaianku, ataupun itu hanya perasaanku saja. Lalu aku duduk, nomor antrianku empat puluh tiga. Tak terlalu jelek, pikirku. Hanya saja nomor yang sedang ditampilkan di layar sebuah monitor, yang menandakan nomor nasabah yang sedang dilayani baru nomor dua puluh empat. Ah, masih begitu lama, delapan belas orang lagi sebelumku harus dilayani.
Aku duduk dengan tenang. Aku sedikit menjaga wibawa walau tak mungkin seorang pun memperhatikan gerak-gerikku yang memakai baju karyawan pabrik yang kumal dan bau oli itu. Padahal dalam hatiku masih meracau kata-kata yang sulit dirangkai. Aku belum tahu pasti apa yang harus kulakukan. Apa dengan duduk adalah keputusan terbaik yang dapat menghantarkanku ke meja costumer service. Namun, aku tak berani menegur satpam berwajah sinis untuk menanyakan sesuatu tentang hal itu.
Perasaan tidak menentu itu segera sirna karena perhatianku lebih terpaku kepada beberapa hal menarik di sana. Televisi adalah salah satunya. Ia memutarkan berbagai acara menarik. Maklum sudah sebulan sejak aku tinggal di kontrakan aku tak pernah melihat layar televisi. Dulu ketika di rumah yang di kampung ada tv walaupun tidak berwarna. Hanya tv koran, begitu ayahku memberinya istilah.
Perhatianku sebagai seorang pemuda juga terpaku pada gerak-gerik teller wanita yang parasnya cantik-cantik. Pantas saja, kupikir, orang kaya senang mampir ke bank. Ternyata karyawati bank itu cantik-cantik rupawan. Pilihanku jatuh pada seorang teller wanita paling ujung. Ia paling menarik di antara semua karyawati yang cantik itu. Ah, ia sungguh cantik, bak dewi khayangan turun dari langit. Tapi bukan hanya karena ia cantik melainkan juga karena ada kemiripan ia dengan kekasihku ketika aku di kampung. Namun aku sudah tak berhubungan lagi dengannya karena ia memilih kawin dengan anak Pak Lurah yang kaya raya. Sempat anganku melayang memikirkan hal yang agak melenceng, namun beberapa saat kemudian sudah dapat kukendalikan. Terlebih ketika kulihat teller itu bangkit dengan agak susah payah. Baru kusadari bahwa ia tengah hamil tua. Pudar sudah kekagumanku padanya. Bahkan aku sangat malu pada diriku sendiri. Ah betapa aku tak dapat menjaga pandanganku terhadap sesuatu hal yang bukan milikku.
Kini aku harus memperhatikan hal lain pada bank itu. Kulihat ada benda bergelantungan di langit-langit. Seperti kaca lampu, namun kupikir itu bulan lampu. Ukurannya terlalu kecil untuk sebuah lampu. Lagi pula ada lampu yang jelas terpasang di bagian lain di atap itu. Dan, benda itu bergerak seperti mengawasi gerak-gerik setiap orang yang ada di ruangan itu. Setelah kupikir agak lama, aku mengira-ngira bahwa itu kamera pengawas. Ya, aku pernah mendengar bahwa di bank atau di kantor-kantor besar selalu dipasang kamera pengawas. Ternyata, orang kaya yang ada di sini sangat takut kehilangan uangnya. Selain pengamanan polisi dan satpam yang ketat, kamera pengawas pun sangat mudah di jumpai di setiap sudut langit-langit dan tembok sebagai salah satu alat pengamanan juga. Ini tentu ditujukan untuk memantau keamanan karena bank rentan sekali akan perampokan. Harus kupikir lagi, apakah setakut itukah orang kaya yang banyak uang kehilangan uangnya? Kalau begitu mereka sama sepertiku yang tak rela kehilangan uang gajiku ini. Hal itu tak kupikirkan lebih lanjut karena kudengar panggilan nomor empat puluh satu, kupikir empat puluh tiga. Aku duduk kembali setelah sempat berdiri dengan refleks tadi.
Ternyata menunggu dua nomor berikutnya sangatlah lama. Orang yang sedang dilayani mempunyai beberapa masalah administrasi yang rumit dan memerlukan lebih banyak waktu untuk menyelesaikannya. Aku hanya bisa pasrah.
Pintu kaca yang ada di belakangku terbuka. Satpam bengis membukakan pintu itu sambil membungkuk memberi salam dan senyum ramah kepada orang yang datang. Orang itu diiringi seorang berbadan cukup besar dan menenteng koper berwarna hitam. Aku yakin, di dalamnya pasti uang yang tak sedikit. Ia melirik padaku, aku langsung mengalihkan pandangan karena tak kuasa bertatap mata dengannya. Kusadari, aku tak pantas bertatap mata dengan bosku. Ya, dia adalah direktur yang telah kuceritakan di awal. Ternyata dia juga nasabah di sini.
Aku menunduk berharap dia tidak mengenaliku, setidaknya aku sebagai karyawannya. Namun itu mustahil karena aku mengenakan seragam kerjaku saat itu. Walau ia tahu aku pegawainya, ia tak peduli. Bahkan mungkin ia malu karena bawahannya ada di tempat sebagus ini dengan pakaian kerja pabrik miliknya. Ia segera berlalu, masuk ke ruang pelayanan istimewa. Tebakanku adalah bahwa ia akan menabung dalam jumlah yang tak sedikit atau akan membuat kerjasama antara perusahaan dengan bank itu. Kini aku sudah menjadi penebak sebenarnya.
Entah mengapa, aku terus saja memerhatikan pintu ruangan di mana sang direktur masuk ke dalamnya. Mataku seakan enggan terpejam sedikitpun. Dasar mataku ini, mengapa selalu ingin tahu apa yang dilakukan orang lain? Apa manfaatnya bagiku?
Tak lama kemudian, ia keluar didampingi orang yang kelihatannya sepadan dengannya, dalam hal pakaian, wibawa, dan senyuman khas orang kaya. Mungkin itu direktur bank. Mereka mengobrol-ngobrol sambil berdiri, oh tidak berapa lama mereka duduk. Nampaknya ada soal serius lain yang belum terbahas. Ternyata orang kaya juga pelupa.
Walau aku begitu memperhatikan tingkah laku sang direktur namun aku menyadari bahwa sang satpam dan polisi tak ada di dalam bank. Mungkin mereka berjaga di pos halaman.
Tak lama kemudian aku dibuat tercengang dengan kedatangan seorang kakek pengemis tua ke dalam bank. Dengan pakaian compang-campingnya yang khas aku mengenalinya sebagai pengemis yang biasa mangkal di pintu masuk pabrik. Tapi mengapa hari ini dia masuk ke sini? Dan yang membuat aku heran mengapa ia bisa masuk ke dalam? Tidakkah para petugas keamanan menahannya di luar? Ah, mungkin mereka lengah, pikirku.
“Den, kasih saya uang, berapa saja. Saya belum makan dari kemarin…”, ia meminta dengan memelas. Aku sudah hafal benar apa yang dikatakannya setiap meminta lengkap dengan suaranya yang serak, entah begitu kodratnya, entah benar sedang lapar, atau mungkin hanya dibuat-buat supaya orang menaruh kasihan. Yang pasti aku merogoh saku celanaku dan memberinya selembar uang ribuan.
“Terima kasih juragan, semoga rejekimu bertambah….”, katanya sambil mengenakan uang itu ke dahinya. Mungkin ucapan syukur.
Ia berjalan lagi, sekarang menjauhiku. Orang lain yang ada di sana tak peduli dengannya. Apa mungkin mereka tak melihatnya, pikirku. Kalau saja mereka, orang-orang kaya, sadar ada pengemis di sini, mereka akan jijik sejijik mungkin melihatnya. Tentu akan mengusirnya keluar.
Aku memerhatikan lagi langkah pengemis tua itu. Sekarang ia melangkah ke arah kedua direktur yang sedang asyik mengobrol bisnis di sofa di pojok ruangan. Langkahnya semakin dekat, dekat, dan…..
Sungguh kau dapat mengira apa yang terjadi ketika pengemis itu bersuara memelas dan kedua direktur menyadari ada pengemis di sana. Cacian, makian, hinaan, serta kata-kata usiran memenuhi ruangan. Semua orang baru tersadar akan keberadaan pengemis itu kini. Wajah pengemis itu menunduk. Aku tahu, betapa ia malu sekali dengan ucapan dari kedua direktur itu walaupun setiap hari memang ia memermalukan dirinya dengan meminta-minta. Tapi ini lain cerita. Ia tampak mengeluarkan air mata. Mungkin ia baru tahu bagaimana orang kaya memperlakukan pengemis. Dia kira dia akan dapat uang lebih besar daripada yang kuberikan, padahal ia salah. Justeru yang ia terima hanyalah cemoohan yang amat menyakitkan.
Semua orang mulai bersuara dengan nada cemoohan walaupun tak langsung menyemprot ke wajah pengemis itu. Namun dengan berbisik saja, tentu itu tetap hinaan yang menyakitkan. Ruangan mulai penuh dengan bisikan.
Tiba-tiba kudengar beberapa kali suara letusan dari luar. Orang lain masih saling berbisik hingga terakumulasi menjadi riuh dan tak menghiraukan suara itu. Aku berfikir sendiri, apa yang meletus. Namun, belum juga aku selesai berfikir, sekelompok orang bersenjata masuk dengan paksa ke dalam bank sambil membawa senjata api dan berteriak agar kami yang ada di bank segera mengangkat tangan. Aku gemetar walaupun masih bisa cukup tenang. Si pengemis begitu pula.
“Jangan ada yang teriak, cepat kemasi semua uang yang ada di sini!”, teriak salah satu penjahat. Aku yakin dia pemimpin kawanan perampok itu. Semua teller langsung mengemasi uang seperti diperintah oleh atasannya sendiri.
“Jangan rampok kami, saya mohon….”, si direktur bank memelas.
“Banyak omong! Kamu pengen saya tembak ya?”, kata si penjahat sambil mengarahkan pistolnya ke sang direktur bank.
Sang direktur bank menunduk. Kukira ia akan diam. Tapi kali ini dugaanku salah. Tak kusangka ia nekat untuk melarikan diri. Ia mencoba berlari. Dan hal itu membuat sang penjahat marah besar. Moncong pistol sudah mengarah ke sang direktur. Platuk sudah ditekan. Tapi….
Ia roboh…. Sang pengemis tua roboh. Peluru itu tepat mengenai keningnya. Ternyata saat sang direktur dibidik, pengemis itu menghalanginya.
Saat ia roboh dan bersimbah darah ada suatu kalimat agung yang diucapkannya yakni Laa illaaha ilallah muhammadurrosulullah…… Dan seketika aku merasa ruangan bank itu berseling suara takbir, tahmid, takdim, dan tahlil. Mungkin itu perasaanku tapi mungkin juga itu nyata. Yang pasti adalah suatu keajaiban lain terjadi yakni sesaat setelah sang pengemis mengucapkan kalimah agung itu, para penjahat lari tunggang langgang seperti melihat sesuatu yang besar dan menakutkan.
Setelah para penjahat itu pergi, aku mendekati pengemis itu. Aku mengusap kedua matanya seolah berkata innalillahi wainnailaihi rajiun…. Kedua direktur dan segenap orang yang ada di sana memerhatikan dan sama-sama terdiam membisu.
Perampokan itu menelan empat orang korban yakni dua orang satpam, seorang polisi, dan seorang penyelamat yakni si pengemis. Belakangan terdengar kabar bahwa pemakaman si pengemis dilakukan dengan megah dan layak. Biayanya ditanggung oleh sang direktur. Mungkin sekedar balas jasa atas satu nyawa. /seps/2008/

TAK SEMPURNA

Bukit tak berbatu
Tak ada….
Kota tak berkumuh
Tak ada....
Suara tak bersumbang
..............................
Manusia tak sempurna
Kau jangan menyerah
Semua punya lemah
Semua punya lebih
Berjuang
Tak peduli
Halang
Rintang
Titik
Tergapai sudah

MENGHITUNG HARI

Ibu jari yang lupa menghitung hari-hari
Hari itu hingga hari ini
Hari itu....
Saat aku lihat bola mata melirik tajam
Tepat sasaran di muka
Wajah yang seketika memerah

Saat itu.....
Raga mulai bercita
Cita ber-asa
Asa berharap
Harap meronta
Ronta menghantarkan hari itu hingga hari ini

Hari ini.....
Raga yang bercita, ber-asa, berharap, dan meronta,
Lemah....
Bukan lemah gemulai seperti penari Bali atau penari Gantar

Lemah tak berdaya
Panas tak mendidih
Kuning yang tak matang
Bagimu yang tak bersuara
Saat menyuarakan cinta

KETIKA HATI BICARA

A.Cahyana


Sore itu, tanggal 7 agustus 2007, matahari hampir tenggelam di ufuk barat. Burung-burung yang biasa terbang di siang hari, segera menuju sarangnya dan tugasnya mengisi angkasa nan luas digantikan oleh burung-burung malam. Kelelawar semakin banyak mengelepak keluar dari gua-gua atau atap rumah-rumah tua. Berpadu dengan suara tongeret yang melengking menjadi-jadi meneratas awang-awang dan suara jangkrik yang melengking setinggi langit. Suara adzan pun mulai menggema dan saling bersahutan antara satu masjid dengan yang lainnya. Orang-orang pun segera sadar bahwa hari telah maghrib menjelang malam. Berbagai macam aktivitas segera mereka hentikan. Ada yang segera mandi dan pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah, ada juga yang hanya berkumpul bersama keluarganya masing-masing.
Akan tetapi tidak begitu dengan seorang pemuda yang duduk di kursi di teras belakang rumahnya yang besar yang terletak di perumahan mewah itu. Namanya Bramono Adikusumo. Tetapi ia nampak sedih dan seperti tak bergairah menyambut malam yang akan mengistirahatkan tubuhnya dari kelelahan itu. Padahal tak mungklin karena urusan keuangan karena melihat rumah orang tuanya sepertinya dia orang berada. Sebentar-sebentar ia bergumam, dan sebentar ia memukul-mukulkan kepalan tangannya ke tembok di belakang kursi di mana ia duduk itu. Kemudian memindahkan pukulan tangannya itu ke kepalanya sambil memaki dirinya sendiri. Ditambah lagi keningnya tak henti-hentinya berkerut. Tampaknya ia tengah menghadapai masalah yang amat besar. Masalah besar yang beberapa hari ini, sejak tanggal 3 Agustus yang lalu, mengganjal hatinya setelah membaca pengumuman kelulusan penerimaan mahasiswa baru di sebuah harian Ibu Kota.

***

Praktis saja, kelakuan tuannya itu membuat Lahir, Batin ,dan Otak ikut bersedih. Apalagi si Lahir, ia selalu jadi sasaran kemarahan tuannya itu; kepalanya selalu menjadi sasaran pukulan tuannya. Dan konyolnya lagi yang dipakai memukul kepalanya itu adalah tangannya sendiri. Ahh….sedih bercampur sakit dia.
Nampaknya si Batin pun ikut bersedih karena tuannya memaksa ia selalu menangisi masalahnya tanpa henti, tak ada gairah hidup tuan seperti biasanya. Biasanya Tuan Bram selalu riang gembira, eeh… sekarang jadi sedih-sedihan begini, terasa sekali perubahannya. Begitu pun Otak, ia bersedih karena selalu menjadi objek tuannya untuk memikirkan dan merenungi apa yang terjadi padanya. Hal itu membuat mereka sedih bercampur marah, benci, dan kecewa kepada tuannya. Sehingga tanpa disadari tuannya yang sedang melamun waktu itu, ada dialog berakhir pertengkaran serta aksi saling menyalahkan yang hebat di antara ketiganya.
“Nampaknya tuan kita ini belum juga ingin berhenti memikirkan masalahnya itu kawan. Aku sudah capek memproses masalah Tuan. Neuron-neuronku terasa rusak semua”, Si Otak memulai pembicaraan. Ia kesal juga kepada tuannya yang tau mau tahu atas kelelahannya memikirkan masalah tuannya itu.
“Iya…. Sejak Tuan dinyatakan tak lulus seleksi perguruan tinggi kemarin, Ia murung terus dan lebih tak meng-enakan aku, akulah yang menjadi sasaran kekecewaannya. Aku jadi sasaran pukulannya…ah sakit sekali. Jadi, jangan kau anggap dirimu paling rugi Otak, aku lebih merugi lagi. Coba kau pikirkan, aku tak makan dari tadi pagi karena Tuan tak nafsu makan .Memang kurang ajar benar itu masalah datang kok seenak perutnya saja ya…”, tanggap si Lahir seakan tak mau kalah dengan si Otak.
“ Eh..kamu masih untung, kamu sih gampang tinggal ambil aja dari lemak persediaan makananmu itu. Badan Tuan kita kan gendut abis tuh! Ambil saja lah...sekilo dua kilo kan wajar, secara yang kuingat tuan kita itu pengen banget diet..ha..ha. .”, Si otak berseru seolah mencemooh.
“Kau jangan sembarangan Otak tolol, aku tak mau rugi banyak. Aku kan sudah lama menabung lemak. Apalagi tak mau otot-ototku yang besar-besar ini berkurang. Nanti, kalau aku kurus kerempeng kau juga yang akan merugi, tak ada lagi nutrisi yang aku berikan sama kamu!”
“Eh ngeledek boleh aja, asal yang lain. Jangan sampai bilang saya tolol dong, emangnya kamu bisa mikir? Baru punya otot gede aja kamu belagu,udah bilang aku tolol! Emangnya kamu siapa, bisa apa sih kamu tanpa saya, hah?”, Otak ngotot.
“So what gitu loh…aku mau bilang kamu tolol atau apapun karena kamu memang T-O-L-O-L …en bego!hehe….”, kata si lahir dengan mulutnya yang meledek, nampaknya si Lahir semakin ngotot.
“ Eehh…ada apa ini…Kenapa kalian itu pada ribut saja, kasihan Tuan kalau kalian bertengkar begini rupa”, Si batin ikut ambil bagian dalam pembicaran kedua temannya.
“Ah… diam sajalah kamu Batin tak berguna, mendingan kamu urusin tuh renungan Tuan yang gak beres-beres! Aku ngerasa tidak enak saja, padahal si Otak yang berbuat kesalahan, lalu kenapa aku yang menjadi sasaran kemarahan tuan?”, Si Lahir memberi penjelasan dengan marah-marah.
“Oh sekarang aku mengerti, jadi kalian lagi membicarakan masalah perlakuan Tuan sama kalian. Eh…teman-teman, itu bukan masalah kita. Itu masalah tuan. Jadi kenapa kita yang harus berantem?”, Si Batin mencoba mendamaikan perselisihan kedua temannya.
“ Jelas saja saya menyalahkan si Otak tolol ini. Coba bayangkan olehmu Batin yang baik hati (seolah mencemooh), dia tak bisa berfikir untuk menyelesaikan soal sama sekali ketika Tuan ujian masuk ke Universitas. Aku sih sudah berusaha semaksimal mungkin mengerjakan yang diperintahkan Tuan kita. Aku memegang pensil sebaik mungkin dan mengisi lembar jawaban itu serapi mungkin. Tapi apa yang dia katakan padaku, maaf ya Lahir kamu kerjakan sendiri saja mengisi jawabannya karena aku tak bisa mengerjakannya. ( dengan suara dikecilkan seolah mencemoh Otak). Aku jadi bingung. Daripada tuan marah, lebih baik aku tembak jawabannya dan alhasil Tuan tak lulus….”, kata si Lahir seolah tak henti-hentinya menyalahkan si Otak.
“Memang aku yang salah karena tidak bisa mengerjakan soal itu. Tetapi apakah aku salah kalau aku meminta bantuanmu? Apalagi aku tidak bisa mengerjakan soal-soal itu juga sebenarnya gara-gara kamu kan?! Kamu itu egois, maunya menang sendiri. Seingatku, kamu kan yang selalu merayu si tuan untuk banyak main di luar rumah? Aku dan si batin sering sekali mengingatkanmu agar segera membuka buku supaya si tuan semakin pintar dan bisa mengerjakan soal ujian itu. Tapi apa tanggapan kamu? Ga ada kan?!! Kamu malah enak-enakan ngajak si tuan jalan-jalan sampai lupa shalat juga. Nah, sekarang terbukti siapa yang salah!”, Si Otak membela diri dengan panjang lebar.
“Oke kalau gitu, kalau kau terus menyalahkan aku atas semua ini, mendingan sekarang jangan ada lagi pertemanan antara kita! kalau kau mau menyalahkan aku terserah padamu. Aku mungkin memang salah dan aku tak berguna lagi kan buat kalian? jangan lagi ada koordinasi antara kita. Hubungan kita putussssss sampai di sini!!!!!!”, Si lahir membentak dengan kerasnya sambil menjatuhkan dirinya ke lantai rumah Bram, tuan mereka itu.

***
Tiba-tiba tuan Bramono Adikusumo jatuh pingsan. Beberapa menit dari itu Ia baru ditemukan oleh pembantunya, Ijem. Ia menemukan Tuan Bramono sudah tergeletak dengan keadaan tak sadarkan diri di dekat kursi di mana ia duduk-duduk tadi. Kontan saja si Ijem panik melihat apa yang terjadi terhadap tuannya.
“ Masya Allah Tuan, Tuan kenopo toh?! Bangun Tuan, bangun……tol…tol……”, Si Ijem tersentak setengah berteriak melihat keadaan tuannya begitu rupa.
Dengan kepanikan yang luar biasa Ia segera mencoba berteriak berniat minta tolong. Namun tak sepatah kata pun dapat keluar dari mulutnya yang kaku. Oleh karena itu ia segera berlari menyusul satpam Kasno ke pos. Ia berlari seperti dikejar anjing gila. Ngos-ngosan nafasnya.
Melihat si Ijem berlari ketakutan seperti itu, Kasno yang telah lama menyukai Ijem malah memanfaatkannya. Ketika si Ijem berlari ketakutan sambil mencoba mengatakan sesuatu padanya, ia malan merangkul dan memeluknya dengan mesra. Terjadilah drama percintaan sesaat antara keduanya walaupun tak diinginkan Ijem. Mungkin Si Kasno mengira Ijem ketakutan karena melihat hal ghaib makanya ia bertekad menjadi dewa penyelamat Ijem dengan memeluknya.
Namun tiba-tiba “ Plak…!!!!”, Si Ijem menampar pipi Kasno dengan keras.
“Loh kok malah nampar sih, aku kan sudah mencoba menolong dengan segenap cintaku padamu sayang….”, Kasno membela diri dengan sedikit gombal.
“ Menolong opo, dasar wong geblek. Orang mau minta tolong kok dipeluk-peluk…”Si Ijem menggerutu.
“ Iya deh maaf. Terus ono opo th, kok lari-lari kayak dikejar anjing gila gitu?”, Si Kasno meminta penjelasan.
“ Ya ampun, aku sampe lupa Kasno. Tu..Tu..Tu..Tuan…”, Ijem baru ingat maksudnya.
“Iya si Tuan kenapa…?”, Si Kasno teliti.
“Tuan pingsan di teras belakang rumah…!”, Ijem menjelaskan.
“ Hahh!!! Kenapa gak bilang dari tadi!”, kata Kasno tersentak sambil berlari menuju teras belakang.

***

Suasana di ruang tunggu ICU Rumah Sakit Intan Berlian terlihat lengang. Terlihat beberapa orang tengah menunggu seseorang yang sedang ditangani dokter di rumah sakit itu. Terlihat pula Ijem ada di antara ketiga orang yang berada di sana. Ternyata memang benar, mereka adalah Ijem beserta kedua orang tua Tuan Bram, Tuan Adikusumo dan Nyonya Adikusumo. Mereka terlihat khawatir sekali dengan Bram. Bagaimana tidak, Bram adalah anak semata wayang mereka. Walaupun mereka sering sibuk dengan pekerjaan, mereka sangat sayang pada Bram.
Sesekali terlihat Tuan Adikusumo mencoba mengintip ke dalam ruang dari balik kaca. Namun apa daya karena kaca tertutup rapi oleh gorden dari dalam. Sedangkan Nyonya Adikusumo dan Ijem terlihat berkomat-kamit memohon kepada Allah SWT agar Bram diberikan keselamatan.
“Kreeettttt….”, pintu ruang ICU terbuka. Dokter Herdi dan dua orang suster keluar dari dalam.
“ Bagaimana keadaan anak saya Dokter?”, Tuan Adi segera meminta penjelasan kepada Dokter Herdi.
“Tidak apa-apa Tuan, hanya pingsan saja. Sepertinya nak Bram kurang istirahat dan terlalu banyak melamun. Otaknya kelelahan dan badannya lemas, hanya butuh istirahat sehari saja di sini. Apakah ia sedang menghadapi banyak masalah dalam keluarga?”, Pak dokter berbalik meminta penjelasan.
“Alhamdulillah kalau tidak apa-apa.Tapi setahu saya dia tidak punya masalah apa-apa dokter, malah dia anaknya periang”, Tuan Adi menerangkan.
“Iya Dok…”, tambah Nyonya Adi.
“ Maaf Tuan dan Nyonya saya mohon izin ikut bicara”, Si Ijem ikut bersuara.
“ Silahkan Mbok”, kata Tuan Adi.
“Terima kasih Tuan. SiMbok melihat setelah pengumuman hasil tes perguruan tinggi negeri kemarin itu Tuan Bram sering sekali melamun di teras belakang. Beliau juga sering tidak makan”, papar Ijem.
“Bener itu, Mbok?”, Tanya Nyonya Adi.
“Betul Nyonya”, jawab Ijem.
“ Oh…jadi itu masalahnya Tuan. Baiklah kalau begitu, saya permisi. Maaf, saya harap bapak dan ibu bisa memberi perhatian lebih pada nak Bram”, Dokter Herdi mengakhiri pembicaraan.
“ Baiklah Dokter!”, kata tuan dan nyonya Adi berbarengan.

***

Sementara itu di dalam sana terjadi pula dialog antara Batin dan kawan-kawan.
“Kawan terima kasih kalian telah berdamai. Kalian memang sahabatku yang paling baik. Tentunya sekarang kita sudah tahu bukan kalau kita bercerai-berai kasihan Tuan. Semua fungsi tubuhnya baik jasmani atupun rohani tidak akan berjalan”, Batin memulai pembicaraan.
“ Iya Batin, kini aku paham bahwa kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Kita hanya bisa melangkah apabila kita bersama-sama”, kata si Otak menanggapi.
“Iya Batin, aku juga ingin mengucapkan terimakasih karena kau cepat menyadarkan kami. Kalu tidak, mungkin Tuan akan segera meninggal dan kita semua yang rugi karena tidak dapat bersama-sama lagi. Sekali lagi terima kasih ya teman! Sekarang apa permintaanmu untuk membelas jasamu?”, Si lahir bersuara.
“ Iya aku juga berterimakasih karena telah mau aku damaikan. Tetapi soal balas jasa aku mempunyai permintaan yang berat sekali”, tantang Batin.
“ Apakah itu???”, Lahir dan Otak penasaran.
“ Kita jangan lagi bertengkar, dan harus selalu hidup bersama sampai ajall menjemput Tuan kita.bagaimana…?!!”, jelasnya.
“ Aku setuju itu walau kukira itu akan sulit…”, kata si Lahir.
“Tetapi kita kan sahabat jadi apapun yang terjadi kita akan menghadapinya bersama. Karena kita punya pahlawan penyelamat seperti saat ini yaitu sahabat kita Batin yang paling baik sedunia…”, Si Otak berteriak.
“Ah kau bisa saja Otak!”, Si Batin tersipu malu.
Setelah sehari semalam dirawat di rumah sakit itu, Bramono sudah boleh pulang. Kini ia sudah dapat menjalani hari-harinya seperti biasa, walaupun masih ada sedikit kecewa akan kegagalannya tempo hari. Sekarang ia tetap optimis bahwa ia dapat masuk ke fakultas kedokteran di PTN yang ia cita-citakan dengan jalur SPMB. Walaupun orangtuanya kaya tetapi ia mau masuk ke fakultas itu dengan jerih payahnya. Tetapi semua orang di rumahnya, termasuk dirinya tak tahu bahwa kesembuhannya adalah berkat jasa Batin-ya, hatinya yang baik.
Maka dari itu pesan saya “Jagalah Hati (Batin) Anda sebaik mungkin!”

Mutiara-Mutiara Yang Hilang

A. Cahyana



Sehabis shalat Isya adalah waktu luang yang sangat panjang. Bahkan karena panjangnya waktu untuk shalat Isya itu, seringkali kita lalai untuk melaksanakan salah satu kewajiban dari Allah SWT. Perintah yang seyogyanya kita laksanakan di awal waktu agar tercipta suatu nuansa khusuk dalam pertemuan dengan-Nya, seringkali kita sulap menjadi suatu pertemuan yang lalai serta tergesa. Sungguh, salah satu kelemahan manusia dalam mengendalikan nafsu pemberian Allah Yang Esa. Padahal Allah telah memberitahukan dan firmannya yang agung bahwa neraka Well telah diperuntukkan bagi orang-orang yang lalai dalam shalatnya. Naudzubillah….

Sehabis shalat Isya adalah waktu luang yang indah. Menikmati suasana istirahat setelah menunaikan aktivitas seharian sambil menikmati udara malam yang segar di lingkungan kami yang dekat dengan pesawahan. Menikmati dekorasi alam raya yang indah hasil karya luar biasa dari Allah Yang Maha Kuasa. Sungguh indah alam raya karya-Mu. Sungguh luar biasa Engkau mengatur tata letak bintang-bintang. Sungguh mengagumkan sinar lampu rembulan yang Engkau pancangkan di tiang langit yang tak terlihat. Gaib dan ajaib. Nyata tiangnya langit adalah doa orang-orang yang saleh dan mensyukuri nikmatmu ini.

Kami sekeluarga biasa menikmati moment indah yang diberikan Yang Maha Kuasa setiap hari dan setiap malam itu dengan bercengkerama, berbagi berbagai ilmu Allah, memupuk kasih sayang dengan sesama anggota keluarga. Sungguh terasa amat begitu indah. Ayah, seringkali memberi kami wejangan disela-sela cengkerama. Ibu, tak lelah berkata petuah untuk bekal kami. Ya, kami, aku dan adikku, Rina. Tak bisa diungkapkan dalam untaian kata sepanjang apapun, seluas apapun kertas tempatnya ditulis, sebanyak apapun tinta penanya. Karunia Allah Yang Akbar. Terlalu indah. Sungguh. Terlalu indah petuah kalian ayah, ibu. Terlalu hina kami apabila lalai terhadap apa yang kalian katakan. Sungguh.

Di sela-sela cengkrama keluarga seperti itu, ayah pun tak pernah melarang kami menonton televisi. Ya, ayah memang tidak terlalu mengekang kegiatan anak-anaknya. Semua anaknya diberi kebebasan. Itu sebabnya kami tumbuh menjadi anak yang mandiri dan mudah bergaul. “Tapi ingat, harus bertanggung jawab akan diri sendiri dan masa depan. Kalian boleh menonton televisi asalkan menonton program yang bermanfaat. Belajarlah yang baik, jangan malas! Semua bukan untuk ayah atau pun untuk ibu, semua untuk kalian. Sekarang adalah saat kalian menanam. Esok lusa kalian akan memetik hasilnya. Kalian mengerti bukan akan apa yang ayah katakan?”, begitu ayah selalu berkata. Kami pun mengiyakan. Bukan hanya di mulut kamu berucap iya, melainkan juga diresapi dalam hati sanubari, kami tanamkan dalam-dalam, kami ikatkan dengan tali iman dan keyakinan yang kuat kepada Allah SWT.

Tapi semua itu dulu, sebelum hari yang menyedihkan datang menjenguk dan memberi kado kabar buruk. Dua tahun yang lalu, sang pemberi nasihat, sang pemberi pepatah dan petuah, pergi. Pergi. Untuk selamanya mereka pergi. Tanpa pamit, walaupun sebenarnya iya. Tapi mereka pamit bukan untuk pergi ke tempat yang jauh seperti itu hingga tak dapat datang kembali ke dalam alam fana ini. Mereka pergi, dengan iringan air mata adikku, dengan lambayan telapak tangan anak lelakinya, aku.

Mereka memang pergi ke rumah Allah. Mereka memang pergi ke tempat-Nya, menunaikan perintah-Nya, menepati jejak rasul-Nya. Mereka pergi di jalan-Nya. Ibadah haji yang mereka cita-citakan semenjak lama, terlaksana walau harus mereka tebus dengan nyawa.

Ya, Dia tak mengijinkan mereka pulang lagi. Dia ingin ayah dan ibu tetap di sana, di rumah-Nya yang permai tak berbanding, tak tertanding, tak berdinding, akibat luasnya, dan juga yang paling nyata adalah tak berbising seperti dunia fana yang kian padat ini.

Malam ini, dua tahun telah berlalu. Ayah maupun ibu tak pernah kembali ke sini. Jenazahnya memang dipulangkan dari Saudi Arabia ke Indonesia dan sampai di kampung kami saat itu juga, seminggu setelah dikabarkan wafat karena tak tahan dengan kondisi cuaca di Makkah. Tapi, walaupun mereka pulang, mereka membisu. Tak ada lagi petuah mereka. Tak ada pula cerita mengenai indahnya rumah Allah yang tersohor keagungannya itu. Mereka membisu dalam rengkuhan kain putih yang bersinar-sinar dan mewangi enak betul.

Waktu itu seperti yang kuingat, dan tak mungkin aku lupa sepanjang hidup, Rina menangis bahkan menjerit tak henti-hentinya. Apalagi ketika ia melihat tubuh kedua orang yang amat kami cintai itu terbujur kaku dalam peti-peti kayu. Kumengerti. Untuk seorang siswi SMP seperti dia, kenyataan hidup yang berat ini akan sulit diterima. Sebetulnya, begitu pula aku. Aku pun tak kalah sedihnya dengan Rina. Hanya saja aku mencoba tegar akan cobaan yang tengah Dia berikan.

Rina terus menjerit kala itu. Tak seorang pun dapat menghentikan tangis dan jeritnya. Aku takut dia khalaf hingga syetan bisa masuk ke tubuhnya dan memanfaatkan situasi yang menguntungkan untuk syetan terlaknat itu. Kubisikan kalimat istigfar padanya seraya berkata “Rin, mengucaplah adikku! Astagfirullahaladzim…..Innalilaahi wainna ilaihi raajiun… Allah sangat menyayangi kedua orang tua kita, Rin. Saking sayangnya Dia pada mereka, ayah dan ibu dipanggil ketika menunaikan perintah-Nya, mencari ridho-Nya. Dia telah memanggil ayah dan ibu ke rumah-Nya dan menetapkan kebahagiaan untuk mereka selamanya di sana, di syurganya. Dia tidak ingin ayah dan ibu jauh lagi dari-Nya. Mereka orang-orang yang disayangi Allah, Adikku. Percayalah, haji mereka adalah mabrur di mata-Nya karena sesungguhnya niat mereka untuk berhaji adalah sangat mantap dan ikhlas. Dan sesungguhnya semua perbuatan adalah sesuai dengan niatnya. Kita memang telah diijinkan untuk memiliki orang tua sebaik mereka, Dik. Tapi tak harus selamanya kita bersama di dunia, ada kalanya kita mesti berpisah. Dan inilah saatnya kita harus melepas mereka. Asalkan kita semua tetap taat pada-Nya, insya Allah kita akan dipertemukan lagi di syurga. Amin… Sudahlah jangan dipikirkan terus! Kakak takut itu akan mengganggu kesehatanmu…..”.
“Tapi mengapa ayah dan ibu tak mengajak kita berkumpul di rumah-Nya sekarang, Kak? Mengapa kita harus berpisah dulu dengan mereka baru nanti bisa bertemu lagi? Aku ingin tetap bersama mereka, dalam kebahagiaan….”, berontaknya.
“Sudahlah, cobalah untuk bersabar menunggu waktu itu….”.

Rontaannya sedikit mereda, lalu ia tertidur. Mungkin dia kelelahan. Aku sedih dan khawatir melihat wajah lugu itu. wajah lugu dihias kerudung putih yang memikat. Adikku, apakah aku bisa menjagamu tanpa ibu dan ayah?

Malam ini, tak! Tak indah. Tak damai. Tak permai. Dulu, aku menonton televisi di waktu luang di tengah kesibukan tugas-tugas kuliahku. Kini dengan televisi yang sama, dengan program yang lebih menarik, tapi tak kusuka. Aku lebih senang berbaring setelah seharian bekerja sebagai buruh rendahan pabrik. Menjadi buruh rendahan memang capek, pergi pagi dan pulang malam, bahkan terkadang sampai larut. Ya, ijazah SMA untuk zaman secanggih ini hanya pantas untuk menjadi kuli rendahan. Kuliahku terhenti di tengah jalan karena aku harus menggantikan ayah dan ibu mencari nafkah, walau hanya untuk aku dan adikku, untuk makan dan keperluan sehari-hari lainnya, dan untuk biaya sekolah dia. Semua aku kerjakan dengan ikhlas. Kurelakan kuliahku berantakan. Habis bagaimana? Sekarang yang paling utama adalah dia, Rina. Adikku tersayang, satu-satunya mutiara yang kupunya saat ini. Mutiara yang hendak aku jaga, aku rawat, dan aku bimbing di tengah dingin dan kesepian hatinya seperti janjiku pada ayah dan ibu ketika mereka hendak pergi.

Namun aku bosan di perbaringan. Setelah shalat Isya, aku keluar menuju ruang keluarga. Hendak mengenang masa yang indah namun tak bisa. Terlalu indah tetapi juga terlalu menyakitkan untuk dikenang. Di sana nampak ibu dan ayah tersenyum kepadaku. Di depan mereka Rina sedang menonton acara kesukaannya sambil memegang buku biologi, pelajaran kesukaannya. Sejenak aku terpikat, tersenyum. Sayang, semua hanya dalah khayalku.

Di sana hanya ada Rina, tanpa ayah, tanpa ibu. Ia sendiri dalam kesepian harinya, dalam kesunyian hatinya. Walaupun ia menyembunyikan rasa sepinya itu di depanku dengan senyuman yang dipaksakan, aku tahu ia begitu merasakan. Sedih. Sepi. Aku sendiri tahu, karena aku juga sama. Aku tahu sejak dua tahun kematian ayah dan ibu, sejak kami yatim piatu, ia terus merasakan derita dalam jiwanya yang lemah tak berdaya.

Kuperhatikan ia yang tengah asyik melamun membelakangiku. Kudekati ia perlahan seolah tak ingin merusak lamunannya itu. langkah demi langkah aku habiskan. Tanganku kini terangkat dan hendak aku letakkan di kepalanya yang berkerudung indah itu. Tapi niatku urung sejenak setelah kudengar isak tangis dari sosok yang sangat aku sayangi itu. Aku tertahan namun kurang sigap menangani keadaan. Alhasil ia terganggu dan segera tahu bahwa aku di belakangnya. Dengan sigap ia mengusap air matanya dengan tangan kirinya sedang tangan kanannya dengan secepat kilat memasukan lembaran kertas ke dalam saku gamisnya.

“Na, kenapa kamu menangis? Cerita sama kakak ya! Siapa tahu kakak bisa bantu…”, sapaku seolah tak berpura-pura tahu apa-apa. Padahal aku tahu dia memasukkan selembar kertas ke dalam saku gamisnya. Dan pasti itu sumber masalahnya. Apakah itu surat cinta dan ia diputuskan oleh pacarnya melalui surat itu? Apakah ia main pacar-pacaran seperti kaum muda lainnya? Tidak, adikku tak seperti itu. Lalu kertas apa itu?
“Ee…i-itu ta-tak ada apa-apa kok, Kak. Tenang saja lagi. Itu tadi cuma kertas ulangan matematika saja kok, nilainya jelek, Na malu kasih tahu ke Kakak. Tapi Na janji akan perbaiki kok, eh kalau ada umur. Na malu banget sama Kakak yang sudah banting tulang buat biayain biaya sekolah Na kalau nilainya jelek, ya kan? Jadi tadi Na nangis aja….”, jawabnya. Dari sinar matanya dan cara ia bicara aku tahu ia berbohong dan itu adalah pertama kali selama dia menjadi adikku. Artinya seumur hidupnya dia aku anggap berbohong. Ya, kali ini. Walaupun belum tentu prasangkaku itu benar adanya, atau hanya feeling saja.
“Kamu nggak bohong kan?”, selidikku
“Kapan, Na bohong sama Kakak?”, jawabnya ragu.
“Bisa saja kan, sekarang yang pertama kali?he he . Tapi kakak harap tidak, adikku tak akan begitu bukan?”
“Siap bos!”, jawabnya sembari menyembunyikan kesepiannya itu dibalik keceriaan yang kutahu, dibuat-buat!

Aku menyungging senyum, yang juga dibuat-buat. Lalu aku usap kepalanya dan melaju ke teras rumah. Di dalam hatiku tetap bertanya-tanya tentang kebenaran perkataannya. Aku menangkap gelagat tak baik. Sungguh, adikku, jika engkau berbohong, mengapa mesti. Ah, tapi tak mungkin kau berdusta. Kertas, ya kertas itu semoga bukan pertanda hidup dan mati!

Langit malam itu redup. Bintang tak lagi berkelap-kelip bersuka ria dengan teman-temannya seperti malam-malam yang lain. Dewi bulan seolah sedih dalam peraduannya dan menangis tersedu di balik tebalnya awan hitam. Air matanya seolah turun ke bumi berupa rintikkan hujan yang semakin lam semakin menderas. Angin berhembus dingin menusuk seluruh tubuh hingga ke tulang. Daun-daun berguguran mengiringi hilangnya satu lagi mutiara hatiku. Mereka bersedih, ikut berbela sungkawa atas perginya adik tersayang.

Di pekuburan umum, beberapa ratus meter dari pesawahan, dari rumah peninggalan orang tuaku, jenazah Rina terbaring. Ia di sana tengah berkumpul kembali, bersama ayah, bersama ibu seperti apa yang dia selalu inginkan. Mungkin juga ia tengah bercengkrama dan mendengarkan petuah dan pepatah ayah dan ibu.

“Ayah, Ibu, nyatalah anak sulungmu ini tidak dapat menjaga amanah kalian dengan baik. Abi terlalu sibuk mencari bekal dunia untuk Rina sedangkan batinnya serta hari-harinya yang penat dan kesepian tidak Abi ketahui. Hingga Abi tidak tahu bahwa Rina mengidap penyakit mematikan. Ayah, Ibu, kini Rina bukan lagi tanggung jawab Abi. Dia sudah berada bersama kalian di alam sana seperti keinginannya. Semoga kalian bertiga bahagia. Kalian pasti sedang bercengkerama sekarang. Ayah dan ibu mungkin sedang berpetuah pada Rina, aku juga rindu hal itu Ayah, Ibu. Kalian adalah mutiara-mutiara hatiku. Namun, sekarang kalian adalah mutiara-mutiara yang hilang. Aku harap suatu saat ketika aku kembali kepada-Nya nanti, aku akan menemukan kembali mutiara-mutiaraku di sana, di antara rang-orang shaleh lainnya, di syurga-Nya yang agung. Ya Allah, kumpulkanlah aku dan keluargaku di syurga-Mu kelak. Amin….”

***